Melatih Para Agen Perubahan PT Angkasa Pura II

“Perubahan bisa berubah menjadi musibah atau hadiah/berkah. Perubahan akan menjadi musibah jika memunculkan rasa takut berlebihan. Saya akan dipecat? Akan dipindah? Jadi begitu ada perubahan merasa tidak nyaman,” ujar Prof Rhenald Kasali.

Pemaparan tentang management change itu disampaikan Prof Rhenald Kasali dalam pelatihan “Character Building” yang diikuti oleh sekitar 55 orang manajer dari PT Angkasa Pura II. Acara berlangsung di Rumah Perubahan di kawasan Jatimurni, Bekasi  dari tanggal 19-23 juni 2012.

Pelatihan ini ditujukan agar bisa membantu “Mengubah Pikiran” para pejabat di BUMN tersebut. Mereka diberikan penjelasan mengenai teori-teori perubahan dan sejumlah materi lain oleh sejumlah pembicara.

Setelah Prof Rhenald Kasali, peserta kemudian mengikuti pemaparan dari pendiri Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) atau dikenal dengan Bank Tani yakni Masril Koto. Di depan para peserta, Masril yang memberikan penjelasan dalam suasana sangat santai itu membeberkan tentang perjuangannya merintis Bank Tani. Penjelasan dari Masril Koto yang hanya lulusan kelas 4 SD itu membuat para peserta berdecak kagum dan melontarkan banyak pertanyaan.

Pembicara lain yang tampil dalam pelatihan ini adalah Purwatiningsih Lisdiono yang membawakan materi mengenai valuta, asset, utang, neraca. Lalu ada Bobby S. Laluyan yang memberikan materi mengenai creative thingking dan Adjie Silarus.

Selain materi di kelas, dalam pelatihan ini pun terdapat kegiatan outbond di hari ketiga. Agar para peserta tidak merasa jenuh, sesi ini diberikan agar bisa melepaskan penat sekaligus merekatkan ikatan antar peserta. Lokasi outbond sendiri berada di area green zone, masih dalam komplek rumah perubahan. Terdapat beberapa game yang di pertandingkan dalam outbond, seperti gladiator, mouse trap, magic carpet, swing and swing, roll your drums. Suasana santai tapi tetep kompetitif terasa dalan outbond, keceriaan pun terpancar dari wajah para peserta.

Acara berakhir pada Sabtu, 23 Juni 2012 dengan penutupan dari pihak Angkasa Pura dan juga ada kesempatan untuk lebih saling mengenal. Dengan pelatihan ini, para peserta yang merupakan manajer-manajer itu diharapkan bisa membawa perubahan di Angkasa Pura II ke arah yang lebih baik lagi.

http://www.rumahperubahan.com (@rumah_perubahan)

Barefoot College – Sindo 28 Juni 2012

Di Rajasthan, India, ada sebuah plang  petunjuk menuju sebuah kampung yang jauh dari keramaian. Di petunjuk jalan itu tertera arah menuju kolese tanpa alas kaki (Barefoot College).  Saya pikir, Bunker Roy, yang empunya gagasan membuat sekolah ini benar-benar brilian.  Dalam suatu kesempatan, ia mengatakan kolese ini untuk orang-orang yang buta huruf yang pengajarnya semula juga buta huruf. Nama kolese ini  diberikan sebagai simbol bahwa yang dididik di sekolah ini datang dari komunitas yang tak pernah merasakan pakai sepatu. Inilah komunitas yang terpinggirkan oleh globalisasi yang mayoritas diperankan oleh private sector.

Persis seperti kampung-kampung di sini, anak-anak dan orangtua bertelanjang kaki tampak dimana-mana.  Jalan berdebu, lahan kritis yang sulit ditanami pangan, dan tentu saja transportasi yang buruk. Untuk menuju kota, ibu-ibu harus menumpang angkutan umum semacam omprengan tahun 1970an di Jakarta yang tidak ada kursinya dan tidak ada atapnya.  Ibu-ibu berdiri sambil berpegangan tepi kendaraan di bagian belakang.  Dulu biasanya pemandangan ini banyak saya lihat saat mbok-mbok bakul sayur belanja di pasar Senin, sambil membawa dua-tiga karung berisi daun bawang, kentang, cabai dan kubis.  Pukul lima pagi mereka sudah selesai berbelanja dan dengan sigap membuka lapak di pasar di daerah Blok A – Kebayoran baru. Biasanya kalau kebagian kursi tempat duduk mereka langsung tertidur.

