Ekonomi Kemenangan- Jawapos 14 November 2011

Tak banyak pemimpin dan politisi yang mengerti,  bangsa ini  rindu kemenangan. Hampir setiap detik. Anda pasti melihat dan mendengar kata-kata yang merupakan cerminan dari kerinduan itu.  Perhatikanlah penggalan lirik  lagu Bola (Slank)  yang dinyanyikan dengan semangat memotivasi:

 

Indonesia.

Indonesia harus menang.

Indonesia yakin menang.

Indonesia pasti menang!…..

 

Lirik  itu diputar televisi berulang-ulang, baik  menang maupun kalah.  Maka sekalipun Kontingen Indonesia  hanya menang kalau bertarung di kandangnya sendiri, rakyatnya pun tetap senang.  Aneh memang,  begitu melangkah keluar sedikit saja, kita selalu kalah.  Ada masalah psikologis dan manajerial yang harus dibenahi di sini.

Secara psikologis,  sejak menapak kehidupan, rata-rata anak Indonesia selalu kalah menghadapi gurunya.  Guru-guru lebih senang memberi kesulitan daripada dorongan dan harapan.  Tak mengherankan bila anak-anak yang “kalah” di sekolahnya menyalurkan kekuatannya di jalan lewat tawuran atau di sekolah dengan bulying. Pengalaman saya bersekolah di luar negeri jauh lebih mudah mendapatkan nilai A ketimbang di sini.   Apakah ini semua ada hubungannya dengan raport merah kita pada hampir semua index yang mencerminkan posisi kita di dunia global, atau hanya kepemimpinan yang buruk?

 

Raport Merah

Mari kita lihat index-index merah itu.  Pada logistic performance index, peringkat Indonesia 2010  turun dari posisi no 43 ke nomor 75 dari 155 negara, kalah jauh dari Singapura  (2), China (13), Malaysia (29), Thailand (35), Filipina (44), dan Vietnam (53). Dari segi kualitas manusia –  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia  (UNDP) berada pada urutan 124 dari 187 negara, jauh dibawah Malaysia (61).   Kita tertinggal di semua sektor.  Tingkat harapan hidup orang Indonesia, misalnya, rata-rata adalah 69,4 tahun. Sedangkan Malaysia 74,2 tahun.  Begitu juga dengan indeks pendidikan, indikator angka harapan rata-rata tahun sekolah orang Indonesia hanya 0,584, jauh dibawah Malaysia 0,730.

Belum lagi masalah korupsi, Transparancy International melaporkan, persepsi terhadap korupsi di Indonesia mengalami eskalasi yang signifikan.  Bila pada tahun 2006 hanya 84% orang Indonesia yang disurvey mengatakan korupsi telah meluas di pemerintahan maka tahun ini jumlahnya naik menjadi 91%.   Sedangkan di dunia bisnis angkanya naik dari  75 % menjadi 86%.  Demikian pula dengan Bribe Payer Index (BPI 2011) yang  memotret praktek suap yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap penyelenggara negara di luar negara domisili pengusaha  menempatkan Indonesia pada peringkat ke-25 dari 28 negara.

Meski di saat yang sama  FDI yang masuk di Indonesia (2011) mencapai 32.20 persen dari  PDB,  kemudahan berusaha di Indonesia menurut Doing Business turun dua peringkat ke  posisi 129.  Wajarlah bila semuanya bermuara pada  daya saing Indonesia yang pada tahun ini indexnya ikut turun  dari peringkat 44 menjadi 46. Meski menang atau kalah adalah hal biasa, harus diakui ketidakpedulian para pemimpin dan kekonyolan karakter yang dipertontonkan para koruptor dan politisi membuat kita kehilangan role model dan  teladan. Kalau ini didiamkan maka bukan mustahil bila rakyatnya frustasi dan mengabaikan instruksi resmi dari negara.

Perangkap Kekalahan

Setiap bangsa yang sehat ternyata tak hanya fokus pada kemenangan.  Mereka juga mempersiapkan bangsanya dalam menghadapi kekalahan. Dari jaringan tivi CNN saya melihat  Yunani yang tengah dihajar badai krisis ekonomi  menyikapi kekalahan dengan memberikan latihan yoga yang dikombinasi dengan latihan-latihan tertawa untuk menghilangkan stres kepada para profesional yang kehilangan pekerjaan.  Beda benar dengan bangsa ini yang saat krismon menghibur diri dengan program-program tivi yang berhubungan dengan dunia goib seperti tuyul, kuntilanak, Pemburu Hantu dan Uka-Uka.

