Wirausaha Ekonomi Rakyat – Sindo, 28 Maret 2013

Saya baru saja kembali dari pesisir Timur Aceh, menelusuri jalan darat dari Lhokseumawe, melewati Bireun, Desa Matang yang terkenal dengan satai lembunya, terus ke atas hingga dataran tinggi di Takengon dan kembali lagi ke Bireun, lalu menembus Sigli dan masuk Ke Banda  Aceh.

Berbeda dengan kondisi jauh sebelum Tsunami yang kondisi jalannya buruk, maka kini Aceh telah menjelma menjadi provinsi dengan jaringan infrastruktur terbaik Indonesia. Kondisi jalan berkualitas tinggi yang dibangun dengan dana bantuan internasional, lapangan terbang, pelabuhan, rumah sakit bantuan asing, perumahan rakyat yang dibangun dengan perencanaan yang matang yang dipimpin putra terbaik Indonesia: Prof. Kuntoto Mangkusubroto. Kawasan pelabuhan bebas Sabang juga mulai bergeliat, setelah proses rekruitmennya berhasil mengedepankan merit system.  Ir. Fauzi Husin, mantan presiden PT. Arun sudah aktif bekerja, dan beberapa rombongan kapal pesiar sudah singgah di sana.

Ternyata benar nikmat menjadi Jokowi. Nikmatnya blusukan benar-benar saya rasakan.  Bahkan mungkin lebih nikmat dari pada menjadi gubernur karena saya bisa melakukan apa saja tanpa pengawasan kamera televisi, atau kawalan birokrat yang mengatur perjalanan.  Blusukan versi saya ini murah meriah.  Tetapi sampai di dataran tinggi Gayo saya harus kecewa: Tak ada kedai  kopi yang besar, seharum nama kopinya yang terkenal seantero jagad raya ini.  Hanya ada kedai nasi biasa yang menjual kopi seperti di pasar tradisional lainnya, dan hanya ada kebun-kebun kopi yang bijinya dijemur di jalan-jalan raya.

 

Mana Wirausahanya?

Semua pejabat tinggi Indonesia berbicara tentang kewirausahaan, dan semuanya berbicara tentang pentingnya infrastruktur. Tetapi dua-duanya jalan sendiri-sendiri.  Yang satu bicara infrastruktur terus, yang satunya kewirausahaan terus.  Yang mengorkestrasi keduanya praktis tidak ada.  Contoh kasusnya bisa dilihat di Aceh: infrastrukturnya bukan saja baik, melainkan yang terbaik, tetapi ekonominya masih mengandalkan sekor-sektor tradisional.

Industri besar belum masuk. Sebagian besar perekonomiannya masih sangat mengandalkan perdagangan dari kota Medan.  Kalau di era BRR banyak serpihan usaha kontraktor yang bisa diambil, kini sudah tidak ada lagi.  Perdagangannya masih sama, dijalankan orang-orang asli Sigli yang sejak dulu dikenal ulet dan rajin merantau.  Kedai Kopi yang dulu jumlahnya terbatas, kini tambah banyak tetapi di pusatnya di Gayo malah tak terlihat.  Sedangkan bisnis rempah-rempah masih berjalan seperti dulu.  Belum tampak industri baru yang dulu benar-benar diniatkan pemerintah pusat seperti yang dilakukan di era Soeharto.

Harap maklum, kewirausahaan ekonomi rakyat belum banyak bergerak.  Kewirausahaan baru menjadi “mainan” indah anak-anak muda di Pulau Jawa dan kota-kota besar tertentu yang kampusnya dipimpin rektor-rektor yang tepanggil.  Sebut saja UGM, ITS, ITB, dan IPB.  Maka tak heran kalau konsentrasi wirausahawan muda Indonesia masih terkonsentrasi di  Bandung, Jogja, Malang, Surabaya, Makasar dan Denpasar. Lalu perlahan-lahan mulai menggema di Medan, Palembang, dan Pontianak.  Selebihnya ia masih menjadi wacana yang indah ketimbang sebuah gerakan yang benar-benar terstruktur.

