Manifesto Hacker vs Manyfiesta Hooker

Jakarta – Mudah-mudahan Wildan tak perlu mengulangi kisah Simon yang ketakutan diburu penembak jitu. Harapan saya, cukuplah kesalahannya ditebus dengan jeweran petugas keamanan dan vonis pengadilan. Buat pelajaran kita semua, Wildan tetaplah salah, dan anggap saja dia kini sedang meneruskan ‘kuliah’.

Jika ingin menunjukkan simpati, dukungan atau pembelaan kepada Wildan, berikan dengan cara elegan dan halalan thoyyiban. Dari situ kita baru boleh mengaku sebagai Anonymous yang tulus. Buktikan pembelaan terhadap Wildan adalah wujud pilihan moral sikap bijak, bukan mainan ngasal sifat berontak!

Wildan, sebagaimana harapan orang tua, keluarga dan rekan-rekannya, bisa menjadi manusia yang berguna bagi bangsa Indonesia ini. Sesuai arti namanya, ‘Wildan’ adalah pemuda pelayan surga.

Saya berkhidmat reflektif saja, apakah Wildan yang lulusan ‘SMK Jurusan Bangunan’, sengaja dikirimkan Tuhan sebagai ‘utusan pelayan’ untuk ‘membangunkan’ keteledoran sistem kehidupan yang kita jalankan? Membangunkan sistem kenegaraan yang sedang pingsan, membangunkan kesalahan pengadaan sistem komputasi yang korup dan bajakan, membangunkan praktik hukum dan keamanan yang tidak berkeadilan? Well, mudah-mudahan demikian.

Saya pun berharap, Wildan tidak gagal paham terobsesi menjadi Anonymous, tapi malah terjerumus. Kreasi kecerobohan, ulah keisengan, aksi eksibisionis dan niat sok eksis seperti Wildan ini justru berpotensi mencederai niat tulus gerakan Anonymous.

Siapapun yang merasa bagian dari pejuang komputasi perlu mengarifi aksi Wildan ini sebagai otokritik diri. Di terawangan saya, kelebihan oprek komputasi Wildan beriris tipis dengan kekurangan media eksperimennya, terutama dalam menyalurkan aktualisasi diri dan impiannya mulianya sebagai kaum muda ‘hactivist’ Indonesia.

Simaklah sebagian kata mereka yang mengkritisi Wildan ini, “Kami Anonymous Asia Tenggara belum melakukan apapun atau bertindak apapun terhadap kasus Wildan ini, karena kita menganggap ini hanya sebagai kasus di mana popularitas dan keangkuhan bermain”.

Sebagai pehobi seni berkomputasi, saya juga sepakat mengamini kritik baik seorang rekan maya di akun jejaring sosialnya, “Banyak anak muda merasa udah jadi ‘hacker’ sejati 🙂 padahal ada satu hal yang hilang belum mereka miliki yaitu rendah hati dan tidak pengen dilihat orang”.

Merujuk pada tesis David Crystal, Language and The Internet (2001, p. 70), saya coba mendefinisi ulang dan memahami bahwa Hacker hactivist sejati adalah mereka yang mau peduli mengurusi kemandirian dan kemerdekaan komputasi di negeri ini agar tidak selamanya teradiksi produk piranti luar negeri.

Wildan, dalam impian saya, harus tetap jadi Wildan, pemuda pendiam lulusan ‘SMK Bangunan’ yang berkualifikasi super admin security dan bersifat rendah hati.

Sesuai namanya, ia akan jadi pelayan komputasi yang mau berbagi pengetahuan bersama kita semua. Keterampilan komputasi yang ia miliki tidak harus mengubahnya menjadi virus “Wild’An’onymous” yang liar, asosial, dan vandal di ranah virtual.

Hikmah pelajaran Wildan sekaligus membangun kesadaran dan perilaku baru bahwa tidak selayaknya manifesto hacker dikelirukaprahi manyfiesta hooker.