Di Jepang, saat badai tsunami menghancurkan harapan, mereka memilih cara gambaru, memotivasi diri agar jangan putus asa dan  menyerah.  Sedangkan di Amerika Serikat, asosiasi para coach  mengeluarkan pedoman agar para pelatih tidak melacurkan diri dengan kemenangan jangka pendek.  Apa maksudnya?

Para coach itu menunjuk sebuah studi yang menemukan bahwa kekalahan harus dikelola untuk menumbuhkan karakter bagi kaum muda.   National Federation of Interscholastic Coaches Association menuturkan para coaches di Amerika Serikat selalu menghadapi dilema karena masyarakat hanya mengapresiasi pemenang.  Namun dilain pihak sport atau kompetisi adalah alat pendidikan yang efektif untuk menguji kehidupan, membangun karakter dan kepemimpinan.

Maka dari itu coaches  selalu dibekali dengan buku pedoman yang menandaskan bahwa objektif setiap kompetisi bukanlah mengalahkan orang lain (surpasing performance of others) melainkan melewati atau melebihi batas capaian pribadi  (own goals).

Saya ingin mengajak Anda kembali ke tahun 1992 yang mungkin pernah saya ceritakan tentang Olimpiade di Barcelona yang dikenang sepanjang sejarah.  Sprinter  Derek Redmon  mendapatkan standing applause bukan karena kemenangannya, melainkan karena jiwa besarnya.  Ia kembali ke dalam race kendati tertinggal jauh karena paha kanannya cidera.  Ia kembali ke race bukan untuk merebut medali  emas,  melainkan untuk menghormati pertandingan.  Ia berlari tertatih-tatih diiringi tepuk tangan yang meriah dan airmata kesakitan.  Meski tidak meraih medali emas, dunia mencatat Derek Redmon dengan kehormatan.

Ia menorehkan kata WIN  yang diartikan great leaders sebagai What’s Important Now. Kalau ingin maju, para pemimpin harus mulai bekerja dengan goals dan dreams  yang jelas.  Tanpa itu kita hanya akan berputar pada pusaran air yang sama, sekalipun kita meraih juara umum Sea Games sesaat.  Tanpa goals dan dreams yang jelas kita tak akan kemana-mana.  Dengarkanlah nasehat Lou Holtz berikut ini,

“Hidup ini penuh tantangan.  Suatu hari kita minum wine, besoknya kita bisa saja memetik anggurnya.  Kita semua mengalami hal yang sama.  Semua orang mempunyai kesempatan dari enam puluh detik ke satu menit, enam puluh menit ke satu jam, dua puluh empat jam ke satu hari.  Yang membedakan satu dengan yang lain hanyalah apa yang Anda kerjakan dengan waktu itu dan siapa yang Anda ajak bicara.  Seperti yang dikatakan Harrington, “if you’re killing time it’s not murder, but pure suicide.”

Wahai para pemimpin, dunia ini tak mengenal Ekonomi Sangkuriang yang segalanya bisa selesai dalam satu malam.  Dunia ini memerlukan manusia yang tidak membuang waktu dan mau berkelahi menuntaskan setiap masalah dalam details dan proses. Tanpa goals and dreams, kita tak akan kemana-mana

 

Rhenald Kasali

Guru Besar universitas indonesia

Surfice Dog – Sindo 10 November 2011

Di akhir tahun ini,  perhatian para eksekutif banyak tertuju pada  seekor anjing golden retriever yang dirawat oleh  pelatihnya, Judy Fridono.   Ia menjadi perhatian, bukan karena harganya atau karena orang berebut ingin  memilikinya, melainkan karena ceritanya.  Para eksekutif menaruh  perhatian setelah mengetahui  kehidupan hewan peliharaan ini mampu mengubah cara berpikir manusia dalam menghadapi masa-masa sulit.

Saya sengaja memilih topik tentang anjing penuh cinta yang kaya cerita ini untuk mengantarkan Anda menghadapi tahun 2012 yang jauh lebih menantang bila dibandingkan dengan situasi yang Anda hadapi di tahun ini. Seperti kata pepatah — kita tak mungkin mendapat hasil yang lebih baik dengan cara yang sama berulang-ulang — maka kitapun pelu mempersiapkan team yang jauh lebih tangguh, yang siap berubah.