Kembali ke Aceh, harap maklum pada tahun 2014 gas yang disedot dari ladang kaya di Lhokseumawe akan habis dan PT. Arun akan berhenti beroperasi, kecuali pemerintah serius menyelamatkannya.  Kalau gasnya habis, Pupuk Iskandar Muda akan ikut berhenti beroperasi, mengikuti saudaranya: Asean Aceh Fertilizer yang sudah lebih dulu dibiarkan menjadi besi tua.  Kita akan bahas khusus turn-over PT. Arun minggu depan.  Tetapi tanpa keseriusan membangun wirausaha ekonomi kerakyatan, saya kira sulit bagi Indonesia menurunkan tingkat ketimpangan sosialnya.  Rakyatnya hanya akan bertarung memperebutkan pekerjaan dan koneksi  melalui Pilkada, lalu beramai-ramai melakukan intervensi politik terhadap unit-unit ekonomi milik pemerintah daerah maupun pusat.  Sedangkan kekayaan yang sebenarnya tak ada yang menyentuhnya.

Tak adanya kedai kopi yang memadai di Takengon atau kedai-kedai kopi yang dibangun orang Takengon di kota-kota lain di Provinsi Aceh adalah salah satu indikasinya. Bank-bank pembangunan daerah belum cukup terpanggil untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan  yang naik kelas dan dikelola secara profesional.  Mereka masih menutup mata menyaksikan kedai-kedai ekonomi milik rakyat yang kini diserbu kalangan berpendidikan yang menawarkan grobakchise-grobakchise yang dijajar di kaki-kaki lima.  Wirausaha baru tanpa visi itu dibiarkan menjadi kompetitor berat ekonomi rakyat yang berbisnis “as ussual”.  Jelaslah grobakchise berlampu terang dengan “branding” yang lebih mencolok jauh lebih menarik bagi kaum muda ketimbang kerak telor yang dipikul Bang Miun, atau soto ayam Pak Kasdu yang tendanya sudah lusuh.

Singkatnya, tanpa wirausaha yang memadai, tanpa kewirausahaan, infrastruktur hanya akan jadi hiasan provinsi. Rakyat hanya punya impian bagaimana menjadi konsumen, bukan penggerak perekonomian.  Peta yang demikian hanya akan mendorong partisipasi untuk korupsi ketimbang sebuah civil society yang sehat.  Dan tanpa kesadaran itu, kita akan melaksanakan model yang sama di NTT, Papua, Maluku dan sebagian propinsi di Kalimantan dan Sulawesi.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Low Cost Hospital – JawaPos, 25 Maret 2013

“Bukan  kamar jenazah yang saya takuti, melainkan ruang administrasi.” Begitu yang diucapkan orangtua pasien sebuah rumah sakit.

 

Kekhawatiran itu dijawab dengan lihay oleh gubernur DKI, Jokowi dengan kartu jaminan kesehatan. Tetapi luapan harapan untuk mendapatkan jaminan kesehatan belum juga dapat diatasi. Jumlah pasien tiba-tiba meledak. Kamar dan dokter tidak cukup.  Pasien harus pindah berkali-kali dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang berarti ongkos. Ada kesan yang luas rumah sakit enggan menerima pasien miskin, namun dokter mengatakan rumah sakit kekurangan kamar dan tenaga medis.

 

Era Low Cost

 

Di televisi, dalam sebuah wawancara, Tonny Fernandez, founder Air Asia pernah ditanya, apalagi gagasannya.  Ia menjawab: low cost hospital. Ya, rumah sakit berkualitas internasional berbasiskan biaya yang rendah. Di dunia telco,  cara yang ditempuh Air Asia sudah sejak 7 tahun ini diterapkan.  Mulanya oleh XL Com yang saat itu baru saja diambil alih oleh Axiata dari Rajawali.  Hasilnya: jumlah pelanggan telco meningkat pesat, demikian pula  frekuensi percakapan dan SMS.  Tapi bisakah metode ini dipakai di rumah sakit?