Ada juga tentara yang naik kendaraan serupa, yaitu mereka yang dijemput truk besar untuk nonton film India di bioskop Rivoli sore hari.  Tentu saja pemandangan seperti ini sudah jarang kita saksikan di sini. Tapi kalau  pergi ke berbagai pelosok tanah air, saya masih bisa menemukannya.

Sepertinya kemajuan pesat perekonomian India dan juga di sini tak akan mampu memperbaiki nasib kaum papa seperti yang dijanjikan teori ekonomi.  Hal serupa masih akan kita temui 10-20 tahun ke depan di sini,  kalau sistem politik tidak bisa  mengatasi masalah korupsi. Selain government failure, pasar dengan pendapatan dibawah Rp 15.000 sehari tak akan bisa menikmati fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak untuk “naik kelas” dalam strata sosial.  Untuk bayar uang sekolah di taman kanak-kanak  saja, seorang tukang ojek atau pedagang kaki lima harus punya uang sebesar Rp 250.000 setiap bulan.  Darimana uangnya?  Bagi pemerintah mungkin tugasnya sudah selesai dengan menyediakan pendidikan gratis dari SD sampai SLTA.  Tetapi tanpa pendidikan TK yang kuat, mana ada anak kampung yang memiliki percaya dii untuk bertarung dengan kelas menengah di Sekolah Dasar?

Pasar BOP
C.K. Prahalad (1994)  menyebut pasar kelompok ini sebagai BOP atau Bottom of the Pyramid.  Tetapi Prahalad tak banyak memberikan solusi untuk memerdekakan pasar BOP yang menurutnya sebuah potensi besar bagi perusahaan-perusahaan MNC kalau mereka bisa  mendapatkan akses.

Ada tiga alasan yang diajukan Prahalad, Pertama, kaum papa mewakili   “pasar yang laten”.  Kedua, BOP merupakan sumber pertumbuhan private sector kalau mereka naik kelas dan bergabung sebagai pasar seperti yang pernah terjadi dengan negara-negara eks komunis.  Tetapi untuk menarik mereka diperlukan inovasi-inovasi mendasar.  Ketiga,  urusan membangun pasar BOP tidak akan selesai dengan mengalirkan dana-dana CSR.  Pasar BOP harus menjadi bagian integral dari kebijakan private sector.
Masalahnya, dominan logic yang dianut kapitalisme, private sector dan pemerintah tentang pasar BOP tidak mendukung mereka untuk keluar dari kemiskinan.  Dalam banyak hal, kebijakan pemerintah di negara-negara miskin dan berkembang yang merupakan kepanjangan dari kebijakan yang dibangun para penjajah, hanya memelihara kemiskinan dan ketergantungan.

Peran negara yang dominan saja misalnya sangat kental dengan logika moralitas penguasa yang memelihara kemiskinan.  Tak banyak ekonom dan politisi yg menyadari bahwa subsidi besar-besaran terhadap energy dan listrik yang diberikan terus menerus belakangan ini akan semakin memiskinkan penduduk di daerah pedalaman Papua, Maluku, NTT, sebagian Sulawesi dan Kalimantan.  Harga bensin murah dan listrik hanya dinikmati penduduk yang lebih kaya di perkotaan, dan mayoritas penduduk yang tinggal di pulau Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi.  Penduduk di Pulau Buru dan Papua hanya bisa menonton melihat tulisan harga premium Rp 4.500, sementara mereka hanya bisa membeli di tepi jalan seharga Rp 20 ribu.

Bunker Roy dan para social entrereneur menyadari bahwa negara tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Bersama sejumlah orang ia menyewa gedung ex sanotarium TBC di desa berpenduduk sekitar 20 ribu orang dan menjadikannya kolese tanpa alas kaki.  Ia melihatprivate sector yang ditujukan untuk mencari keuntungan tak akan bisa melayani kaum miskin.  Terjadi market failure yang tak terpikirkan para ahli ekonomi.  Maka solusinya ya harus non-profit sector.  Barefoot College mendidik masyarakat agar mampu memiliki energy dan air bersih sendiri, ada atau tidak ada peran negara.

