Merosotnya Daya Saing – Sindo 13 September 2012

Setiap kali mengalami penurunan saya saing, bangsa-bangsa besar selalu ribut. Demikianlah ketika peringkat daya saing global Indonesia turun dari posisi 46 ke 50. Beda benar dengan negara-negara yang selalu berada di peringkat paling bawah: Haiti, Sieraleone dan Burundi. Seperti tak bertenaga dan tanpa daya, dari tahun ke tahun diam di sana.

Keributan-keributan kecil tentu bukan hanya menjadi milik Indonesia. Di televisi saya melihat sejumlah diskusi yang menyebutkan walaupun peringkat Indonesia turun, investasi di bidang-bidang usaha tertentu (khususnya perkebunan) naik terus. Diskusi-diskusi baru berkisar seputar nilai investasi, belum pada produktivitas. Demikian pula belum ada yang mempersoalkan mengapa Malaysia lebih menarik bagi Tonny Fernandes untuk menjadihome-based Air Asia ketimbang Indonesia yang jelas-jelas marketnya jauh lebih besar.  Demikian pula mengapa Lion Air lebih tertarik menggandeng Malindo untuk menjadi hub-nya ke bisnis penerbangan internasionalnya. Kalau ini dimasukan pasti akan lebih menarik.

Dari Thailand Tharong Khanthong menulis pendapatnya di harian The Nation. Ia mempersoalkan mengapa peringkat Thailand (peringkat no 38) bisa dinilai di bawah negeri yang tengah kesulitan dilanda ketidakpercayaan, Spanyol (peringkat ke 36). Spanyol baru saja meminta bail out fund sebesar 100 miliar euro. Kondisi ekonomi Spanyol sedang amat berat, sama seperti kondisi ekonomi Thailand saat dilanda krisis ekonomi di tahun 1997. Demikian pula bagaimana menjelaskan Rusia yang menguasai bisnis energy senilai USD 2 trilyun hanya menduduki posisi ke 67 dan India hanya di posisi 59. Bagaimana kita bisa menerima daya saing Israel (peringkat ke 26) lebih tinggi dari China (29) yang menguasai cadangan devisa terbesar di dunia?

Namun satu hal yang perlu dipahami oleh pemimpin Indonesia, ekonomi dan bisnis sudah tidak dapat lagi dipisahkan, dan untuk membangun ekonomi atau kesejahteraan diperlukan pendekatan lebih dari sekedar kebijakan ekonomi makro.

Kultur Ekonomi Vs Kultur Bisnis

Meski bisnis merupakan bagian dari kegiatan ekonomi, secara keilmuan semakin hari keduanya bergerak  menurut landasan berpikir yang berbeda. Bangsa-bangsa yang unggul adalah bangsa yang mampu mengintegrasikan keduanya secara simultan. Yang satu menjaga kestabilan pada level negara, yang satu mengurus dunia usaha. Cara berpikirnya memang berbeda, namun begitu disatukan, hasilnya bisa  menjadi produktivitas.

Dalam hal inilah Indonesia perlu meninjau kembali konsep pembangunan ekonomi yang dibebankan pada Bappenas. Bappenas tidak bisa bekerja tanpa prinsip-prinsip strategic management karena perekonomian Indonesia telah berubah menjadi sebuah system yang kompleks. Indonesia telah berubah menjadi sebuah kekuatan besar dengan aktor yang amat beragam dengan pola pikir, cara bekerja atau kepentingan yang berbeda-beda dalam spektrum yang sangat luas. Tanpa strategic  planning yang baik, apa yang telah dituangkan belum tentu dijalankan, dan apa yang dijalankan, belum tentu memenuhi apa yang diinginkan. Kalau bukan Bappenas, siapa yang memegang peran strategic  planning di negeri ini?