 

Sewaktu akan diterapkan, hampir semua penganut mashab low cost kesulitan meyakinkan karyawan yang menjadi pembuat cost. Logika mereka tak masuk karena dua hal: pertama, low cost berarti budaya kerjaan perilaku sehari-hari juga harus berubah dan tentu saja menghapus banyak kenikmatan.

 

Dan kedua, sedikit sekali yang  percaya bahwa hasil riset yang mereka pegang banyak mengandung kesalahan. Konsumen bukan menghendaki tarif yang murah, melainkan tarif yang “supermurah”, atau bila perlu gratis, ditanggung pihak ketiga.

 

Para penganut mashab low cost juga bertarung dengan banyak akademisi yang  percaya bahwa high quality hanya bisa ditawarkan dengan premium price seperti yang dilakukan oleh premium brand. Bahkan ada yang menghawatirkan low cost juga bisa berarti  ancaman terhadap safety.  Tak banyak yang mengerti bahwa low cost berarti “berbadan sehat”, tertib administrasi, bebas korupsi, tak ada duplikasi, efisien dan tata kelola yang baik.

 

Demikianlah harga yang berlaku dalam industri fashion, travel (hotel dan airlines), parfum, property, pendidikan dan kesehatan. Harganya harus mahal karena produsennya confused antara cost dengan image (gengsi).  Namun di sisi lain kita juga menemui fakta sebaliknya: high cost-low quality atau poor service seperti kebanyakan rumah sakit pemerintah. Sudah pelayanan ya buruk, sistemnya tak bekerja dengan baik. Tingkat keborosannya amat tinggi, intervensinya banyak sekali.  Namun terimakasih, 20 tahun belakangan muncul rangkaian terobosan dengan lahirnya fenomena freemium yang berhasil memadukan premium quality dengan harga yang “almost free“.

 

Ketika metode low cost diterapkan, banyak orang yang tak percaya bahwa mereka bisa melakukannya.  Di XL Com ketika metode ini diterapkan pertanyaan serupa juga muncul.  Pertanyaannya seputar bagaimana merombak struktur biaya? Siapa yang biayanya harus dipangkas?  Berapa banyak orang yang harus dikurangi? Apakah respons pasar benar elastis? Apakah biaya modal dan depresiasi dapat di-cover? Apakah benar menguntungkan? Apakah konsumen tidak akan berpindah hati? Dan seterusnya.

 

Faktanya XL bukan hanya berhasil mendapatkan pasar baru, mereka malah memperbaharui industry, menjadi cracker.

 

Low cost method terutama dipakai untuk mengongkestrasi sebuah kegiatan usaha berskala besar (untuk mendapatkan skala ekonomis) dan untuk mengundang nonconsumers menjadi consumers.

 

Jadi model ini sebenarnya cocok untuk industri pelayanan kesehatan berskala besar, yaitu rumah sakit jaringan (franchised based atau chain hospital) atau rumah sakit milik pemerintah yang memungkinkan disatu-atapkan pengelolaan dan pengadaanya dan diperbaiki tata kelolanya.  Model ini juga cocok untuk menampung pasien-pasien baru yang datang dengan fasilitas jaminan pemerintah yang dulu sama sekali tak terjangkau.

 

Sikap Dokter

 

Harus diakui sikap dokter amat beragam.  Ada dokter yang terbiasa melayani pasien kelas atas, namun juga banyak dokter yang dibesarkan di rumah sakit pemerintah yang melayani kaum miskin. Namun juga ada yang berada di tengah-tengahnya: memiliki status  PNS dan bertugas tetap di RS pemerintah, namun juga buka praktek di klinik atau rumah sakit lain yang melayani kelas menengah atas.