Profesi hacker berangkat dari visi-misi perjuangan membela kemanusiaan, mengembangkan pengetahuan dan membenarkan keadilan. Sebaliknya perilaku hooker berambisi memuaskan syahwat kesenangan, unjuk ego nafsu keisengan, dan membebaskan libido kemaluan.

Selanjutnya mari kita nanti perkembangan kasus Wildan ke depan. Ketegasan dan keadilan penegak hukum di negeri ini ditantang ketika pada saat bersamaan kasus Wildan, banyak akun anonim di jejaring sosial yang secara jelas menghina lembaga pemerintah dan pribadi kepala negara.

Jika Wildan bisa segera dilacak, diciduk dan dipidana, mestinya akun anonim itu juga mudah disikapi serupa. Itu jika kita serius ingin menegakkan keadilan sungguhan agar jangan sampai ada anggapan akun anonim sengaja dibiarkan karena berdaya tawar politis kepentingan dan kekuasaan?

Bila kini Wildan menunggu proses litigasi hingga eksekusi, akan lebih manusiawi dan berkeadilan rasanya, jika kealpaan penjaga keamanan presidensby.info juga diberi jeweran yang mencerdaskan.

Akhirnya, saya khusnudzon saja, semoga kasus Wildan ini sekadar tes kompetensi yang diadakan pemerintah untuk menguji keamanan komputasi orang nomor satu di negeri ini sekaligus upaya serius membudidayakan bibit-bibit hactivist yang patriotis.

Andai asumsi itu betul, maka hasil sementara ini sudah bisa dinikmati. Semua sukses berposisi pemenang, tidak ada yang menjadi pecundang. Situs presidensby.info -– sebagai bahan ujinya — bisa dibuka celah kelemahannya, dan Wildan mewakili komunitas hactivist anonim lainnya, berhasil membangun kesadaran kita tentang pentingnya keamanan komputasi yang lebih baik lagi.

Salam Komputasi Aman dan Bertanggungjawab ‘Pelayanan’ Wildan!

Gus Adhim, seorang santri peminat fotografi, penggiat F/OSS dan teknologi informasi. Saat ini, penulis tinggal dan bekerja di Pondok Pesantren Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA) Lamongan.

Artikel di detikinet

Kisah Peretas Situs SBY Si WildAn(o)nymous

Jakarta – Namanya Wildan, remaja 21 tahun, bujangan, tamatan SMK jurusan bangunan. Namanya tiba-tiba cetar membahana karena ditangkap polisi dengan tuduhan mengusili laman resmi presiden republik ini.

Menurut kabar yang beredar, motif si Wildan ini ‘cuma iseng’. Entah ‘iseng’ betulan atau ‘iseng’ pesanan, yang tahu hanya Wildan dan Tuhan. Bila motif ‘cuma iseng’ ini terbukti, tentu aksi Wildan patut dikritisi hati-hati.

Saya jadi teringat Mercury Rising, suspense thriller karya Harold Becker yang memadukan drama aksi bertema teknologi komputasi. Simon, 9 tahun, sang protagonista, diceritakan berhasil memecahkan kode rahasia keamanan komputer pemerintahan lewat ulah kebetulan — jika tak bisa disebut keisengan.

Simon, bocah lugu survivor autis itu, menerobos celah kelemahan dengan cara sederhana: mengisi majalah puzzle kata-angka kesukaanya.

Sukses Simon ‘terbantu’ oleh blunder programmer komputer pencipta kode kriptografi ‘Mercury’ yang terlalu percaya diri. “Tidak bakal ada piranti komputer di dunia yang bisa membuka kode rahasia karya mereka,” katanya.

Sehingga saking pede-nya, mereka pun iseng menyelipkan kode angka rahasia pada majalah anak-anak, dan membuat sayembara lewat telepon undian sebagai bahan uji keamanan.

Tak dinyana, kode angka itu terpecahkan saat Simon ‘menelpon’. Rahasia negara pun terbuka akibat ulah iseng programmer keminter dan aksi iseng anak difabel penyuka puzzle!