Kalau kita mengintip cara yang ditempuh bangsa-bangsa yang unggul, yang selalu menduduki peringkat atas, yang meski dilanda krisis tetap optimis menatap hari esok dan cepat kembali, maka kita bisa menyaksikan peran strategic planning yang begitu intensif. Negara bukan hanya sibuk mengurusi dirinya sendiri, melainkan bekerja sama dengan dunia bisnis agar mampu menghasilkan kegiatan ekonomi yang lebih bernilai tinggi, lebih mampu menciptakan kesejahteraan melalui lapangan pekerjaan.
Swiss dan Singapura misalnya, menduduki peringkat 1 dan 2, secara faktual bukanlah negara yang kaya dengan sumber daya alam. Namun mereka bisa keluar dari perangkap keterbatasan-keterbatasan, keluar dengan rangkaian strategi yang produktif. Tentu saja bukan tanpa masalah, namun negara yang dikelola dengan strategic planning yang baik berhasil mengambil alih keresahan yang dirasakan warganya (ketidakpastian) kedalam program-program yang adaptif dan mampu menjadi pemenang.
Pembangunan ekonomi memiliki cara pandang tersendiri yang berpengaruh luas dalam pilihan-pilihan yang diberikan. Bila paradigma ekonomi melihat kekayaan dari segi sektor dan komoditi, strategic planning melihatnya dari kacamata segmen dan brand.
Tengok saja judul-judul berita surat kabar-surat kabar di berbagai negara. Bila suatu negara perekonomiannya masih sederhana dan konsep pembangunannya masih economic based, maka judul-judul berita ekonomi selalu tentang sektor (seperti pertanian, pertambangan, dan keuangan) dan komoditi (beras, karet, kopi, emas dan seterusnya). Sedangkan di negara-negara yang perekonomiannya memiliki keunggulan daya saing, judul-judul berita sudah bukan lagi sektor dan komoditi, melainkan segmen dan brand. Pokoknya segala nama perusahaan dan merk sudah tak bisa dihindari oleh media. Di Korea Selatan selalu ada berita dengan judul Samsung, Hyundai atau Daewo.
Di China ada judul Cnoock, atau Cinopec.  Demikian pulalah kalau Anda ke Malaysia, Singapura atau negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Bahkan di negara-negara itu jarang sekali Anda temui judul-judul berita ekonomi yang mengedepankan sektor dan komoditi.  Semuanya berbicara nama, yaitu nama economic powerhouse.
Komoditi adalah hasil sumberdaya alam yang nilai tambahnya belum diolah menjadi kegiatan ekonomi produktif. Bila panen raya terjadi, pasokan berlebih, maka harga akan turun, dan kesejahteraan seluruh mata rantainya terganggu seperti yang sedang terjadi terhadap komoditas pertambangan di Kalimantan dan Sulawesi dewasa ini. Sebaliknya, masyarakat yang lebih sophisticated tidak lagi membeli kopi, atau cacao. Mereka membeli Starbucks, Kapal Api atau Torabika. Silver Queen, Van Houten, Lindt, atau Godiva. Begitu suatu bangsa membangun merek, inovasi mulai bekerja, paten mulai bermunculan dan infrastruktur diperbaiki.  Suratkabar pun tak malu-malu menjadikan nama itu sebagai judul berita.  Itulah yang diukur dalam indeks-indeks daya saing yang menyangkut banyak hal.  Merek dan economic powerhouse memerlukan iklim usaha yang sehat sehingga kompetitif dan mampu menjalankan peran pendukung pemerintah sebagai job security.
Ekonomi berbasikan merek berdampak luas, mulai dari reputasi, standarisasi, kualitas SDM sampai infrastruktur dan birokrasi.
Itulah sebabnya perencanaan ekonomi tidak bisa hanya dibangun di atas landasan berpikir yang datar. Perencanaan ekonomi perlu dibuat dengan manajemen modern yangsophisticated, dengan berupaya bersungguh-sungguh agar sumber daya alam Indonesia mampu menghasilkan merek-merek yang unggul dengan reputasi yang tinggi.
Saat ini masih banyak terjadi pengusaha-pengusaha nasional yang memindahkan kantor operasionalnya di luar negeri dan mengoperasikan global brand¬-nya dari negara tetangga. Basis produksinya yang bersifat commodity-based ditempatkan di Sumatera atau Kalimantan, tetapi packaging, marketing dan risetnya ada di negara lain. Merek-merek global ini tersebar luas di berbagai pasar dari Afrika hingga Amerika Latin, dan di sana sama sekali tidak tertulis kalimat “Made In Indonesia”
Jadi saya pikir Indonesia perlu cara berpikir baru dengan mengedepankan logika-logika bisnis untuk memajukan kesejahteraannya. Indonesia perlu membangun puluhan Power House ekonomi yang mandiri, yang mampu menarik 52 juta sektor informalnya ke dalam sistem pertarungan global yang lebih bermartabat. Dan untuk itu, logika modern management dan strategic planning harus ada dalam pengorganisasian negara.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/526191/34/