 

Dualisme ini diakui banyak pimpinan rumah sakit sebagai masalah besar, karena suka atau tidak kesetiaan pada pelayanan untuk kaum miskin akan terganggu.  Ketika politisi mengalokasikan dana yang jauh lebih besar untuk melayani kaum miskin, maka mau tak mau penghasilan rumah sakit pun akan membaik, dan rumah sakit tak bisa lagi mengeluh bahwa pasien miskin menjadi beban. Pasien miskin adalah sumber penghasilan bagi rumah sakit, yang berarti juga sumber peningkatan kesejahteraan bagi dokter.

 

Namun karena di masa lalu sikap rumah sakit tidak demikian, maka rumah sakit pun menghadapi banyak kesulitan menata dirinya. Rumah sakit milik pemerintah perlu menata diri, menerapkan transformasi dan change management, memperbaharui sikap dokter, memperbaharui sikap terhadap pelayanan, budaya disiplin, cara pandang terhadap pasien miskin, dan perlu membuang lemak-lemak yang membelenggu struktur biayanya yang tak sehat.  Jadi Low cost hospital adalah sebuah peluang.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Bangsa yang Bejo – Sindo, 21 Maret 2013

Orang-orang Jepang yang saya temui di kantor Toshiba, Fuchu Plant -Tokyo, dua minggu lalu mengatakan berbahagialah menjadi bangsa Indonesia.  “Indonesia adalah bangsa yang beruntung,” ujar seorang peneliti senior asal Jepang di Tokyo.  Saya tak cukup mengerti sampai saya menyaksikan gairah bunuh diri yang cukup tinggi di antara kaum muda maupun kaum tua Jepang. Bahkan mereka menyediakan satu gunung sendiri: Aokigahara.

Di Jakarta, sebaliknya saya mendengar keluhan yang tiada henti dari banyak oang yang mempertanyakan “mau dibawa kemana republik ini?” Bahkan di televisi hampir setiap pagi hingga malam kita hanya mendengar keluhan demi keluhan. Di jalan raya, seperti tak bisa menerima keadaan, semua senang-senang menabur amarah. Setiap kali senggolan, kita hanya bisa menyaksikan orang berkacak pinggang dengan rambut yang berdiri tegak ke atas.  Aura marah tampak dalam komentar yang diucapkan  para pakar sampai bunyi klakson sepeda motor.

Peradaban Penuh Masalah

Bagi sebagian Orang Indonesia, mungkin Jepang dan bangsa-bangsa Barat adalah bangsa yang beruntung. Tetapi bangsa-bangsa itu justru menunjuk kitalah bangsa yang jauh lebih beruntung.  Tak heran kalau pujian demi pujian terus berdatangan. Padahal kita di sini semua merasa hidup semakin tak jelas.

Pusing dengan ketakberuntungannya, Easterbrook sampai menulis refleksinya yang menyandingkan kemajuan yang dicapai dengan masalah-masalah baru yang selalu bermunculan. Bukunya, The Progress Paradox diberi sub judul yang memilukan: How Life Gets Better While People Feel Worse. Ibarat temuan dalam dunia kedokteran yang terus semakin maju yang membuat manusia sekarang mampu hidup jauh lebih panjang, tetapi juga banyak masalah. Satu penyakit  disembuhkan, dua penyakit baru ditemukan. Mobil bisa dibeli, jalanannya tak ada. Maka itulah progress bagi Easterbrook tak lain sebuah paradox.

Seperti yang saya katakan, di Jepang, panjang usia disambut gembira, tetapi juga disambut gairah besar bunuh diri.   Beberapa media massa  minggu ini menurunkan berita yang mengenaskan.” Biaya Mahal Menjelang Ajal.” Bukannya disyukuri, panjang umur justru  disambut was-was. Masalahnya, biaya merawat hari tua tak cukup didapat dari kaum muda.