Beginilah ceritanya.

 

Service Dog Yang Gagal

Anjing kecil yang lahir 25 Januari 2008 ini diberi nama Ricochet atau sebut saja Ricky.  Meski bernama laki-laki, ia sebenarnya anjing betina.  Dan sejak lahir, Ricky sudah mengikuti program yang akan membawanya menjadi service dog, yaitu anjing penuntun orang cacat, khususnya kaum tunanetra.

Dari videonya yang saya pelajari, Ricky sudah diprogram sejak matanya belum terbuka.  Ia dilatih mengikuti inderanya. Badannya bergerak mengikuti stimulus yang diberikan pelatih, dan setiap kali menjalankan tugas, ia diberi usapan kasih sayang yang membuat hidupnya penuh kehangatan.

Pet yang cerdas ini dengan cepat menangkap segala  latihan yang diberikan kepadanya.  Mengambil payung, membuka pintu, membunyikan bel, menyalakan lampu rumah, membuka kulkas, mengambil makanan, menuntun majikannya melakukan perjalanan  rutin dan seterusnya.  Pokoknya ia hewan yang cerdik dan siap dilepas.

Masalahnya, di usianya yang ke satu setengah tahun, Ricochet diketahui memiliki kegemaran yang membahayakan tunanetra, yaitu suka mengejar burung.  Tak peduli tugas apapun yang sedang dijalankan ia pasti berlari mengejar kumpulan burung yang ada di dekatnya, lalu menghalaunya.   Bayangkan apa jadinya kalau ia sedang bertugas mengantar majikan menyeberang jalan, tiba-tiba ada seekor burung di jalan raya yang sedang ramai.  Tentu berbahaya.

Menurut Judy Fridono, keadaan ini memaksanya untuk mengeluarkan Ricochet dari programnya. Dengan berat hati ia mulai menghentikan latihan dan bersiap-siap melepas Ricky dan melatih anjing lain yang baru lahir.  Namun menjelang pelepasan ia berpikir kembali.  “Mengapa harus fokus pada kelemahannya?  Bukankah kita semua mahluk hidup memiliki kelemahan?.”

Fokus Pada Kekuatan

Bagi Anda yang pernah terlibat dalam program transformasi, pasti masih ingat pesan yang sering saya sampaikan, jangan berfokus pada kekurangan atau kelemahan pada team Anda.  Dan itu pulalah yang diyakini oleh pelatih Ricochet.  Daripada berfokus pada kelemahan anjingnya, ia pun berfokus pada apa yang bisa dilakukan dan menjadi kekuatan Ricky.

Kekuatan itu pasti ada dan tugas setiap coach adalah menemukan elemen-elemen kekuatan itu. Saya tak tahu persis apa yang menjadi kekuatan Anda, karena sebagai atasan kita hanya menyiapkan Anda – membuat program untuk Anda- sesuai dengan kebutuhan kita, kebutuhan organisasi.   Kita melatih seseorang untuk kebutuhan kita, bukan untuk kebutuhan mereka.

Bahkan sepanjang kita melakukan pekerjaan rutin seringkali kita tidak berpikir tentang kekuatan-kekuatan itu.  Kita hanya terpaku pada job description, yaitu deskripsi tugas dari job yang kita dapatkan saat rekrutmen.  Sekali seseorang berada di sana – sepanjang ia tak membuat ulah – ia akan terkunci di situ sekian tahun, lalu ia dipindahkan ke tempat lain sesuai keperluan organisasi.  Kita jarang sekali menaruh  pada kekuatan-kekuatan personal, selain kekuatan-kekuatan massal yang kita dapatkan dari berbagai alat ukur.

Lalu para eksekutif terbiasa mengembangkan program bukan berdasarkan kekuatan yang dapat dikontribusikan anak buahnya, melainkan pada kebutuhan organisasi.  Dan hasilnya tentu bisa diduga, ada sebagian orang yang tidak bisa mengikutinya.  Apalah jadinya kalau Albert Einstein dipaksa ikut kursus menyanyi oleh orangtuanya, atau bila Picasso diwajibkan ikut program fisika?
Kembali ke program yang dicanangkan untuk Ricochet, saat kesedihan datang, Judy Fritono justru menemukan satu kekuatan yang tidak pernah ia eksplorasi, yaitu kemampuan melakukan keseimbangan di atas papan selancar.  Ia menemukannya saat Ricochet dilatih di atas sebuah kolam kecil. Ia dengan lincah melakukan counter balance.