http://www.rumahperubahan.com (@rumah_perubahan)

Pertemuan Orang-orang Gila – Jawapos 10 September 2012

Di Semarang, malam minggu 8 September 2012 saya mengikuti rapat pimpinan asosiasi yang setelah saya pikir-pikir terdiri dari “orang-orang gila”.  Dalam buku John Elkinton dan Pamela Hartigan mereka disebut insane, bahkan unreasonable.  Kalau sesuatu sudah dibilang tidak bisa, tidak menguntungkan, atau tidak menarik, mereka malah tertarik dan ingin membuktikan sebaliknya.  Dan yang diurus sebenarnya bukanlah hal yang menarik bagi orang lain: sampah, orang sakit, orang-orang yang dilahirkan cacat,  miskin dan dibuang oleh keluarga, bahkan WC, kaum adat yang terpinggirkan atau pertanian yang dianggap perbankan beresiko tinggi tidak untung dan seterusnya.

Dan hari Minggunya, 9 September, pemikiran-pemikiran orang-orang gila ini kami pamerkan kepada kaum muda.  Saya sendiri datang dengan membawa 20 orang mahasiswa UI yang tergabung dalam Young Fellow Rumah Perubahan.  Kelak anak-anak muda ini akan memimpin gerakan social entrepreneur, bukan kewirausahaan biasa.

Panggilan dan Terpanggil

“Orang-orang Gila” yang saya maksud adalah orang yang suka “mendengar” suara-suara yang tak didengar banyak orang, dan bisa melihat yang tak terlihat.  Tapi kata pendiri asosiasi yang saya ketuai ini (AKSI), Bambang Ismawan, sebenarnya semua orang “dipanggil” dan “ditunjukkan” untuk melihat, tetapi hanya orang-orang gila inilah yang terpanggil.  Makanya, bagi manusia normal mereka ini bisa dianggap gila. Mereka mau berbagi walaupun belum punya mobil atau rumah sendiri.  Memiliki bakat kewirausahaan, tapi untungnya tidak dipakai buat melayani orang-orang yang bisa membayar atau kelas menengah.  Juga tidak dipakai untuk memperkaya diri sendiri,  melainkan untuk melayani rakyat miskin.  Walaupun mereka sudah membayar pajak dan tugas itu harusnya dijalankan pemerintah, mereka ikhlas saja mengambil peran dan melakukannya.

Orang-orang yang terpanggil itu, katanya lagi, ketika bekerja seperti sedang kerasukan.  Awal kerasukannya juga bermacam-macam.  Ada yang dipanggil karena cacat seperti Irma  Suryati, orang Kebumen  yang melamar kerja kesana kemari selalu ditolak, sehingga lalu mengambil kain perca sisa dari sebuah pabrik garmen di Semarang yang biasanya hanya dibakar begitu saja.   Dari situ ia buat keset yang dikerjakan bersama-sama  kaum difabel.  Namun ketika hasilnya banyak, ia kesulitan menjual. “Saya bawa ke jakarta dengan truk besar, sampai di Tanah Abang pukul dua dini hari saat Jakarta sedang dilanda banjir besar tahun 2006,” kenangnya.  Tapi dari Tanah Abang ia belajar menghadapi pasar dan mengenal pedihnya berurusan dengan preman Jakarta.