Beberapa kajian demografi menyebutkan, dalam sepuluh tahun ke depan, satu dari tiga warga negara Jepang akan berusia di atas 65 tahun.  Sementara itu, nilai-nilai keluarga yang memungkinkan dua-tiga generasi tinggal seatap – saling merawat sudah semakin ditinggalkan. Menurut Bloomberg, jumlah orangtua (di atas 65 tahun) yang tinggal bersama anak cucu mereka pada tahun 1980 mencapai  58%.  Namun sejak 2010, kemampuan anak-cucu itu menampung kakek -neneknya merosot tinggal 18%.

Jepang adalah bangsa yang penduduknya semakin hari semakin tua, sehingga produktivitasnya terus merosot. Ditambah biaya hidup yang tinggi, banyak kaum muda yang tidak lagi bersedia menanggung biaya bagi orangtuanya.  Rumah mereka sendiri sempit, pekerjaan semakin sulit didapat, sedangkan biaya hidup semakin hari semakin memberatkan.

Orang-orang tua yang dulu dibesarkan paman atau bibinya ternyata enggan merawat hari tua orang-orang baik itu ketika suami atau istri mereka mengingatkan bahwa mereka sendiri sangat membutuhkan tabungan untuk merawat hari tuanya sendiri kelak.  Jadi nenek-nenek yang lebih tua dan renta harus bisa urus diri sendiri. Kalau sudah merasa tak diperhatikan,  merekapun memilih “tinggal di Aokigahara” sampai ajal menjemput.

Jadi tak mengherankan bila Philipina dan Vietnam sama-sama berupaya keras mereformasi undang-undang  kepemilikan rumah bagi oang asing agar bisa menggaet para pensiunan Jepang menghabiskan hari tua di negeri mereka.  Para pensiunan itu senang karena bisa tinggal sambil bercocok tanam dengan biaya sepertiga dari biaya hidup di Jepang.

Lain Jepang, lain pula Amerika Serikat, negeri Belanda dan China.  Setiap bangsa punya masalahnya sendiri-sendiri.  Tak punya kemampuan ekonomi susah, punya pun selalu ada masalah.  Demikianlah Indonesia, Kemajuan tak hanya menuai keberhasilan, namun juga menuai kecemasan.

Formula Bejo

Dulu saat diterpa krisis moneter, banyak ilmuwan yang mendatangi negara-negara maju untuk mencari formula  yang dapat dipakai  untuk keluar dari kemelut itu.  Apa yang dibelajari dari negara-negara yang saat itu kita anggap “bejo” kini mulai menjadi tradisi di sini.  Demokrasi, transparansi, corporate governance, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, antitrustindex pembangunan manusia, pemisahan antara pelaku usaha dengan regulator, peran swasta yang lebih besar, hingga larangan menerima gratifikasi.  Lembaga-lembaga baru dibentuk untuk menjamin agar mekanisme kontrol berjalan baik.  Kompetisi dibuka, OJK dibentuk, otonomi daerah digulirkan, dan seterusnya.

Sementara ekonomi bergerak maju, diakui banyak masalah baru yang bermunculan. Korupsi merajalela, pertanian dan pangan  Indonesia mundur beberapa langkah ke belakang.  Masyarakatnya mabuk minyak. Pintu impor bukan hanya terbuka bagi barang-barang konsumsi, melainkan juga sindikasi narkoba. Pelayanan birokrasi mendapat sorotan besar. Konflik horizontal meningkat.  Perencanaan ekonomi hanya sebatas di atas kertas. Sektor informal membesar.

Sementara itu, di negara-negara yang menjadi sumber pembelajaran, “formula bejo” yang ditawarkan itu ternyata tidak cukup mengatasi masalah, kalau tidak dikatakan menjadi penyebab timbulnya krisis yang lebih dasyat dari yang dialami Indonesia 15 tahun yang silam.  Tanda-tanda kesulitan besar mulai tampak kalau Indonesia gagal melakukan persiapan untuk mengatasi masalah-masalah baru di kemudian hari.  Walaupun negara lain menyebut kita ini tengah “bejo”, logika kita mengatakan sebaliknya.  Indonesia perlu berpikir lebih keras, mencari solusi keIndonesiaan yang khas yang tidak asal comot, namun juga bukan solusi yang dilahirkan oleh para napi masa lalu (prisoners of the past).