Maka menurut pelatihnya,  “rather than focus on what she couldn’t do, I focused on what she could do, which was surfing.” Judy fokus di sana dan menjadikan Ricochet surfing dog, yaitu anjing yang melakukan surfing di atas gelombang ombak di bibir pantai.  Ternyata ia memiliki kehebatan dan keseimbangan yang luar biasa.

Kabar itu segera menyebar ke berbagai penjuru.  Dalam hitungan bulan permintaan sudah datang dan seorang anak yang mengalami cidera tak bisa berjalan minta. Ia diminta diajak tandem berselancar dengan Ricochet.  Permintaan dikabulkan, mereka tandem sungguhan, bahkan event itu digunakan untuk melakukan fundraising.  Mereka berhasil menangguk donasi di atas 10,000 dolar plus terapi selama tiga tahun.

Video ini saya putar berkali-kali dihadapan para peserta program transformasi, dan mereka semua mngatakan ini adalah video terindah yang pernah mereka lihat, yaitu video yang menggugah mereka untuk berubah. Berfokuslah pada kekuatan, maka Anda akan mendapatkan kehebatan. Selamat mempersiapkan tahun yang lebih menantang.

Rhenald Kasali

Guru Besar Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/442594/34/

INTI KURBAN

Hari raya kurban sudah berlalu. Tetapi apakah masih ada yang belum tahu apa inti dari ibadah kurban? Sebenarnya ada 2 inti dari Ibadah Kurban. Pertama, memberikan yang terbaik untuk dipersembahkan pada Allah SWT. Kedua, ikhlas baik dalam niat maupun dalam perbuatan. Mari kita coba ingat kembali asal muasal inti dari ibadah kurban.

MEMBERIKAN YANG TERBAIK HANYA UNTUK ALLAH SWT.

Bermula dari perintah Nabi Adam AS kepada Anak-anaknya, yaitu Habil dan Qobil. Mereka diminta untuk berkurban memberikan yang terbaik dari apa yang mereka miliki hanya untuk Allah SWT. Perintah itu pun dipatuhi dan diterima dengan baik oleh keduanya.

Habil yang berprofesi sebagai penggembala domba, mempersiapkan domba terbaiknya. Habil memilih domba yang paling bersih, gemuk dan sudah cukup dewasa untuk dikurbankan kepada Allah SWT. Tanpa ragu Habil rela berkorban.

Lain dengan Habil, Qobil berprofesi sebagai petani buah dan sayurmayur, tidak mempersiapkan hasil panen terbaik miliknya. Qobil terlalu memperhitungkan untung dan rugi dari persembahannya. Dia menyisihkan antara buah dan sayur mayur yang baik dan yang dalam kondisi akan segera busuk. Sayur mayur yang terbaik dia bawa pulang, sedangkan sisanya dia akan kurbankan kepada Allah SWT.

Baca lebih lanjut

Cari Uang Cara Komodo – Jawapos 7 November 2011

Sulit bagi orang-orang lama memahami  cara mahluk dunia maya mencari uang.  Begitu sulitnya sampai bangsa ini terpecah gara-gara urusan  komodo.  Seperti dukun kesulitan menangkap tuyul dari alam goib, dubes kita di Swiss juga kesulitan mencari alamat resmi The New Seven Wonders (NSW).  Kata penjual tuyul, diajak jalan saja tuyul pun harus dibuatkan oppoinment lebih dulu. Nah begitulah NSW yang alamatnya hanya ada di dunia maya.  Pak dubes terbelalak, kantornya ternyata cuma museum sepi, sedangkan di dunia maya  keren dan penuh warna.

Mahluk dunia maya memang mencari duit dengan cara yang aneh bagi kita.  Anda tentu tak kebayang bagaimana Tune hotel di Bali  dipasarkan dengan   tarif kamar  Rp 28 semalam. Kita sering tak berpikir bagaimana mungkin  Facebook, Yahoo, Google dan Wikipedia bisa eksis padahal servisnya gratis.  Anda yang biasa menonton  Bintang Televisi dan Radio tahun 1980-an tentu menolak Indonesian Idol yang dasar kemenangannya  jumlah kiriman SMS.  Juga tak terbayang tetangga sebelah tiba-tiba bergelar Profesor Doktor. Kapan kuliahnya dan apa benar dia berilmu?