Di Rajasthan, setiap minggu ratusan ibu-ibu belajar cara merakit solar cell, mengurus sekolah bagi anak-anaknya, kesehatan, limbah dan sebagainya.  Ternyata hasilnya cukup mengagumkan.  Barefoot College belakangan diminati oleh orang-orang berjiwa sosial untuk bergabung.  Mereka memberikan jasa secara non-profit. Insinyur, dokter, pengusaha dan mahasiswa sama-sama memperbaiki kegagalan pasar dengan memberikan jasa sukarela mereka.

Sektor seperti ini baiknya terus ditumbuhkan dan diberikan insentif oleh pemda-pemda atau pemerintah pusat yang belakangan terbukti tidak mampu memeliharanya dengan dominan logic birokrasi.  Kita sudah sering membaca sekolah tak diurus dengan baik, hewan-hewan yang mati di berbagai kebun binatang,  rumah sakit dan  panti jompo yang tak terurus dengan baik.  Kalau di India saja pemerintah mulai berani memberi hibah pada para social entreneur yang terlibat dalam kegiatan non profit, maka di Indonesia pemerintah perlu lebih banyak mendorong keterlibatan sosial warganya.  Indonesia punya lembaga-lembaga non profit yang governance structurenya bagus seperti Dompet Duafa dan Bina Swadaya.   Bukankah sudah cukup dana APBN yang diberikan untuk memperkuat sektor keuangan danprivate sector lainnya?

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/506811/34/

Seorang Guru di Langit Biru – Jawapos 25 Juni 2012

Di sebuah stasiun televisi, di pagi hari, untuk kesekian kalinya saya menyaksikan orang-orang yang tak mampu mengukur resiko.  Setelah puluhan “money game” menerkam rakyat jelata,  kali ini terjadi lagi.  Seorang guru yang menjadi korban diwawancara penyiar televisi,  ia kehilangan banyak uang yang di tanam di Koperasi Langit Biru.

Bisa dibayangkan kalau guru saja tertipu, bagaimana dengan murid-muridnya?  Harap Anda paham bahwa etiap hari ada begitu banyak usaha bergaya money game yang dibuat masyarakat dan setiap hari pula ada ribuan orang yang menjadi korban, atau akan menjadi korban.  Sementara itu ratusan cikal bakal money game tengah ditabur dalam inkubasi bisnis, dan gejalanya tampak faham bombastis marketing yang saya ulas setahun yang lalu. Masyarakat umumnya masuk perangkap melalui iming-iming yang menyesatkan.
Reporter televisi pun bingung, bagaimana seorang guru yang tinggal di daerah Tanggerang rela mengambil paket yang ditawarkan hingga ke daerah Depok yang jaraknya hingga puluhan kilometer dari tempat tinggalnya.  Ia mengaku semua itu dilakukan karena mengejar keuntungan yang dijanjikan.  “Tapi Anda kan seorang guru, bagaimana sampai tertipu?” kejar reporter televisi.  “Mereka memberi garansi bahwa program ini ditawarkan untuk mensejahterakan umat.  Bahkan hanya untuk umat yang seiman.  Orang yang beragama lain dilarang ikut,” jawabnya.