Maka meski kata “bejo” terus digulirkan iklan, timbul banyak pertanyaan: adakah formula bejo yang dapat direplikasi? Bagi sebagian orang, bejo adalah sebuah keniscayaan yang seakan-akan bukan menjadi haknya manusia, melainkan kehendak yang mahakuasa atau takdir.  Bahkan dalam banyak hal, manusia Indonesia lebih memilih jalan mitos dan spiritual, karena “bejo” adalah urusan garis tangan, pancaran aura, kekuatan magis dan sebagainya.  Maka solusi “orang pintar” yang menjadi dagangan  guru-guru spiritual dan ahli fengshui lebih banyak dikenal ketimbang meminta nasehat para ahli strategic management yang kami latih bertahun-tahun di School of Management.

Sebenarnya “formula bejo” itu dalam realitas bukannya tidak ada. Jauh sebelum kelahiran Sang Kristus, dunia sudah mengenal ucapan Seneca yang mengatakan bejo itu hanya akan terjadi ketika peluang bertemu dengan persiapan.  Masalahnya, banyak orang yang tdak mampu melihat bahwa setiap masalah adalah peluang, dan peluang itu hanya bisa ditangkap kalau seseorang atau suatu bangsa bersungguh-sungguh melakukan persiapan jauh-jauh hari.

Saya tidak mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh kebanyakan orang yang hampir setiap hari hanya mengeluh namun tak melakukan persiapan apa-apa. Bahwa benar negeri ini banyak masalah, tetapi bukankah itu peluang besar bagi generasi semangat baru untuk memperbaharuinya?  Bukankah ini peluang besar untuk membuat sesuatu yang besar?

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Aokigahara – JawaPos, 18 Maret 2013

Sebulan yang lalu saya melakukan perjalanan menembus kawasan hutan di pesisir selatan Pulau Jawa. Sambil memotret tanaman-tanaman langka, teman-teman saya menyebut kawasan yang kami lewati sebagai kawasan yang sangat angker. Tetapi ketika minggu lalu mengunjungi Tokyo, saya bersumpah tak ada hutan seangker yang saya lihat ini: Aokigahara

Hutan yang sepi di kaki gunung Fuji itu benar-benar gelap, sepanjang jalan di beberapa titik kami hanya menyaksikan pita-pita merah, tas ransel yang ditinggalkan pemiliknya, botol-botol sake kosong, kartu kredit, dan kaos kaki bekas. Benda-benda itu adalah peninggalan orang-orang yang putus asa dan memilih untuk mengakhiri hidupnya di sana. Menurut Laura Sesana, dulu setiap tahun hanya ada sekitar 20 orang yang melakukan bunuh diri di sini. Namun sejak tahun 1994, jumlahnya melonjak menjadi 57 orang, dan tahun 2004 angkanya double menjadi 108 orang. Sejak itu pemerintah Jepang tidak lagi mengumumkan berapa orang yang mengakhiri hidup di sana.

 

Mengapa?

Berbeda dengan kawasan-kawasan hutan wisata lainnya yang Anda kunjungi, di pintu masuk Aokigahara Anda akan menemukan papan besar berisi nasihat-nasihat. “Kehidupan adalah hadiah terindah dari kedua orang tua Anda.” Lalu diteruskan dengan kata-kata: “Pertimbangkanlah kembali baik-baik. Dan jangan simpan kekhawatiran Anda dalam Jiwa, berbicaralah dengan kami.”

Namun entah mengapa nasihat itu tidak begitu mempan. Jepang, menurut data WHO, adalah salah satu dari 10 negara yang warganya gemar memilih bunuh diri. Tradisi ini bahkan sudah ada sejak era Samurai. Namun waktu berjalan, bunuh diri sudah menjadi issue sosial-ekonomi yang kompleks.