Ada sedikit kesamaan antara Simon dan Wildan, yakni sifat pendiam dan tidak diperhitungkan. Keduanya mewakili cerita masyarakat biasa. Sinopsis Mercury Rising kian relevan mempertemukan kesamaan dengan kasus yang dialami Wildan, meski baru sebatas pertanyaan plus dugaan.

Di antara pertanyaan awam yang patut kita lontarkan, “Apakah penjaga keamanan situs presiden yang khilaf? Iseng dan teledor membiarkan backdoor melompong? Ataukah kreatifitas iseng Wildan lebih beruntung sehingga mampu mengenali system error yang bolong?”.

Isengnya Wildan layak disesali — apalagi jika niatnya terbukti sekadar mencari sensasi. ‘Iseng’ kealpaan sysadmin situs presiden juga wajib diprihatini. Orang awam akan bertanya sederhana, “Bagaimana mungkin situs orang nomor satu di negeri ini, yang saya percaya diamankan sungguhan, ndilalah disusupi bocah? Ataukah kemungkinan lainnya, pintu keamanan komputasi dilonggarkan terbuka akibat lemahnya dukungan sumber daya sehingga para penjaga kekurangan etos kerja?”

Sekali lagi pembaca mungkin sama herannya dengan saya, “apakah ini kejadian sama kebetulannya dengan Mercury Rising, dimana keisengan Wildan berjodoh dengan kealpaan penjaga istana maya, dan kemudian melahirkan kecelakaan?”. Akan banyak kemungkinan jawaban. Tapi untuk validasi kebenaran informasinya, penjaga dan pengelola situs itu yang lebih tahu.

Saya tergoda berasumsi, apakah Wildan ini kelewat bersemangat menafsiri manifesto hacker yang kesohor itu secara keliru? Ditambah gelora jiwa muda plus kreatifitas otodidaknya, ia mungkin terobsesi menerobos celah kelemahan sebuah situs yang relatif paling aman. Asumsinya, situs pemimpin negara pasti dijaga tentara maya yang berkemampuan ekstra.

Apakah mungkin juga Wildan ingin berniat tulus — atau justru sebaliknya ingin dikultus — sebagai anonymous? Hanya kejujuran Wildan dan Tuhan yang paham.

Namun sampai sejauh itu, keisengan plus aksi usil Wildan cukup berhasil. Sayang memang, drama obsesinya menabrak pintu pidana, walau saya yakin Wildan tentu tahu resiko itu. Jujur, untuk kenekatan nyali aksi ini, saya patut angkat salut dan ingin mengucapkan ‘WoWildan!’.

Pembela Maya & Menpora

Wildan kini menghadapi tuntutan Rp 12 miliar atau bui 12 tahun. Di antara pro dan kontra berita di media, Wildan sekarang sedang berjuang memperoleh hak-haknya hukumnya.

Pembela Wildan keukeuh memperjuangkan, ‘Wildan harus dibebaskan!’. Mereka beralasan, tindakan Wildan justru berkepahlawanan karena mampu mendeteksi celah keamanan situs resmi presiden ini. Di antara aksi pembela Wildan yang mengaku Anonymous, beramai-ramai unjuk protes penangkapan dengan cara mengusili situs-situs pemerintah berdomain go.id.

Indahkah aksi Anonymous ini? Belum pasti. Protes pembelaan ulah Wildan dengan justifikasi ‘tahu celah keamanan situs presiden RI’, menurut hemat saya, hanya akan menimbulkan preseden ‘pembenaran kesalahan’ yang berkelanjutan.

Misalnya dengan asumsi serupa, maka koruptor dan pengedar narkoba harusnya dipuji dan dibela juga karena berhasil menunjukkan ada celah kelemahan di perangkat hukum negara kita. Begitukah?

Jika asumsinya demikian, maka silakan saja segerakan sebar pengumuman, “Mari sedulur nubie wannabe scriptkiddie, dukunglah koruptor dan pengedar narkoba saat ini dengan cara defacement semua situs resmi berdomain dot.id!” Mau begitu?

Saya sangat mengapresiasi seni bermain teknologi komputasi ala Wildan ini. Ulahnya masih lebih layak bernilai berita daripada infotainment artis muda ibukota yang tertangkap pesta narkoba.

Setidaknya ‘keterampilan’ Wildan bisa dibina untuk kebermanfaatan bangsa dan negaranya. Namun saya juga harus menghormati langkah polisi yang berusaha menegakkan peraturan, mengajarkan Wildan tentang tanggung jawab hukum, selain membikin jera pengusil ababil lainnya.

Menurut saya, pada aksi pengusilan presidensby.info ini, jelas Wildan kurang memahami protokol keamanan komputasi dan undang-undang republik ini. DNS redirection yang dilakukan Wildan — atas nama iseng sekalipun — tidak perlu ditiru.

Afdolnya hemat saya, kalau dia memang menemukenali bug serta berniat baik, dia bisa segera laporkan ke admin via surel atau tiket. Setidaknya, begitulah cara kerja seorang idealis hactivist yang dipahami penulis.

Sekarang, kewenangan yang bisa kita lakukan — jika memang ingin mendukung Wildan — adalah mengawal proses penyidikan hingga pengadilan. Syukur jika ada relawan yang bergerak elegan dan jantan mau membayar denda pemembebasan Wildan sebagaimana gerakan ‘koin Prita’.

Saya rasa itu jauh lebih mulia daripada lebay mengobarkan perang maya –- alih-alih memberikan dukungan pembelaan. Sekali lagi, mari hormati proses hukum ini. Kita ikhtiari saja semoga Wildan mendapatkan hukuman yang betul-betul berasas perikeadilan dan perikemanusiaan.

Semoga saja keadilan masih tegak di bumi republik ini. Jangan sampai praktik hukum cuma alim ke kaum kaya, tapi zalim ke kasta papa. Kepada penegak hukum saya berharap, pastikan keadilan bisa diperoleh Wildan.

Kita semua tentu tidak mau asumsi yang mengatakan “pengedar narkoba dilepaskan, koruptor divonis ringan, Wildan diancam 12 tahunan,” mendapat pembenaran. Dus, kita juga tidak ingin mendengar gosip lagi, bahwa kasus Wildan ini hanya pengalihan isu atas kasus-kasus wanprestasi yang dialami pemimpin negeri ini. Sungguh sangat tak adil bila Wildan ditumbalkan dan dijadikan komoditi spekulan kepentingan.

Dalam proses penyidikan hingga pengadilan Wildan ini nanti, saya ijin usul-usil, seandainya -– seandainya lho ya — Pak Menpora mau menjadi pembela. Ya, Pak Menpora kita yang bergelar ‘pakar’ telematika Indonesia mungkin bisa memberi dukungan litigasi, seapes-apesnya menjenguk Wildan selama pemeriksaan.

Karena selain memahami protokol komputasi beserta piranti perundangannya, bukankah potensi ‘keterampilan’ Wildan yang berusia muda menjadi domain ahlinya Menpora??

Kalaupun sulit memberi dukungan di pengadilan -– misalnya dengan jadi saksi ahli yang meringankan tuntutan — saya tetap berharap Pak Menpora bisa menyediakan tim konsultan pembela yang paham protokol TIK, baik dari aspek praksis maupun yuridis. Sehingga Wildan bisa mendapatkan pendampingan yang sepadan saat diadili nanti.

Mungkin pengandaian saya terlalu memaksa. Namun setidaknya, dengan mengurusi Wildan, energi dan konsentrasi Menpora tidak habis tersita mengurusi sepakbola yang mbulet luar biasa akibat modus drama trias politica.

Saya rasa, menggali dan mengarahkan potensi anak-anak muda seperti Wildan ini lebih bergizi prestasi, daripada Pak Menpora pening melerai oknum manusia yang ngakunya sportif dan dewasa tapi suka gelut di lapangan bola dan terbiasa adu mulut di media.

Saya haqqul yaqin ada banyak Wildan-Wwildan lain yang punya potensi xtravaganza di bidang keamanan komputasi maya. Mereka bisa diprogram dan dibina Kemenpora sebagai aset bangsa yang memberi manfaat untuk masyarakat.

Usul usil saya agar Menpora mau menyediakan pembela, sekaligus sebagai antitesa alternatif atas inisiatif pembelaan ‘rekan-rekan’ Wildan yang destruktif.

Tambahan usul usil saya lagi, sampai pun nanti Wildan dibui, beri kesempatan Wildan menjalani hukuman di ‘Lembaga Perkomputeran’, meski secara yurisdiksi tetap berada dalam pengawasan Lembaga Pemasyarakatan.

Saya anggap itu sebagai hak prerogatif ‘grasi kortingan’ dari Presiden SBY, Bapak kita semua, hactivist muda Indonesia.

Teknisnya, Wildan dapat dijamaahkan pada komunitas hacker yang benar, misalnya komunitas pengembang piranti lunak lokal atau para teknopreneur creative digital yang butuh dukungan kebijakan plus relawan sumber daya keahlian.

Bersambung…

Gus Adhim, seorang santri peminat fotografi, penggiat F/OSS dan teknologi informasi. Saat ini, penulis tinggal dan bekerja di Pondok Pesantren Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA) Lamongan.

Artikel di detikinet

“Senang dan Matang Saat Pulang”

Siapa yang tidak senang kalau pulang? Apalagi kalau sudah menjelang libur Hari Raya seperti ini. Semakin tidak betah rasanya berlama-lama di kantor. Ada yang mulai berpikir untuk mampir ke pusat perbelanjaan, ke stasiun atau ke terminal untuk beli tiket, ke pusat jajanan untuk membeli menu buka puasa, malah sampe ke toko stationary untuk beli kertas kado bermotif ketupat untuk dibuat amplop angpao (uang)… iya, kreatif sedikit, lah… mengasah kreatifitas sekaligus untuk mengisi waktu sampai menjelang magrib. Ada lagi yang sampai kepikiran ke counter pulsa. Ya, mau apalagi selain beli pulsa buat persiapan SMS atau telepon nanti menjelang/pada/sesudah hari raya. Ada, loh, yang sengaja beli handhope baru… ckckckckkk…

Kalau pikiran sudah seperti itu, waktu serasa begitu lambat melaju. Tapi ingat kawan, pulang juga harus dengan persiapan matang. Nggak percaya? Ada loh yang begitu senangnya mau pulang kantor, begitu “teng” dia “go” (istilah di kantor ku, “teng-go”), artinya begitu jam kantor selesai dia lantas beranjak… eeeehhh, adaaaaa aja yang ketinggalan. Sebut saja, kunci motor, handphone, buku, tas, laptop, jaket/jas hujan, dompet beserta isinya, helm, banyak deh…sampai ada yang lupa pamitan!! Hehehe… Makanya, pulang juga butuh persiapan matang, kan? Rata-rata mereka harus balik lagi untuk menjemput barang yang tertinggal itu. Apalagi kalau besoknya terus libur, wajib hukumnya untuk balik lagi ke kantor.

Pulang mudik lebaran juga sama. Tidak mungkin tanpa persiapan terus kita bisa pergi mudik begitu saja. Minimal, kita wajib menyiapkan ongkos dan mau pergi dengan kendaraan apa. Selebihnya tergantung orangnya. Contohnya teman kantorku. Dia belum menikah dan wataknya easy going, mandiri, dan praktis sekali. Saking praktisnya, kalau pergi kemana-mana, dia pasti tidak terlalu memusingkan hal-hal seperti: bawa baju berapa? kosmetik yang mana? dandanan seperti apa? dll. Saking mandirinya, pulang pergi mudik sendiri pun jadi! Persiapan pasti ada dan dirasa matang, buktinya dia tidak pernah cerita tentang kesulitan saat mudik sendiri sekalipun. Hebat, ya? Saking single nya, istilah mudik sudah tidak spesial lagi buat dia. Kapan pun dia mau, dia pasti pergi, sendirian saja! Pernah aku komentar: “Loh, Mbak, Depok-Blora itu kan jauh ya?!!”… Dia cukup menjawab dengan sebuah senyuman manis sambil membalas: “Ah, udah biasa…” Bagi dia, persiapan matang itu begini: ongkos pulang pergi berapa, pakai kendaraan apa, hari/tanggal dan jam berapa, daaann amplop isinya berapa-buat ‘oleh-oleh’ orang tua di sana. Persiapan cepat, singkat, padat, dan matang. Pulangpun dengan senang.