Dan banyak eksekutif bisnis terheran-heran membaca sebuah konsultan  di Jakarta memberi Award perusahaan  yang “sedang sakit” sebagai “the best brand” bahkan “the best company of the year”.  Bagaimana bisa? Wong keuangannya sedang susah, pelanggannya sudah kabur dan bisnisnya mau mati.

Seperti itu pulalah cara  NSW mencari uang.  Kebenaran di dunia maya tak bisa diukur dengan kebenaran di dunia riil. Pusing, sarat masalah etika, bisa menimbulkan perpecahan, bahkan kebencian di antara kita.  Apalagi kalau lembaga resmi di dunia, maksud saya pemerintah, sedang amburadul. Makin kacaulah hidup ini.

 

Surat Ancaman

Melalui media international saya mengetahui objective NSW adalah melakukan update terhadap Tujuh Keajaiban Dunia dengan menggunakan cara-cara modern. NSW juga men-declare bahwa mereka tak dibiayai  pembayar pajak.  Uangnya didapat dari donasi, sponsor perusahaan dan stasiun televisi yang mendapat hak siaran.   Itu sebabnya, pada awal berdiri di tahun 2001 ia didukung oleh badan resmi PBB, UNESCO.  Tetapi pada tahun 2007, tak lama setelah lembaga ini melakukan seremoni pengukuhan Tujuh Bangunan Kuno warisan peradaban masa lalu di Lisabon,  UNESCO menarik diri.

Saya membaca, penyebabnya karena NSW menyelewengkan objektifnya dengan memeras negara-negara anggota PBB untuk mencari uang dengan metode popular vote. Mereka bahkan mengabaikan  validity. Bagaimana mungkin misalnya, 7 juta penduduk Jordan memberi votes sebanyak 14 juta untuk bangunan bersejarahnya di lembah Petra? Akibatnya Candi Borobudur dan Piramida di  Mesir yang masuk dalam daftar Unesco tercoret.  Saya heran juga tak ada pejabat Indonesia yang protes saat itu, padahal di Mesir jutaan orang marah besar pada NSW karena Piramid nya dicoret dari daftar finalis Tujuh Keajaiban dunia.  Baru setelah diprotes keras, NSW memasukkan  Piramid Giza sebagai The Honorary of NSW Candidates.

Menurut berbagai literatur, NSW adalah poll terbesar di dunia maya dengan 100 juta votes, namun juga  paling tidak kredibel karena membiarkan seseorang memilih berkali-kali.  Itu sebabnya di setiap negara finalis, para kepala negara (termasuk SBY dan JK di sini) turun memimpin perolehan suara.  SBY-JK beserta ibu negara melakukannya saat peresmian bandara Lombok pada kabinet yang lalu.  Respons negara-negara terhadap poll SMS dan internet NSW memang amat beragam, mulai dari ikut berkampanye sampai menolak dan mengkritik habis.  Yang jelas potensi rusuh dan konfliknya sangat besar.

Lantas apa kontoversinya?  Sudah pasti uanglah.  Tanggal 27 Oktober 2010 direktur NSW mengirim surat rahasia  pada kantor kementrian pariwisata yang mengatakan Jakarta akan ditunjuk sebagai Lokasi Deklarasi resmi.  Namun untuk itu pemerintah harus terlibat, dan  bekerjasama dengan sebuah EO Jakarta yang sudah ditunjuk NSW. Tampak sekali logika surat yang dikirim sangat bertahap, dimulai dari iming-iming kabar gembira yang membuat aparat di Jakarta kegirangan sampai kewajiban yang harus dipenuhi, lalu ancaman kalau tidak patuh.

Sementara antusias warga Indonesia pun bergerak  cepat.  Tak peduli pulsanya disedot seribu rupiah atau lebih, mereka marah besar saat dikabarkan komodonya hampir kalah dengan kadal air Malaysia.  Padahal kalau orang Indonesia sedikit lebih kritis dan mau membuka situs NSW disana tampak jelas Komodo tak disandingkan dengan Kadal Malaysia. Entahlah siapa yang menebar hoax itu, tapi motifnya sangat jelas, dapat uang dari pulsa.