Di Korea Selatan, angka bunuh diri juga tinggi. Anda mungkin masih ingat kejadian di tahun 2009, ketika mantan presiden Roh Moo Hyun melakukan bunuh diri setelah pengadilan menyatakan ia terlibat dalam skandal korupsi. Roh memilih terjun dari atas gunung. Di Indonesia, belum ada koruptor yang memilih cara ini sebab selain akan harta bendanya tidak diblokir, mereka masih bisa membeli “dukungan moril”. Bahkan keluarganya pun menganggap korupsi sebagai fitnah. Sementara yang cium tangan masih banyak sekali.

Kembali ke Jepang belakangan ini peminat untuk mengakhiri hidup di gunung Aokigahara juga meningkat karena pemerintah Jepang telah mengeluarkan peraturan yang keras terhadap keluarga korban. Denda besar bernilai jutaan yen dikenakan pada keluarga yang anggotanya mengakhiri hidup di atas fasilitas transportasi publik. Tetapi meski demikian, orang-orang Jepang memiliki tradisi bunuh diri unik. Mereka melepas alas kaki.

Tiga orang insinyur muda Indonesia yang bekerja di Toshiba yang bertemu saya di Tokyo minggu lalu bercerita bagaimana bunuh diri telah menjadi fenomena khas Jepang. “Mereka malah merasa aneh bahwa bagi orang Indonesia bunuh diri adalah dosa,” ujar mereka bertiga. Orang Jepang malah sebaliknya menyatakan, “Kasihan menjadi orang Indonesia, susah bunuh diri.”

Di berbagai stasiun televisi Jepang saya menyaksikan berbagai program yang menunjukkan generasi muda Jepang yang ekspresif. Tetapi di atas kereta api gambaran itu lenyap. Masing-masing orang memilih  diam seperti tidak ingin mengganggu orang lainnya. Saya tidak melihat sosok yang jahil, mudah marah atau mentertawakan orang lain, apalagi yang matanya “jelalatan” seperti yang sering  kita lihat disini. Manusia Indonesia jauh lebih memiliki “katup pelepas”.

Bunuh diri selain mempunyai akar budaya, belakangan juga banyak dibentuk oleh perekonomian. Rasa kalah, tak mampu menghadapi tekanan, kehilangan pekerjaan dan harga diri, takut berlebihan, atau merasa tidak berarti, telah membuat banyak orang memilih jalan ini. Di Amerika Serikat, bunuh diri telah menjadi fenomena yang selalu ramai, apalagi sejak Dr. Jack Kevorkian menerima praktek “assisted suicide” dan pada tahun 1990-an mengaku telah melayani 40 orang lebih di Michigan saja. Tetapi Dr. Jack Kevorkian mengaku hanya melayani orang yang benar-benar telah putus asa dan mengalami sakit yang luar biasa untuk meneruskan hidupnya.

Di Indonesia, angka bunuh diri memang masih kecil. Tetapi bila ramalan ekonomi  dari McKinsey Global Institute benar bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar nomor 7 di dunia, maka perangkat Undang-Undang harus dipersiapkan dari sekarang. Bimbingan dan konseling perlu dikembangkan dan nilai-nilai kekeluargaan  yang menjamin rasa kebersamaan dan dihargai dapat terus dibangun. Mudah-mudahan kita masih percaya bahwa hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Lentera Jiwa (2) – JawaPos, 11 Maret 2013

Ketika seseorang bertanya bagaimana caranya menjaga kebugaran agar selalu tampak segar dan bersemangat, maka sebenarnya jawaban terbaik ada pada menyala atau tidaknya lentera jiwa seseorang.  Di rumah, kala saya sedang mengalami tekanan psikologis, istri saya selalu mengatakan “wajah saya sudah berubah menjadi seperti pak dosen”.  Lama saya tak mendengar lagi kalimat itu, tetapi saya pernah memikirkannya.