Nah, kalau pulang yang satu ini untuk persiapannya hukumnya lebih wajib lagi. Bisa tebak?? Stop membaca di sini dan coba berpikir sedikit, yaa. Oke, sudah ada jawabannya?? Pulang sekolah?? Bukan! Pulang dari resepsi pernikahan? Salah, ah! Pulang kampung? Yaa, itu sih sama aja pulang mudik. Jadi, salah! Pulang dari supermarket dengan belanjaan senilai jutaan rupiah?? Bukan! Pulang dari rumah mertua? Bukan juga! Kok, jadi aku yang tebak-tebakan yaa?? Oke, jawabannya: pulang ke Rahmatullah!!! Nah, loh… jadi diam, deh. Nggak apa-apa… silahkan merenung kawan, mumpung masih ada waktu. Tapi jangan lama-lama merenungnya, segera ambil tindakan pencegahan yang matang mumpung ini masih di bulan suci Ramadhan. Setuju, ya? Repotnya, pulang yang satu ini nggak mengenal waktu, bisa kapan saja… Yaaa, merenung lagi deh… Intinya, pastikan kita punya persiapan yang matang supaya senang pulang ke sana dan menghapadap-Nya.

Ayo, semangat! Biasakan melakukan persiapan yang matang untuk sebuah rencana dengan mengucapkan “Bismillahirahmanirrahim” sebagai pembukanya dan “Alhamdulillah” sebagai penutupnya. Insya Allah akan membuat kita senang dalam menjalaninya. Terima kasih untuk “Amin” nya.

Lagi-lagi Soal Generasi Muda

Jika ditanya , bagaimanakah perasaan seorang guru manakala mendapati dalam hanphone anak didiknya tersimpan video porno ? Rasa marah, dongkol, sedih bahkan kasihan pasti campur aduk jadi satu. Bagaimana tidak, sudah berlapis-lapis pendidikan telah dienyam. Namun karena gara-gara selintas adegan  “nggak jelas”  pikiran anak-anak kita jadi ternoda.  Sudah barang tentu tidak ada seorang “waras-pun” yang menginginkan bahwa pendidikan itu sebatas hiasan di mulut saja. Esensi dari pendidikan tidak hanya pada hasil, tetapi  juga pada proses . Dari peristiwa di atas, timbul pertanyaan mendasar yang memang perlu menjadi bahan perenungan bagi mereka yang menamakan diri sebagai pendidik. Samakah antara mendidik dengan mengajar?

Mendidik tentu saja berbeda dengan mengajar. Jika mengajar bisa ditolerir sebagai pemberian materi pelajaran dan keterampilan saja,maka mendidik bermakna lebih dari itu. Mendidik berarti mengarahkan dari yang tidak tahu menjadi tahu. Mendidik bisa juga berupa pembenahan sikap mental (etika, perilaku). Mendidik juga bermakna memberikan motivasi dan keteladanan.

Dari pernyataan di atas, menyusul lagi satu pertanyaan.Apakah mayoritas guru cenderung mengajar ataukah mendidik anak-anaknya ? Jujur, saya memang belum melakukan survei. Namun, dari kejadian di berbagai  wilayah belahan negeri ini setidaknya kita bisa menyimpulkan bahwa generasi muda saat ini telah mengalami permasalahan moral. Sekali lagi MORAL, dan bukan masalah intelektual mereka.

Kita pasti tidak asing dengan kenakalan para remaja. Berita tawuran ataupun tindak kekerasan terhadap sesama sudah menjadi konsumsi publik sehari-hari. Kita tentunya tidak hanya sekali-dua kali mendapati kabar adanya razia video dan gambar porno pada anak sekolah. Dan seringnya banyak yang tertangkap basah kedapatan “objek” itu di handphonennya. Bahkan ada yang rela bolos sekolah hanya untuk memenuhi rasa penasarannya terhadap apa yang mereka sebut film biru. Belum lagi masalah tindak asusila dan kasus pembunuhan yang terus berulang dari waktu ke waktu.

Semua itu adalah penyakit sosial. Yang namanya penyakit, jika dibiarkan akan semakin menyebar…seberapa cepat dan seberapa banyak yang tertular tergantung dari daya dukung lingkungan sekitar. Apakah menekan, ataukah membiarkan. Maka terlontarlah pertanyaan berikut :Lalu dimanakah peran kita ? Kalau boleh saya saran…Ambillah wilayah yang termudah dan terdekat dengan kita. Terlepas dari lingkup keluarga, maka kita bisa berperan di wilayah profesi kita (Dalam hal ini, kita berada di wilayah pendidikan).

Kalau dipikir-pikir,sistem pendidikan ini seakan terjebak pada tuntutan intelektualitas. Padahal harus ada penyeimbang di sisi lain yakni spiritualitas. Kini semakin jelaslah dengungan-dengungan sekolah berbasis karakter. Yap! Sekolah yang berusaha membentuk karakter anak didiknya menjadi lebih “baik”. Pembinaan bahkan pembentukan karakter seseorang memang membutuhkan waktu dan kesabaran. Tidak cukup satu-dua kali dilakukan, melainkan tiap kali dan tiap kesempatan. Kapanpun dan dimanapun nilai-nilai kebaikan itu selalu disisipkan dan dipraktikkan. Sekali lagi bukan sebatas diucapkan, melainkan dengan tindakan. Bukan perkara mudah memang. Namun disitulah letak nilainya. Jika berhasil, maka ia akan mengakar sampai ke anak cucu. “Sekecil apapun yang kita lakukan jika itu bermanfaat, maka ibarat kita menebar kebaikan. Hasilnya akan berlipat-lipat”.

Menjaga Api Semangat

Ternyata bukan hal mudah menyediakan “Writing Time”. Rasanya selalu saja ada kendala. Pekerjaan menumpuk, menjawab permintaan penawaran, menelpon balik miscall, menjawab SMS, mereview pekerjaan, memikirkan pengembangan produk, menerima tamu teman-teman yang mau jalan-jalan ( karena usaha kami memang di bidang travel wisata dan event organizer ), mengatur ini dan itu, ….sehingga rasanya 24 jam waktu terlalu cepat berlalu. Itupun hasil pekerjaan ternyata masih belum maksimal. Banyak deadline meleset, me-reschedulle meeting, me-reschedulle reply email yang sudah dijanjikan. Singkat kata, setiap hari penuh dengan kesibukan. Lalu kapan mulai menulis? Segudang ide ada di kepala, seakan-akan hendak tumpah ruah, namun kadang belum sempat menuangkannya, sudah tertimpa ide lain.

Terpikir juga bagaimana orang-orang hebat/sibuk menyempatkan waktu untuk menulis? Pak Habibie, Pak Amien Rais, Cak Nur Alm dst….serta para penulis hebat seperti Pak Rhenald Kasali, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata, dll..Mereka punya waktu yang sama, 24 jam. Namun mereka mampu menggoreskan pena dan menghasilkan karya-karya besar, dan terbukti telah lebih banyak menularkan pengaruh/pikiran positif bagi para pembacanya…

Tayangan Kick Andy edisi tadi malam, 24 Juni 2011 turut mewarnai pikiran saya hari ini. Prof Drs. Irwanto, PHD, adalah seorang penyandang cacat, karena korban malapraktik seorang dokter. Sebelum mengalami cacat fisik, dimana separuh badannya lumpuh total, beliau adalah dosen yang membawahi 1 jurusan di Universitas Atmajaya. Cobaan maha berat yang menimpa beliau tidak lantas membuatnya menyerah dan berhenti berkarya. Sebagai manusia, memang benar, beliau mengakui sempat stress berat. Mengurung diri di kamar, mengunci jendela dan menutup gorden, berharap Tuhan segera mengambil nyawanya. Beliau benci kepada Tuhan, kepada dokter yang telah membuat kesalahan fatal, dan juga benci kepada diri sendiri. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena beliau terus berfikir untuk dapat menolong dirinya sendiri. Dari hasil perenungan di tengah doa kepasrahan kepada Tuhan, beliau mulai menyadari bahwa jika kondisi badan mulai membaik, dan beliau dapat berjalan dengan kursi roda pun, seharusnya masih bisa “survive” dan melanjutkan hidup dengan terus berkarya. Akhirnya mulailah berdamai dengan diri sendiri. Mencoba berpositif thinking pada Tuhan, memaafkan dokter yang telah berbuat salah, dan menyemangati diri sendiri untuk meneruskan hidup seperti sebelumnya. Seperti mendapat sebuah mujizat, begitu beliau memaafkan semua, dan bertekad untuk melihat kedepan saja, tanpa harus menengok lagi ke belakang, maka kondisi badan berangsur-angsur membaik. Para dokter di Singapura, tempat beliau dirawat, menemukan bahwa otot di ususnya dapat bergerak, tepat sesaat setelah Pak Irwanto merasakan dadanya lega karena telah dapat memaafkan dan menerima keadaan. Meski akhirnya harus berjalan di atas kursi roda, namun beliau bersyukur karena masih diberi kehidupan olehNya hingga saat ini.

Saat ini Pak Irwanto sudah aktif kembali di kampus, dan memegang peran yang lebih dari sebelum beliau sakit. Jika dahulu beliau hanya membawahi 1 jurusan, maka sekarang membawahi 3 jurusan di Universitas Indonesia & Universitas Atmajaya. Selain itu, beliau juga banyak menjadi pembicara di berbagai seminar di dalam dan luar negeri, aktif di berbagai organisasi sosial, serta banyak membuat tulisan di berbagai media. Beliau juga sedang membuat film yang kelak akan menginspirasi para penyandang cacat. Suatu karya yang luar biasa bagus tentunya.

Dan bagi siapa saja yang menyaksikan tayangan Kick Andy tadi malam, saya rasa semua orang akan simpati dan mengagumi kehebatan beliau. Menyadari bahwa Allah telah menjadikan kita makhluk sempurna bernama otak. Yang dengannya kita dapat berfikir dan memecahkan segala persoalan hidup. Tayangan yang sangat inspiratif.  Ini adalah bukti nyata bahwa setiap kita dikendalikan oleh pikiran kita. Ternyata kondisi fisik seburuk apapun juga bukanlah halangan, karena pikiran kita tetap bebas berkelana, menciptakan ide dan karya. Dan sebenarnya masih banyak contoh lain yang seharusnya kita ingat. Bahwa saat Bung Karno dipenjara, beliau pun menulis dan bahkan membuat buku. Semakin menggarisbawahi bahwa bagaimanapun keadaan kita saat ini, apa yang akan kita lakukana adalah hasil buah pikiran kita. Menjaga api semangat waktu demi waktu adalah kunci agar kita dapat berbuat lebih banyak. Jika misi besar kita adalah menjadi manusia yang bermanfaat bagi sebesar-besar umat, maka semangat juang itulah yang harus selalu kita pupuk.

Nah salah satu langkah kecil yang dapat kita mulai adalah dengan menuangkan ide dan gagasan kita ke dalam tulisan…sambil terus mempraktekkannya dengan karya nyata.