Tak banyak orang yang menyadari bahwa tipuan yang paling beresiko didunia ini adalah tipuan yang dibungkus dengan tema-tema agama dan spiritual.  Bahkan dukun sakti yang menggunakan kekuatan negatif pun menggunakan ayat-ayat kitab suci yang menurut para ahli kitab diselewengkan demi mengelabui.  Partai-partai berbungkus agama pun banyak menarik minat masyarakat, tetapi belakangan ini kita juga menemukan perilaku-perilaku yang tidak bermoral justru banyak dilakukan mereka yang “menjual” tema agama. Bahkan ketika para ulama banyak menyoroti masalah rok mini, kejahatan seksual yang banyak terungkap justru ada berada tak jauh dari lingkaran itu sendiri.  Dan selain korupsi di lingkaran politik, korupsi yang mengejutkan justru berkaitan dengan pencetakan kitab suci.
Ilmu pengetahuan telah banyak mengungkapkan bahwa semakin besar sebuah resiko maka semakin kuat manusia membungkus dan menyembunyikannya.  Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat dunia perbankan menolak memberikan kredit kepada usaha-usaha beresiko tinggi, seorang lulusan sekolah MBA terkenal di Amerika memperkenalkan produknya yang kelak dikenal dengan sebutan junk bonds.  Surat berharga itu diperjualbelikan dengan cepat di pasar dengan iming-iming return yang tinggi.  Ibarat junk food,  rasanya enak dan gurih, namun lemaknya banyak dan berbahaya bagi kesehatan.  Mereka yang membeli bonds itu pun terlilit bencana, karena surat-surat berharga yang digunakan untuk memberi pinjaman pada toxic investors dengan bunga dan spread yang besar ternyata hampir semuanya macet pada saat yang bersamaan.  Kali ini bukan agama atau kitab suci yang menjadi iming-iming, melainkan janji keuntungan yang besar dan mudah.

Bagaimana money game di Indonesia belakangan ini?  Sepertinya para penipu sadar betul ruang geraknya makin terbatas dan mereka mulai menggabungkan keduanya ke dalam satu paket. Uang dan surga adalah dua janji yang selalu digunakan untuk menjerat.

Mengenal Resiko
Hidup dan kemajuan memang selalu berjalan beriringan dengan resiko. Sebuah kata bijak saya temukan di sebuah situs. Bunyinya begini:  “The person risks nothing does nothing,has nothing and is nothing,   He may avoid suffering and sorrow but he cannot fell, learn, grow and love.” Kurang lebih artinya beginilah.  “Orang-orang yang tidak menjalani hidup beresiko akan tak memiliki apa-apa, dan ia nothing (tak ada apa-apanya).  Mereka  menghindari kepahitan dan rasa sakit, tetapi tidak bisa merasa, belajar, tumbuh dan mencintai.”
Mungkin Anda pernah membaca kata bijak lain yang bunyinya lebih spesifik lagi.  Kalau diterjemahkan kira-kira jadinya begini.  “Mereka yang tak pernah melakukan kesalahan apa-apa bukan berarti hebat.  Jangan-jangan mereka tak pernah melakukan apa-apa.”   Bukankah untuk menyatakan cinta pada lawan jenis saja Anda mnghadapi resiko ditolak?  Bahkan para komedian baru yang banyak muncul dalam setahun belakangan ini di forum Stand up Commedy pun mengakui, mereka menghadapi resiko tidak lucu.  Tetapi sebagai manusia kita memiliki sebuah kehebatan, yaitu belajar.

Siapakah yang harus belajar?  Rakyat biasa, para profesional yang menggerakkan dunia usaha, yang digaji oleh para pelaku money game, atau juga penegak hukum dan pembuat undang-undang?  Saya kira semua pihak harus mulai mewaspadainya.  Orang tua dan guru saja tidak cukup belajar.  Indonesia adalah bangsa yang populasinya sedang tumbuh secara cepat.  Kelas menengahnya juga tumbuh dan semakin banyak orang yang baru mulai naik kelas, mulai punya tabungan dan membeli kendaraan baru.  Selalu akan ada orang-orang baru yang menjadi sasaran penipuan.  Dan yang paling penting sebenarnya adalah bangsa ini harus bergerak lebih cepat untuk menghadang para penipu.

Undang-undang dan peraturan harus dibuat lebih cepat untuk membatasi ruang gerak toxic entrepreneur, dan penegak hukum harus cepat menangkap dan menghukum mereka.  Masalahnya, para penipu sadar betul bahwa uang haram yang mereka dapatkan itu juga diminati oleh ribuan oknum penegak hukum.  Sementara ribuan anak-anak muda tengah diracuni oleh buku-buku yang menyajikan kata-kata jalan pintas seperti:  cara cepat kaya, punya banyak apartemen tanpa modal, kerja cerdas, jangan bekerja untuk cari uang-buatlah uang bekerja sendiri untuk Anda, bagaimana membuat usaha baru langsung difranchise-kan, dan seterusnya.  Mereka belajar bahwa kaya adalah hak mereka, dan jalan pintas boleh dilakukan, sedangkan kerja keras sudah tak zamannya lagi. Padahal dengan cara-cara demikian mereka hanya akan bermuara dalam usaha money games dan berlabuh di rumah tahanan atau pelarian yang mengasingkan. Kalau sudah begini, para penerbit buku pun harus ikut bertanggungjawab.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Cak Eko Siap Berbagi Rahasia Sukses

Siapapun penggemar bakso pasti akan mengenal outlet Bakso Malang Kota “Cak eko”. Kedai bakso dengan sistem waralaba tersebut saat ini sudah memiliki 101 outlet yang tersebar di 28 kota di Indonesia, bahkan rencananya akan berekspansi hingga luar negri.

Waralaba kedai bakso ini bisa terbilang salah satu usaha yang cepat menjamur kemana-mana, sejak dibuka gerai pertama tahun 2006 hanya butuh waktu 7 bulan untuk pembukaan gerai kedua. Setelah itu kesuksesan seolah-olah tidak bisa dibendung, tawaran kerjasama pun datang silih berganti.

Hengky Eko Sriyantono adalah orang di balik kesuksesan itu. Namun kesuksesan itu bukannya tanpa hambatan. Eko yang sebelumnya sempat menjadi pegawai BUMN memutuskan berhenti untuk menjadi pengusaha. Keputusannya itu tentu saja banyak ditentang oleh keluarganya. Tidak mudah bagi Eko untuk bergerak setelah sekian lama mapan menjadi pegawai BUMN.

Waralaba “Cak Eko” yang diambil dari nama tengahnya itu akhirnya menuai kesuksesan setelah berbagai usaha yang dirintisnya mandek di tengah jalan mulai dari terjun ke dunia MLM, lalu Agrobisnis, jual beli mobil, hingga berjualan baju muslim.

Bagaimana perjuangan Cak Eko membangun waralabanya tersebut? Ia akan membagi pengalamannya dalam memulai sebuah usaha, dan bagaimana mengembangkannya.

Serba-serbi dunia kewirausahaan akan dikupas tuntas dalam seminar yang berlangsung di Jakarta Book Fair, tepatnya di Panggung Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, pada Selasa, 26 Juni 2012, Pukul 19.00-20.30 WIB.

Jangan ketinggalan….

http://www.rumahperubahan.com

@rumah_perubahan

Menularkan ‘Virus-virus’ Social Enterprise di LA Inspiraction

Era world 2.0 yang memberikan kebebasan penuh dalam bertransaksi dan melakukan kegiatan ekonomi berujung kepada kelahiran pasar bebas. Deregulasi ekonomi terjadi, dunia seakan tanpa sekat dan perdagangan kini tak kenal batas wilayah, investasi asing masuk hampir keseluruh negara berkembang melahirkan ketimpangan yang kian menjadi-jadi. Aktifitas ekonomi yang berorientasi efisiensi ini telah melahirkan dehumanisasi, sektor bisnis tumbuh berkembang begitu pesat namun sangat sedikit memercikkan kesejahteraan bagi kaum tak berpunya.

Hukum Alam berlaku, era baru akan muncul dengan sendirinya mengkoreksi kekurangan dan kegagalan era sebelumnya. Kemunculan era world 3.0 dianggap merupakan perpaduan penting antara kontrol negara dan peran pasar yang optimal, disamping itu era ini juga turut memperhatikan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai pola-pola ekonomi baru yang inovatif, salah satunya adalah Social Entrepreneurship.

Social Entrepreneurship dianggap sebagai jelmaan dua spirit yang dimiliki bunda Theresa dan pendiri Microsoft Bill Gates. Sentuhan kemanusiaan Bunda Theresa dan naluri bisnis Bill Gates merupakan perpaduan apik yang mampu menciptakan perubahan sosial secara berkesinambungan. Adalah Muhammad Yunus sang pendiri Grameen Bank serta peraih nobel dibidang kemanusiaan yang berhasil memantik banyak gerakan-gerakan Social Entrepreneur baru diseluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.

Prof Rhenald Kasali selaku pendiri Rumah Perubahan pada Selasa (19/2/2012) di Gedung UOB, Jalan MH Thamrin mengupas tuntas tentang Social Entrepeneur ini. Berkolaborasi denga LA Lights, Prof Rhenald Kasali menyelenggarakan seminar Inspiraction bertemakan Social Enterprise yang menghadirkan sederet pembicara seperti Noni S Purnomo (VP Business Development Blue Bird Grup), Raditya Dika (Pengarang Buku), Henry Honoris (Presdir Modern Grup), dan turut menghadirkan social entrepreneur Indonesia seperti Ning Hermanto, Masril Koto, dan Haji Idin.

Acara dengan helicopter view mengenai social entrepreneur oleh Prof Rhenald Kasali selaku host. Ia menyajikan berbagai profil sosok dan lembaga social entrepreneur di seluruh dunia yang muncul dengan pola gerakannya masing-masing. “Social entrepreneur sudah menjelma menjadi sebuah gerakan baru didunia,” terang peraih penghargaan pendidik kewirausahaan dari presiden RI ini.

Selain memaparkan teori dan studi kasus mengenai social entrepreneur, Prof Rhenald Kasali juga mempresentasikan program pemberdayaan masyarakat di pulau buru yang digawangi oleh Rumah Perubahan, sebuah lembaga social entrepreneur yang didirikan sendiri oleh Prof Rhenald Kasali beserta istri di tahun 2007. Rumah Perubahan mengembangkan skema bisnis Integrated Farming yang mencakup peternakan sapi, perkebunan pala dan coklat, serta penyulingan minyak kayu putih. Program ini disampaikan langsung oleh Rhenald Kasali melalui tayangan video dokumenter yang berisikan serangkaian aktifitas Rumah Perubahan di Pulau Buru.

Sementara Masril koto selaku pendiri lembaga keuangan mikro di Sumatera Barat turut berbagi mengenai pengalamannya selama menjadi social entrepreneur. Saat menyampaikan materi pria yang kini mengelola aset petani hingga Rp 250 miliar ini kerap mengocok perut peserta dengan gaya khasnya.

Sesi selanjutnya disampaikan oleh Nony S Purnomo selaku VP Business Development Bluebird. Ia mengisahkan bagaimana perjalanan panjang blue bird dari hanya bermodalkan dua taksi hingga kini memiliki armada mencapai 25000 taksi, dibalik kisah sukses tersebut ternyata tidak hanya profit yang dikejar Blue Bird, namun juga bagaimana mereka menaruh perhatian khusus pada kesejahteraan karyawan. Blue Bird melakukan berbagai kegiatan sosial seperti tabungan haji, beasiswa untuk putra-putri supir Blue Bird, pemberdayaan ekonomi bagi para istri supir, dan program-program sosial lainnya.

Henri Honoris selaku Presdir Modern Grup yang memiliki gerai 7-Eleven ikut berbagi pengalaman bisnisnya dari awal ditolak oleh pemilik lisensi 7-Eleven selama 2,5 tahun hingga akhirnya kini memiliki 73 outlet. Kisah perjuangannya yang tak kenal lelah untuk terus mengirimkan email, proposal hingga contoh layout gerai patut menjadi inspirasi. Henri membuktikan kepada keluarganya bahwa pilihan untuk merubah total bisnis lama yaitu Fuji Film menjadi 7-Eleven merupakan pilihan tepat, ia menyadari hanya dengan berubahlah bisnis keluarganya yang sedang sekarat dan diambang kebangkrutan dapat bangkit kembali. “Pilihannya berubah atau mati,” tegasnya.

Keseluruhan seminar ditutup dengan sesi bersama Raditya Dika, seorang penulis novel best seller yang memiliki 2.9 juta follower twitter. Dengan pembawaan yang santai ia menyampaikan berbagai fenomena baru generasi muda masa kini, khususnya kemunculan berbagai platform social media seperti facebook, twitter, plurk, dll yang menjadi ruang sosial baru yang lebih diminati ketimbang media-media lain. Raditya Dika juga turut memberikan beberapa tips penting bagaimana cara efektif dalam ngetwit dan bagaimana rahasia menambah follower, para pengunjung khususnya yang berusia muda tampak serius mengikuti sesi ini.

http://www.rumahperubahan.com