Rupanya ia tak mau wajah suaminya menjadi mirip rata-rata dosen yang kata dia “menjadi lebih tua dari usianya”.  Saya baru menemukan jawabannya ketika suatu waktu Najwa Shihab mempertemukan saya, Prof Emil Salim  dengan Ninik L Karim, dosen Fakultas Psikologi UI untuk menyambut mahasiswa baru. Di atas panggung auditorium UI, kami bercerita tentang kehidupan kami bagaimana meniti karier dan menembus tembok-tembok kesulitan sepanjang masa. Saat jeda, saya sempat bertanya pada Ninik, apakah sosok seperti dia klaim berada di kalangan dosen? Apakah tidak mengalami masalah dengan pola karier seperti ini?

Di luar dugaan saya, pemain teater yang pernah meraih beberapa kali piala Citra di layar lebar itu justru bertanya balik ke pada saya.  Saya katakan, justru itulah saya bertanya, karena sesungguhnya saya ingin tahu apakah orang seperti saya di fakultas lain juga mengalami hal serupa?  Selain mengajar, Ninik dikenal sebagai selebritas, dan dulu sering muncul di layar lebar.  Kalau sekarang Anda menyaksikan akademisi menjadi pengamat dan sering masuk TV adalah biasa, tidak demikian sepuluh-dua puluh tahun lalu.

Ninik bercerita panjang lebar bagaimana ia dianggap aneh oleh komunitasnya.  Bahkan yang lain bercerita, mereka seperti digunjingkan, tak diinginkan oleh komunitasnya. Tetapi Ninik kemudian mengatakan, “Tetapi saya bahagia Mas, saya lakukan semua ini karena panggilan jiwa saya.  Sementara ada ratusan dosen yang melakukan profesinya bukan karena panggilan jiwanya”. Maka layaklah mereka menjadi dosen killer, mudah tertekan, cepat tersinggung, sulit mengungkapkan mau hatinya, bahkan sulit berprestasi optimal.  Padahal, seorang guru sejati bukanlah orang yang senang marah, mempersulit orang lain, mengatakan orang lain tak mutu, bahkan mengatakan hanya dirinya yang bisa bernalar.  Bagi saya semua ini hanyalah cerminan dari tak menyalanya lentera jiwa.  Mereka bahkan the caged life (perangkap jiwa) atau bahkan sudah comfortable life (mempertikai kenyamanan).

Pertanyaan Jiwa

Maka sampai di usia 30-40 an, seorang yang sedang meniti karier perlu bertanya pada jiwanya dan pertanyaan itu adalah cermin dimana ia berada.  The Caged Life, kata Brendon Burchard, akan selalu diwarnai perasaan-perasaan takut setiap menyaksikan perubahan apa saja. “Apakah saya bisa survive”? Dan fokusnya hanya pada “aman atau tersakiti”.

The comfortable life sebaliknya akan bertanya, “Apakah saya akan diterima dan berhasil”? Dan fokusnya pada penerimaan.  Sedangkan pemantik lentera jiwa akan bertanya, “apakah daya telah menegakkan kebenaran dan mengaktualiasikan potensi diri saya?  Apakah saya telah melakukan hidup yang inspiratif dan mengirai oang lain”.

Bagi saya, maaf, percuma saja  berteriak kejujuran dan etika, bila diri sendiri menjalani hidup yang terpenjara.  Orang yang terpenjara tidak hidup dalam apa yang ia inginkan, ia banyak menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang sulit ia jawab sendiri.  Sementara bagi pemantik lentera jiwa, credo yang dianutnya adalah, ” ask not what you are getting from the world but, rather what you are giving to the world“.

Maka, mereka tak pernah merasa keletihan karena setiap hari selalu menyaksikan hal-hal baru.  Ini berbeda dengan The Comfortabe Life yang selalu menjalani rutin dengan kebosanan.  Bagi pemantik lentera jiwa, “life is magical and meaningful“. Mereka tak takut menghadapi gelombang-gelombang ancaman, mereka hanya peduli” apakah ini benar atau tidak” dan “apakah ini meaningful“.  Selamat menyalakan lentera jwa masing-masing…

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan