Keluar Dari “Kecakapan Ujian” – Sindo 31 Mei 2012

Setiap kali memasuki masa Ujian Nasional (UN), bangsa ini heboh. Sebelum ujian heboh, setelah ujian juga gaduh. Dengan dalih memberi motivasi, guru-guru malah membuat anak-anak stres dan bersedih menjelang UN. Orang tua dipanggil, anak menangis karena suasana yang dibangun para guru adalah para murid itu “banyak dosa” dan telah melakukan kesalahan pada orangtua. Alhasil bukannya plong, malah banyak murid yang mengalami histeria yang disebut “kesurupan” atau “kerasukan” setan.

Mengapa ujian nasional menjadi segala-galanya dalam hidup ini? Apakah tidak ada cara lain untuk membuka pintu masa depan anak selain ujian?

Saya ingin mengajak bangsa ini keluar dari metode pendidikan cara pabrikan yang menghasilkan “produk-produk” yang standar, yang seakan-akan anak adalah “output” hasil produksi. Kita seperti sedang melewati sebuah area “ban berjalan” dengan seorang manajer  Jepang, yang mengawasi ada-tidaknya produk yang cacat (defect), di luar standar.

Mereka yang berada di luar standar itu dalam pendidikan kita sebut “berbakat khusus” (special talent), namun di pabrik kita sebut “produk gagal”. Jelajahilah mesin pencari Google dan ketiklah kata “special talent”, maka Anda akan menemukan anak-anak seperti inilah yang ditawari beasiswa. Namun apa yang kita lakukan dengan anak-anak itu di sini?

Kecakapan Bakat
David McClelland pernah menyatakan bahwa suatu bangsa harus dibangun dengan sistem kecakapan, bukan kekerabatan, apalagi didasarkan warna kulit atau sentimen-sentimen kesamaan lahiriah. Sistem kecakapan itu mulai diperbincangkan oleh Confucius, diterapkan oleh Dinasti Han di China pada abad ke 2 SM, dan dibawa ke dunia barat, lalu disebarkan ke seluruh dunia.

Pada awal peradaban modern, manusia yang dulu percaya pada kecakapan otot beralih ke kecakapan intelegensia (IQ). Di era world 1.0, saat lapangan pekerjaan terbesar hanya bisa diberikan oleh negara, sistem kecakapan dipersandingkan antara IQ dengan ujian pengetahuan. Demikianlah generasi tua Indonesia mengikuti ujian seleksi masuk Universitas Negeri atau seleksi menjadi PNS melalui pemeriksaan kecapan tertulis.  Yang diuji adalah rumus-rumus, mulai dari bahasa, IPA, matematika, hingga Pancasila. Rumus-rumus itu dihafalkan dituangkan pada kertas.  Sedangkan sekolah swasta dan dunia usaha memilih kecakapan intelegensia.

Ujian tertulis dengan ujian pengetahuan menjadi penting karena jumlah pesertanya massal dan negara harus bertindak secara adil. Negara adalah segala-galanya.
Tetapi itukan dulu. Sekarang ini pilihan masyarakat sudah begitu luas. Pekerjaan bukan hanya ada di pemerintahan, dan sekolah tinggi yang bagus bukan hanya Universitas Negeri. Masyarakatnya boleh memilih, mau hidup di world 0.0, atau menjadi pengusaha global, konsultan, seniman atau professional di world 2.0 (globalisasi dini) atau world 3.0 (lihat kolom saya: Empat Dunia Yang Membingungkan).

Artinya masyarakat bangsa ini tak menggantungkan lagi kehidupannya untuk menjadi PNS. PNS bukanlah segala-galanya.  Dunia ini sendiri begitu terbuka, penuh kesesakan dan pilihan, bahkan persaingan dan saling melengkapi.  Dunia yang sesungguhnya itu bukan membutuhkan kecakapan ujian, melainkan kecakapan-kecakapan impak, yaitu apa yang sebenarnya dapat dilakukan seseorang dari pendidikan yang ditempuhnya. Kalau seseorang belajar tentang pertanian, maka ia bisa buat apa dengan ilmunya itu? Kalau ia belajar membuat robot, apa impak yang bisa diperbuat? Kalau sekolah kedokteran, bisakah berkiprah di sektor kesehatan? Demikian seterusnya.