Tanggal 6 Desember 2010 ternyata NSW makin mengerucut, mengirim surat bahwa event itu tidak gratis.  Pemerintah Indonesia harus bayar licence fee sebesar US$7 juta.  Lalu berubah lagi menjadi $ 10 juta.  Saya tak tahu apa jawaban pemerintah kita, tapi dari dokumen-dokumen rahasia, saya membaca NSW mulai mengirim surat-surat ancaman.  Surat tertanggal 24 januari 2011 itu ditandatangani oleh Stefanie Mitterer (Koordinator Kepala NSW) yang mengatakan kalau dalam 7 hari tidak merespons, Komodo dari Indonesia akan dicoret dari daftar finalis NSW of the Nature.  Setelah itu saya mendengar lagi untuk event itu sendiri pemerintah diminta menyediakan dana sebesar US$ 45 juta.

Hebat juga NSW ini mencari uang.  Tentu NSW tahu orang rakyat Indonesia sedang butuh kemenangan sebab SeaGames besok saja persiapannya  sangat amburadul.  Selain badminton, sepakbola kita juga selalu kalah.  Mereka juga tahu pemimpin-pemimpin kita mudah diajak konflik dan sebagian orang mudah diajak berkhianat kalau dijanjikan uang.  Rakyatnya juga sedang suka bicara, apalagi kalau diberi harapan sedikit.  Jadi kalau diancam pasti mudah marah,  dan ujung-ujungnya kita akan membayar kalau terpojok dan ketakutan seperti yang dilakukan terhadap pada para pembajak Somalia terhadap perusahaan pelayanan nasional yang kapalnya dibajak.  Gabungan dari miskinnya rasa percaya diri, mudah diajak konflik, serta orang-orang tak kritis membuat  pihak asing yang culas mudah dapat uang di sini.

NSW sendiri sepertinya tahu caranya mendapatkan uang kita.  Di websites nya mereka mengaku tak menerima uang dari pembayar pajak atau negara.  Tapi di sini mereka meminta uang pada pemerintah.  Kita juga tak tahu persis kalau kita menang itu benar karena kita menang atau karena manipulasi angka seperti cara para konsultan pemasaran melakukan pemasaran jasanya dengan memberi award abal-abal di sini.  Lagi pula kalau menangnya karena yang votes bangsa dewek, apakah pasti akan meningkatkan kunjungan turis asing ke sini.  Saat ini saja bandara kita sudah kewalahan mengatur trafik penerbangan.  Landas pacu di bandara Cengkareng hanya dua, padahal terminalnya sudah ada tiga.  Sedangkan di banyak daerah, air traffic control hanya bekerja sampai pukul 6 sore.  Hotel dan jalan masih terbatas, belum lagi rumah sakit internasional. Kalau voters komodonya mayoritas voters lokal,  maka harap maklum pengunjung lokal di Candi  Borobudur, makam para Wali di Jawa dan pantai-pantai di Pulau Bali saja saat ini sudah  sulit ditampung  saat liburan.

Jadi NSW ini mau bantu pemasaran pariwisata  atau hanya suka uang kita?  Kalau yang pertama, ya teruskan saja.  Bahkan tanpa NSW pun lakukan saja promosi.  Tapi melihat gelagat bahwa yang kedua yang mereka incar, mari kita siapkan mental yang lebih besar, yaitu siap dicoret.  Bersiaplah bangsaku untuk kembali menerima kenyataan pahit bahwa taman nasional pulau komodo kita dinyatakan kalah oleh NSW, bukan karena kurangnya SMS, melainkan karena ada kepala negara bangsa lain yang berani bayar lebih besar.  Begitulah cara mahluk dunia maya mencari uang.

Maka berhentilah bertengkar, dan tetaplah promosikan Komodo ke manca negara dengan cara yang lebih cerdas dari uang yang terbatas.  Kita adalah bangsa yang malas bayar pajak, tapi tak ada masalah kalau harus bayar pulsa.  Di situlah letak kecerdasan pengusaha dunia maya mencari uang.  Piss!!, kata anak-anak dan mahasiswa saya.

 

Rhenald Kasali

Guru Besar Universitas Indonesia

Lari Kencang Menteri Dahlan – Sindo 3 November 2011

Meski kehilangan Fadel Muhammad, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2 hasil reshuffle mendapatkan Dahlan Iskan. Dahlan,seperti Fadel, adalah seorang “doer”. Larinya kencang, matanya jeli, dan yang lebih penting lagi, ia tahu mana yang jadi prioritas yang harus segera diputuskan.

Ibarat nasabah yang diangkat menjadi bankir atau bankir yang diangkat menjadi juru runding debitor yang tengah bermasalah, Dahlan Iskan tahu apa yang dirasakan oleh masing-masing BUMN. Doing from the other side ot the table!. Kini Dahlan harus berunding dengan “bank” yang membinanya, praktis jurus-jurus yang dipegang “bank” ada di tangannya.  Dari direksi BUMN yang biasa diberi arahan oleh kementerian yang basisnya adalah birokrasi, kini ia berada di sisi birokrasi. Yang harus ia benahi adalah kantor kementeriannya agar “in line” dan “senafas” dengan BUMN yang dituntut berkinerja.

 

Nafas Berbeda

Sejak kementerian BUMN didirikan, dan aset-aset BUMN dipisahkan dari Direktorat Pembinaan BUMN – Departemen Keuangan, sebenarnya sudah ada banyak kemajuan. Menteri Tanri Abeng, profesional, yang datang bersama-sama CEO terkemuka Indonesia (Robby Djohan dan Abdul Gani) melakukan gebrakan riil. Laksamana Sukardi, yang juga mantan CEO meneruskan membawa lebih banyak lagi para praktisi ke dalam BUMN. Di era Sofyan Djalil, selain ditanamkan prinsip-prinsip  good governance, ia juga agresif membawa masuk  CEO profesional ke dalam BUMN.

Tetapi, seperti layaknya memindahkan ikan samudra ke dalam  “fresh water” yang biasa dihuni ikan-ikan air tawar, tidak semua ikan-ikan hiu itu survive. Sebagian mabuk sempoyongan. Hiu yang biasa mengarungi samudera luas melawan predator-predator raksasa kini harus hidup bersama-sama ikan-ikan konsumsi yang larinya tak sekencang mereka. Berlari kencang, terlalu banyak dinding yang harus diterjang. Melihat agresifitasnya, pemilik kolam yang tak biasa  melaut sering dibuat kecut. Alih-alih membuat ikan-ikan konsumsi berlari lebih cepat, ikan-ikan samudera lah yang direm, dijadikan ikan kolam.

Beberapa CEO yang lari kencang itu akhirnya tak bisa bertahan lama. Namun beruntung masih ada orang-orang hebat yang mempu mengembangkan “jurus-jurus” yang lebih adaptif. Hotbonar Sinaga (Jamsostek), Ignatius Jonan (KAI), Agus Martowardoyo & Zulkifli Zaini (Bank Mandiri), Richard Jose Lino (Pelindo II), Herman Pasoroan Harianja (Pelindo IV), Gatot W Suwondo ( BNI), Sofyan Basir (BRI), dan tentu saja Dahlan Iskan yang sukses memimpin PLN adalah sebagian contoh CEO yang lari kencang di BUMN.  Disamping mereka tentu juga beberapa direksi  yang lahir dari dalam BUMN yang sama kencang larinya.

Dari mereka itulah kita belajar ada dua masalah yang harus segera diselesaikan. Pertama, bagaimana menyelaraskan “nafas” antara kantor Kementerian dengan BUMN-BUMN itu sendiri. Dan kedua, bagaimana membina agar BUMN-BUMN yang belum dikelola dengan baik bisa lari lebih kencang lagi.

Untuk masalah yang pertama, bolanya memang ada di pemerintah. Bahkan kalau BUMN-BUMN mau dibuat maju, kantor kementerian dululah yang harus direformasi menjadi holding  BUMN yang dikelola secara lebih profesional dari BUMN-BUMN yang dibinanya. Kantor Kementerian ini nafasnya tidak boleh sama dengan kementerian-kementerian lainnya yang terperangkap oleh, maaf,  “kultur kucing”.

“Kucing” adalah metafora yang saya gunakan dalam buku Cracking Zone untuk menggambarkan kantor-kantor yang bergerak lambat atau setengah lambat seperti petugas di kantor-kantor kelurahan atau kecamatan. Toiletnya kumuh, dan tempat parkirnya semrawut menandakan tak ada pemimpin yang peduli pada pelayanan. Seragam-seragam petugasnya lusuh, ikat pinggang satpam kedodoran pertanda kurang diberi makan. Resepsionis bekerja malas-malasan pertanda tak ada supervisi. Jam 5 sore sebagian besar pegawai sudah gelisah ingin pulang, tak ada leadership. Politisi dibiarkan menekan dan banyak dapat bisnis, pertanda ambisi perorangan dan rasa takut.

Budaya korporat “kucing” tentu tidak hanya ada di kantor-kantor Kementerian secara umum, tetapi masih banyak ditemui di BUMN-BUMN yang kata para profesional terkesan “malas”. Kucing itu betah di rumah, biasa diberi makan, dan kalau tidak diberi makan ia akan mengorek-ngorek dapurnya sendiri. Dia setia, tapi lamban sekali.

Sejak para profesional bergabung di kantor kementerian BUMN, harus diakui larinya sedikit lebih kencang. Tetapi belum cukup. Kantor ini memang belum didesain agar insan-insannya bisa lari kencang karena nafasnya adalah birokrasi dan kepegawaiannya PNS dengan struktur insentif yang tidak bisa membuatnya bergerak lebih dinamis.

 

Crackership

Menyadari “bangunan” rumahnya yang belum didesain untuk lari kencang, Menteri Dahlan Iskan memilih cara kedua, yaitu membenahi BUMN-BUMN agar tidak “berbudaya kucing” lagi. Tetapi saya kira ia butuh amunisi yang lebih besar, yaitu struktur kantor kementerian yang lebih korporatif. Menpan dan Setneg harus bisa membantu agar kantor kementerian BUMN tidak memiliki desain bangunan yang sama dengan kantor Departemen Pendidikan  dan Kebudayaan, atau  Departemen Dalam Negeri.

Kementerian-kementerian  yang lain adalah cost-center sedangkan kementerian BUMN adalah income – generator. Bahkan di Singapura saja, BUMN menyumbang 60% dari GDPnya. Jadi, kalau ingin BUMN-BUMN sehat dan larinya kencang, Kementeriannya harus dibuat lebih otonom dengan kultur korporatif, yaitu kultur cheetah yang siap bertarung, insentifnya harus bagus, gajinya harus “above market price” dengan insentif yang menarik. Ada kebebasan untuk bergerak lebih leluasa, dan pegawai-pegawainya tak memerlukan evaluasi serta rekrutmen seperti metode yang dipakai di dunia PNS

Menteri Dahlam Iskan menyentak. Ia berlari sangat kencang. Di surat kabar kita melihat ia sedang menyetir mobil sendiri dan disebelahnya duduk Wamen Mahmudin Yasin. Saya dengar mereka berdua langsung bekerja sesaat setelah dilantik. Di mobil pun berkoordinasi sedangkan menteri-menteri yang lain masih berjarak dengan Wamennya yang masih bingung harus berbuat apa.

Para CEO BUMN yang saya temui mengaku menterinya lari kencang. Ini pertanda alignment mulai bekerja. Namun tuntutannya jelas. BUMN harus fokus, jangan terlalu banyak menghabiskan waktu untuk rapat dengan kantor kementerian, dan utamakan profesionalitas. Hanya dalam hitungan hari, kantor kementerian BUMN sudah memutuskan tindakan-tindakan strategis. Berapa besar dana PSO untuk membantu BUMN-BUMN yang perlu suntikan modal sudah keluar, dan kemarin ia memutuskan untuk menyerahkan aset-aset tidak produktif yang jumlahnya sangat besar di BUMN-BUMN agar dikelola oleh PT PPA.

Aset-aset tidak produktif di BUMN memang banyak sekali sehingga return on assetsnya sangat rendah. Common sense kita mengatakan, punya aset dan tanah yang luas kalau tak punya cash flow yang cukup , aset-aset itu justru menjadi beban.

Bagi saya Dahlan Iskan adalah sosok lain yang dirindukan bangsa ini. A doer is much more needed rather than just a lazy thinker. Seperti yang saya katakan minggu lalu, Indonesia bukanlah kereta api otomatis yang cukup dikemudikan masinis yang hanya bekerja dengan telunjuk jarinya saja. Indonesia adalah sebuah kapal besar yang perlu digerakkan pemimpin efektif.

Jadi bergeraklah para CEO BUMN, ubah budaya kucing menjadi cheetah, dan jadilah  Cracker yang gesit. Bergeraklah kantor kementerian PAN, beri lebih banyak ruang agar kementerian BUMN bisa lebih hebat dari Khazanah (Malaysia) atau Temasek (Singapura).  Selamat bekerja Mentri Dahlan Iskan, semoga Tuhan terus memberi kesehatan dan kebijaksaan untuk reformasi birokrasi

 

Rhenald Kasali

Guru Besar Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/441094/34/