Irma kini menjadi usahawan difabel yang melayani kaum difabel.  Peserta rapat lainnya adalah Sumadi yang pergi ke pelosok-pelosok Nusantara mengajarkan kaum miskin agar punya jamban sehat (WC) dan hidupnya lebih bersih.  Ia mengajarkan cara arisan agar penduduk kampung memiliki sanitasi yang bersih.  Sama seperti Sugeng yang sering kita lihat di program tivi Kick Andy, si pembuat kaki palsu yang sejak kecil kehilangan kakinya.

Ada Haji Idin, jawara dari Betawi yang kadang disebut si Pitung.  Dia bilang jawara itu orang yang berilmu, murah hati, lapang dada dan menghormati pemikiran orang lain.  Walau hanya berpendidikan kelas empat SD, ia sudah mendokumentasi tanaman Bambu Nusantara dengan segala karakternya.  Dia tak menggunakan masanya untuk memeras, melainkan memperbaiki pikiran para pengembang yang membuang sampah sembarangan atau merampas aliran tepi sungai Ciliwung untuk mendapatkan air bersih.  Semua itu dipakai untuk mensejahterakan masyarakat yang tinggal dan mencari makan di pinggir kali.

Jadi Tuhan memanggil mereka dengan berbagai cara dan dalam bidang yang beragam. Ada yang “terpanggil” mengurusi kaum miskin di tepi sungai, ada yang mengurus  anak-anak autis tak mampu, pedagang kaki lima, orang cacat, dan seterusnya.  Panggilan itu, kata Robert Greanleaf (1970) adalah sebuah panggilan suci yang datang secara original dari dalam jiwa, untuk melayani sesama.  Katanya lagi, panggilan itu berawal dari kemampuan berempati, melihat perspektif dari sisi lain, ketrampilan mendengarkan, menangkap foresight, dan punya kesadaran untuk bertindak.

Perspektif Kaum Miskin

Belakangan perhatian terhadap pasar kaum miskin lumayan cukup besar, namun sayangnya perspektif yang dibangun adalah perspektif “pasar” yaitu kumpulan massa yang jumlahnya besar dengan kekuatan konsumsi sebagai obyek pemasaran.  Bagi mereka, the poor (kaum miskin) adalah the have not yang memerlukan bantuan pemerintah.  Mereka akan berdaya kalau pemerintah meningkatkan subsidi dalam aneka bidang.  Namun sayangnya subsidi ini sering tidak tepat sasaran, dan kalaupun ada, lebih membuat mereka sebagai human passengers yang hidup dalam ketergantungan dan kemiskinan berkelanjutan.

Pandangan baru menyebutkan mereka harus dipandang sebagai kelompok bukan tidak memiliki apa-apa, melainkan sebagai kelompok yang memiliki sesuatu. The poor is the have little.  Mereka punya tenaga, otak yang waras, kesehatan (meki tak sesempurna kelas menengah), kegigihan, adat budaya, tanah (meski sedikit), sahabat dan sebagainya.  Nah, orang-orang yang saya sebut gila ini, di AKSI (Asosiasi Kewirausahaan Social) menjadi sahabat-sahabat mereka untuk memberi kekuatan dengan jaringan dan inisiatif agar masyarakat semakin mandiri.  Kalau kita perhatikan, perekonomian sektor informal Indonesia saja jumlahnya sudah mendekati seperempat jumlah penduduk nasional.

Mereka juga bisa menjadi mandiri dan berkontribusi kalau semakin banyak orang “gila” yang saya sebut diatas yang mau menjadi sahabat kaum miskin.  Sektor informal itu, bagi Bambang Ismawan bukanlah the have not, melainkan kelompok ekonomi yang aktif.  Saatnya bagi Indonesia memperbaiki cara pandang, mendidik lebih banyak manusia yang punya kepedulian dan empati, dan mau mendengarkan yang tak terdengar.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

http://www.rumahperubahan.com (@rumah_perubahan)

Ethics for Entrepreneur: Taking the Great Challenge for the Society

Raja-raja kecil, demikianlahke-36 pewirausaha muda yang datang ke Rumah Perubahan tanggal 4-9 September lalu untuk mengikuti pelatihan Ethics for Entrepreneur. Pelatihan yang dikenal dengan nama Wirausaha Muda Mandiri ini rutin diselenggarakan oleh Bank Mandirisejak tahun 2007 dan telah menjadi ‘identitas’ Bank Mandiri dalam dunia UMKM.

Dalam sambutannya, Bank Mandiri yang diwakili oleh Marita Widyanigrum, salah satu vice president, menyampaikan bahwa salah satu hal mendasar dalam berbisnis adalah memahami etika bisnis yang baik. Hal senada disampaikan oleh Rhenald Kasali. Menurutnya, pengusaha yang tidak memahami etika bisnis yang baik cenderung tidak menghargai proses. Di sinilah muncul perilaku-perilaku yang tidak diinginkan, misalnya tidak jujur dan korupsi.

Rhenald Kasali, dalam berbagai kesempatan menekankan pentingnya memperhatikan lingkungan sosial dalam berbisnis. Untuk itu peserta diajak berkeliling Rumah Perubahan pada hari ketiga pelatihan. Tujuannya untuk mengasah kepekaan dalam melihat masalah-masalah sosial yang mungkin dihadapi masyarakat, sekaligus melihat perubahan-perubahan sosial yang telah dilakukan oleh Rumah Perubahan. Selain berkunjung ke masyarakat, peserta pelatihan juga diajak mengunjungi Rumah Baca dan PAUD-TK Kutilang Rumah Perubahan.

Kekhasan pelatihan Wirausaha Muda Mandiri ini adalah sesi sharing by expert yang menghadirkan para pelaku bisnis. Setiap narasumber memiliki pengalaman yang unik dan telah terbukti berhasil menjalankan berbagai program di instansinya masing-masing. Salah satu pembicara yang hadir dalam batch ini adalah Hasnul Suhaimi, presiden direktur salah satu provider telekomunikasi yang berhasil membawa perubahan besar pada industri telekomunikasi Indonesia.

Empat hari pelatihan berlangsung tanpa terasa. Meskipun setiap hari mengikuti kegiatan hingga pukul 9  malam, semangat peserta tidak mengendur hingga hari terakhir. Perpisahan di hari terakhir adalah saat-saat yang tak terlupakan, ketika para peserta bertukar alamat email, nomor telepon, dan PIN Blackberry,serta berjanji untuk tetap saling kontak di masa depan. Pelatihan ini merupakan turning point bagi para peserta dalam menjalani bisnisnya: bertambah bekal ilmu, bertambah koneksi, juga semakin beretika dalam menjalankan usaha.

Selamat dan sukses untuk para Wirausaha Muda Mandiri!

http://www.rumahperubahan.com (@rumah_perubahan)

Sunk Cost Trap – Jawapos 3 September 2012

Anda mungkin pernah membaca kata-kata yang diucapkan Warren Buffet yang bunyinya begini: “Kalau Anda terpuruk masuk ke dalam sebuah lubang, cara terbaik yang bisa Anda lakukan minimal berhenti menggali tanahnya.”
Kalimat ini begitu powerful, terutama untuk menjelaskan betapa banyak CEO yang menggali lubang terus menerus ketika berhadapan dengan masalah, dengan mendiamkannya.  Mendiamkan masalah dapat menjadikan masalah bak bakteri pembusuk yang dapat menularkan kerusakan. Menuruti Warren Buffett, tentu saja minimal kita harus bisa menghentikannya.
Tiga orang psikolog, Hammond, Keeney, dan Raiffa (2011) baru-baru ini melansir temuannya yang dalam metode pengambilan keputusan dikenal sebagai sunk-cost trap. Anda yang pernah belajar akutansi mungkin familiar dengan kata sunk-cost yang oleh sebagian penulis diterjemahkan (maaf, ini agak lucu bunyinya) menjadi biaya tenggelam.
Maksudnya ya biaya yang sudah dikeluarkan (dan begitu besar) yang tak bisa diambil kembali. Ya dia hilang begitu saja. Nah disebut  trap atau perangkap karena tidak lain, para pemimpin sering kali berputar-putar menyesali biaya itu dengan membiarkannya ada, padahal assetnya sudah hilang, tenggelam.

Hilang, lenyap, atau ?
Beberapa hari lalu saya melihat siaran berita di televisi yang menunjukkan bagaimana antusiasnya warga Cina menyaksikan perobohan dua buah gedung bertingkat tinggi di wilayahnya. Gedung bertingkat lebih dari 30 lantai itu dirobohkan dengan menggunakan dinamit sehingga dalam sekejap berubah menjadi puing-puing bebatuan.
Mengapa para eksekutif pengelola gedung berani merobohkan kedua gedung itu? Bukankah masih bisa dipakai? Dan kalaupun sudah kumuh, apa sih susahnya direnovasi?  Begitu pikiran banyak orang.
Sementara itu di banyak kota saya menyaksikan gedung-gedung kumuh dibiarkan begitu saja, bahkan sudah tidak dipakai sama sekali. Dibilang antik ya tidak, bahkan menjadi angker dan penuh sarang laba-laba.
Tetapi saya pikir semua itu terjadi karena manusia selalu mengalami sunk-cost trap dalam pengambilan keputusan. Daripada dirubuhkan, ya lebih baik kita perbaiki saja, atau diamkan sajalah.  Walaupun kita harus membayar biaya-biaya perawatannya.
Hammond, Keeney, dan Raiffa memberi beberapa contoh  yang saya kira ada banyak benarnya. Mereka menyebutkan apa yang dialami oleh para bankir yang menghadapi nasabah-nasabah bermasalah. Setelah kredit diberikan beberapa waktu kemudan kredit itu macet. Apakah Anda berpikir para bankir akan menghentikan dan menjualnya kepada pihak ketiga? Ternyata tidak, rata-rata bankir di seluruh dunia ternyata justru menyalurkan  kredit-kredit baru dengan harapan usaha yang dibantu itu bisa hidup kembali. Padahal kredit yang macet itu adalah sunk-cost, dan kredit macet itu bertemu dengan bankir yang tersandera sunk-cost trap.
Di sini lain, saya juga melihat ada begitu banyak CEO yang menghadapi karyawan-karyawan yang bermasalah dan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Kadang saya berpikir rumah mereka mungkin sudah bukan di sini lagi dan tentu saja mereka membutuhkan program karir kedua (the second career). Namun berapa banyakkah CEO yang berani melakukannnya dan membuatkan program pensiun dini agar karyawan-karyawan itu bisa segera pindah? Anda benar, ternyata sangat sedikit. Mayoritas CEO justru memilih cara-cara lain yang bisa membuat para karyawannya tetap bertahan, bahkan menggali lubang-lubang besar pada perusahaan, yang ibarat kapal berpenumpang besar lambat laun bisa mengakibatkan kapal benar-benar tenggelam.
Setelah membaca cerita di atas, saya harap Anda pun mulai mengerti mengapa semua pemimpin partai politik mendiamkan eksekutifnya yang bermasalah tetap menjadi pengurus partai. Mereka mendiamkannya sama sekali, bahkan justru membelanya. Dan kalau sudah ditangkap KPK dan dijadikan tersangka, paling-paling kalau mengerti orang-orang bermasalah itulah yang akan mengundurkan diri sendiri. Bukan diberhentikan. Ini jelas sekali.
Pemimpin-pemimpin yang kita hormati itu, maaf, bukanlah good decision maker. Mereka terperangkap sunk-cost trap.  Dan sunk-cost trap adalah perangkap yang dialami olehdecision maker yang lemah yang kurang memiliki kemampuan multi-perspektif.
Lantas apa yang dapat mereka lakukan?  Mungkin sebaiknya Anda tunjukkan saja kolom ini pada mereka yang terperangkap di sana dan kalau ini terjadi pada Anda, saya minta agar Anda mulai berani melihat sebuah masalah dari berbagai perspektif. Namanya asset, kalau sudah tidak ada nilainya hendaknya Anda bijak menerimanya. Asset itu telah tenggelam dan Anda tak perlu berharap lagi, kecuali untuk alasan-alasan kemanusiaan.  Sunk-cost trap adalah psychological trap yang mungkin dialami oleh banyak pengambil keputusan yang buruk.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

http://www.rumahperubahan.com (@rumah_perubahan)

Serunya Orientasi Mahasiswa MM UI di Rumah Perubahan

Ratusan orang berjaket kuning berjalan hilir mudik di Rumah Perubahan hari Sabtu (3/12/2012). Namun jangan salah sangka dulu, Rumah Perubahan tidak sedang berubah menjadi organisasi partisan yang sedang menyelenggarakan rapat salah satu partai politik, manusia berjaket kuning itu sesungguhnya adalah Mahasiswa baru MM UI yang sedang melakukan orientasi di Rumah Perubahan dari tanggal 3-4 Desember 2012. Orientasi ini merupakan program rutin yang diadakan sebagai sebuah prosesi penyambutan dan pembekalan bagi para mahasiswa baru MM UI.

Selain para mahasiswa baru, turut hadir dalam acara ini Dosen-dosen MM UI, serta pegawai dan beberapa mahasiswa senior yang bertindak sebagai panitia. Pagi-pagi buta mereka sudah tiba. Pukul 06.00 WIB, lapangan parkir Rumah Perubahan sudah disesaki oleh berbagai jenis kendaraan, maklum tidak sedikit yang sudah bekerja sehingga taraf ekonomi mereka relatif menengah ke atas.

Acara hari pertama dimulai dengan senam bersama dan dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu Gaudeamus Igitur,lagu asal Yunani yang biasa dinyanyikan saat prosesi wisuda. Setelah itu acara dilanjutkan dengan kegiatan outdoorberupa Leadership Simulation, pada kegiatan ini mahasiswa diminta untuk membentuk kelompok dan memilih masing-masing ketua kelompoknya setelah itu diadakan beberapa kompetisi antar kelompok seperti yel-yel,dll untuk melihat kekompakkan tim dan dinamika sosial antar tim.

Materi indoor baru dimulai pukul 10.15 pagi dengan judul materi tentang “Brain Colors”. Materi ini memetakan para mahasiswa baru kedalam 4 jenis Brain Color yaitu Yellow, Blue, Green dan Orange, masing-masing warna tersebut akan mewakili perilaku dan sikap dominan yang dimiliki  setiap peserta. Namun perbedaan itu indah, tidak ada yang benar dan salah dalam kategorisasi tersebut, selayaknya pelangi yang bewarna-warni dalam sebuah tim diperlukan juga paduan antara keempat kategori tersebut secara proporsional.

Sesi selanjutnya dibawakan langsung oleh Prof. Rhenald Kasali. Materi sederhana namun bermakna dalam yang disampaikan dalam sesi ini adalah, melihat yang tak terlihat. “Seorang calon eksekutif top harus mampu melihat sesuatu yang tidak terlihat, banyak peluang yg tersembunyi” tutur Rhenald. Ia menambahkan, dunia dipenuhi oleh informasi yang bias sehingga kita harus mampu peka terhadap informasi tersebut, mampu jeli melihat yang tak terlihat.

Materi kedua yang disampaikan oleh Rhenald Kasali berjudul The power of giving, materi ini dirasa sangat penting sebagai sebuah dasar berpijak bagi siapapun entah itu akademisi, pebisnis ataupun politisi. “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Dunia ini cukup untuk memberi makan seluruh manusia di dunia, tapi tidak pernah cukup untuk memberi makan satu orang serakah” terang Rhenald mengutip Hadits dan perkataan Gandhi. Di sesi ini diberi penekanan juga bahwa giving tidak harus selalu materi, banyak intangible giving yang dapat kita lakukan, salah satunya adalah silence giving yaitu berpikir positif terhadap orang lain dan mendoakan mereka. Sebagai penutup sebuah film ditayangkan tentang bagaimana sebuah kebaikan/pemberian akan memicu gelombang kebaikan lainnya.

Di malam hari, orientasi MM diisi dengan sesi sharing oleh para dosen MM UI secara bergantian, tidak ketinggalan Hasnul Suhaimi (CEO XL) sebagai dosen baru turut memberikan wejangannya, “Kalian harus sudah bayangkan bertahun-tahun kedepan akan jadi apa? Saya sudah membayangkan kalau saya akan jadi direktur semenjak saya kuliah MBA” ungkap Hasnul.

Selain oleh dosen, sesi sharing juga diisi oleh mahasiswa senior yang akan segera lulus dan mahasiswa tahun menengah yang masih mengikuti proses perkuliahan. Untuk mahasiswa senior sharing diwakili oleh mahasiswa dari kelas G101 yang dianggap berprestasi selama berkuliah di MM UI, serta untuk mahasiswa tahun menengah diwakili oleh Annisa Pohan. Keduanya mengamini bahwa kerja keras dan aktif bertanya dan diskusi baik dikelas ataupun diluar kelas merupakan faktor penentu kesuksesan kuliah di MM UI.

Kondisi haru juga sempat dirasakan di ruangan Pendopo Rumah Perubahan saat salah seorang dosen berterimakasih pada sekelompok mahasiswa yang dulu pernah menyelamatkan nyawanya ketika diserang penyakit stroke saat sedang mengajar. “Kalau mereka tidak menyelamatkan saya saat itu, mustahil saya bisa berdiri disini sekarang” ujar Pak Bagio dosen MM UI. Mahasiswa menjelaskan bahwa mereka secara spontan memeluk Pak Bagio yang saat itu terindikasi mengalami serangan Stroke, tanpa pikir panjang merekapun langsung melarikan dosen yang bergelar MBA tersebut ke rumah sakit terdekat. Peristiwa heroik itu tentu menjadi inspirasi tersendiri bagi para mahasiswa baru.

Hari kedua orientasi MM dibuka dengan jalan pagi bersama ke berbagai fasilitas sosial milik Rumah Perubahan seperti PAUD, Taman Baca, Kolam Pemancingan, serta Tempat Daur-ulang Sampah. Setelah jalan pagi aktifitas fisik digenapkan dengan aktivitas Outbound di Rumah Perubahan, berbagai jenis permainan Outbond yang mengadopsi konsep Myelin berhasil menghibur sekaligus memicu kekompakkan mahasiswa MM UI.

Materi mengenai Ethics menjadi materi kelas terakhir dari rangkaian orientasi MM UI, sebagai penutup acara disambung dengan kompetisi Yel-Yel dan permainan Angklung yang menyita antusiasme peserta. Puncaknya adalah pengumuman pemenang berbagai lomba dan kompetisi selama dua hari di Rumah Perubahan. Semoga orientasi MM UI yang dilaksanakan di Rumah Perubahan ini dapat memberikan dampak yang signifikan bagi proses pembelajaran para mahasiswa.

http://www.rumahperubahan.com (@rumah_perubahan)