Kecakapan seperti ini disebut kecakapan bakat (talent merit) dan pernah merisaukan Mendiknas Singapura 20 tahun lalu saat negara merasa segala-galanya. Sekarang ini Singapura telah beralih ke sistem kecakapan bakat yang memungkinkan anak-anak menemukan pintu masa depannya dengan lebih damai dan lebih membahagiakan.
Untuk memberikan ilustrasi, saya ceritakan kembali pengalaman saya saat mengajar mata kuliah “International Marketing”. Mata kuliah ini diberikan kepada mahasiswa senior di Program S1 dan sebagai prasyaratnya mereka harus sudah lulus “Dasar-Dasar Marketing”. Suatu ketika saya iseng menanyakan berapa mahasiswa yang mendapat nilai A di kelas marketing yang diambil satu dua semester sebelumnya, dan saya minta mereka maju kedepan. Dan sungguh saya tak percaya bagaimana anak-anak yang kurang bergaul, kurang pandai mengekspresikan pikiran, bahkan dikenal sebagai anak yang berbicara sinis, dan berpenampilan tidak “marketable” dari kacamata rekan-rekannya, bisa diberi nilai A.

Begitulah “the power of exam merit”. Mereka mendapatkan nilai “A” dalam transkrip nilai karena bertemu dengan pengajar-pengajar yang hanya berorientasi pada hasil ujian, bukan pendidik yang mengubah cara mereka berpikir. Di atas kertas pada saat ujian mereka benar-benar cerdas, hafalannya bagus, analisisnya ok, tetapi mengapa untuk hal sederhana saja tak mampu mengaplikasikan pengetahuannya? Saya jadi teringat kisah seorang teman yang belajar bahasa Inggris di Amerika Serikat supaya bisa kuliah S2 di Amerika.  Belajar bahasa Inggris di masyarakat yang berbahasa Inggris kok di kamar memakai headset?

Kalau demikian cara kita mendidik anak-anak ini, maka bisa saya bayangkan mengapa pengusaha mengeluh lulusan-lulusan kita tidak siap pakai, dan mengapa terdapat gap besar antara pilihan sekolah dengan pilihan profesi. Anak-anak mengeluh sekolahnya susah karena mereka tidak bisa mengekspresikan bakat yang mereka cintai. Guru mengeluh murid-murid tak mempersiapkan belajar di rumah dengan baik. Orang tua mengeluh anak-anaknya menjadi pemberang. Dan tentu saja di masa depan, dari sistem pendidikan seperti ini hanya akan dilahirkan sarjana-sarjana kertas, atau ilmuwan-ilmuwan paper, yang hanya asyik membuat makalah, bukan impact!

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sistem Politik dan Prestasi Ekonomi – Jawapos 28 Mei 2012

Dalam buku “ Why Nations Failed”, Daron Acemoglu dan James Robinson membandingkan dua pengusaha yang dibesarkan dalam sistem politik yang berbeda. Bill Gates mewakili pengusaha yang dibesarkan dalam sistem politik Amerika Serikat dan Carlos Slim dari Meksiko.

Apa yang membedakan keduanya patut kita renungkan di sini sehingga bisa dijadikan pegangan dalam mengembangkan kewirausahaan di tanah air. Apakah Indonesia akan puas dengan bangunan-bangunan usaha UMKM yang kecil-kecil dan informal dengan tax ratio yang rendah, atau menjadikan mereka sebagai  industrialis yang inovatif.

Gates dan Slim
Bill Gates kita semua sudah tahu, tumbuh dalam sistem pemerintahan yang sangat  mendorong terjadinya inovasi dan kompetisi. Bagi yang pro subsidi dan birokasi, itu namanya sistem yang “liberal”. Namun, dalam sistem pemerintahan yang relatif bersih, sistem itu mendorong tumbuhnya sektor-sektor usaha formal, perizinan begitu mudah dan transparan. Politisi tidak mengintervensi dunia usaha, semua terlihat transparan.

Bunga bank di Amerika Serikat berkisar antara 2 – 3 persen sehingga memudahkan pengusaha menjadi start up. Infrastruktur begitu bagus sehingga pengusaha beroperasi dalam ekonomi biaya rendah dan SDM hebat mudah didapat asalkan gajinya cocok. Kalau bank tak mau membiayai sebuah investasi inovatif yang pasarnya belum jelas,  ada venture capital atau angel investor. Kalaupun Anda tidak mau menjalankan bisnis sendiri, Anda bisa menjual paten hasil temuan Anda.  Karya cipta Anda dilindungi oleh undang-undang, hakimnya tak bisa disuap, pencuri atau pendomplengnya dihukum berat.

Demikianlah Gates tumbuh menjadi besar walaupun memulainya dari sebuah garasi kecil. Didukung venture capital, lalu go public. Hal serupa juga kita saksikan pada Mark Zuckerberg (Facebook), Larry Page (Google) atau alm. Steve Jobs.  Polanya serupa. Namun kalau mereka membandel, ya tetap saja dikenakan sangsi. Tak peduli apakah mereka orang terkenal, orang kaya, pengurus partai atau selebriti. Mereka tak perlu menaruh mantan jenderal, mantan birokrat senior atau pimpinan partai sebagai komisaris. Mereka adalah mereka, semua dilindungi undang-undang dan bila bersalah, ya dihukum.
Itulah yang dihadapi oleh Gates yang diseret pengadilan pada tanggal 8 Mei 1998 atau tuduhan menjalankan praktek monopoli saat ini membundling Internet Explorer dengan Windows Operating System. Praktek ini diamati oleh kKjaksaan Agung Amerika Serikat dan FTC sejak 1991.  Ujung-ujungnya Microsoft dinyatakan bersalah dan didenda besar.
Hal serupa juga pernah dialami oleh orang-orang terkenal seperti Martha Stewart yang bahkan sempat dipenjara karena ketahuan melakukan insider trading dengan menjual sahamnya secara besar-besaran sebelum harganya jatuh.   Karier Stewart pun tamat.

Bagaimana dengan  Carlos Slim yang tahun lalu dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya di dunia dengan menyalib Bill Gates?   Slim dibesarkan dalam sistem politik yang korup yang tidak memungkinkan dirinya menjadi usahawan besar selain “berkongsi” dengan penguasa. Negara seperti ini biasanya juga tidak menaruh perhatian pada hak-hak cipta. Usaha-usaha yang tumbuh di dalam sistem seperti ini biasanya hanya usaha-usaha kecil. Imigran yang ayahnya berasal dari Lebanon ini semula hanya menerima warisan sebuaha toko, yang lalu  merambah ke usaha properti.  Tetapi apa yang membuatnya kaya  bukanlah usaha yang berbasiskan inovasi, melainkan Telmex. Telmex adalah perusahaan telekomunikasi yang mulanya milik negara dan pasarnya monopoli. Saat Carlos Salinas menjadi presiden, pemerintah mengumumkan untuk melepas 51% sahamnya kepada publik(1989). Meski Carlos Slim bukanlah penawar tertinggi, ia dinyatakan sebagai pemenang. Tetapi bisakah ia membayar tunai semua deal yang sangat besar itu? Tentu tidak. Saya rasa Anda masih ingat kisah para  pengusaha nakal kita yang melakukan praktek yang sama. Mereka menggoreng-goreng dulu saham itu sampai harganya tinggi, lalu membayarnya dari keuntungan kenaikan harga saham atau dari devidennya.  Karena dekat dengan politisi, mereka bisa menekan penguasa supaya harganya murah.  Tetapi kalau  tak kebagian, mereka bikin ribut dan mempersoalkan kenapa harganya murah.

Di sini ada juga yang lebih pandai dari Carlos Slim. Mereka “mengakali” bupati atau gubernur yang ngiler mendapat dana kampanye.  Gubernur atau bupati disuruh menguasai saham perusahaan asing yang menambang di daerahnya sebagai bagian dari pengalihan saham sesuai undang-undang. lalu operatornya diserahkan pada mereka. Atau mereka yang meminjamkan uang agar pemda menguasai sahamnya, lalu dijanjikan pendapatan tetap.  Setelah dikuasai, pemda digusur, dan pembayaran dicicil.  Lalu alamnya  dikuras habis-habisan.  Harga saham naik, alam rusak, namun rakyat tetap miskin.
Mari kita kembali ke Carlos Slim. Melalui kongkalikong  dengan pada para pejabat, ia menguasai sejumlah area usaha. Namun bagaimana kalau melanggar hukum?   Berbeda dengan Gates yang kena sangsi, Slim selalu lolos. Ketika berhadapan dengan  kasus monopoli di tahun 1996, Slim dibebaskan dan tak dikenai hukuman.

UKM Indonesia
Kisah tentang Carlos Slim mengingatkan saya pada seorang anak muda yang  terinspirasi dengan gagasan-gagasan kewirausahaan yang pernah saya gulirkan. Ketika insinyur-insinyur muda indonesia lebih tertarik membuat keripik, kebab dan jamur goreng melalui gerobak chise secara UMKM di kaki lima, anak muda ini justru menjalankan usaha kreatif.  Ketimbang bersaing dengan rakyat kecil di kaki lima, ia membuka gerai kreatifmya di berbagai mal dan bersaing melawan investor asing.  Ia pun berhasil.

Uang sewa ratusan juta rupiah perbulan yang dituntut oleh mal ia bayar. Dan ternyata hasilnya menguntunkan. Karyanya benar-benar nakal, misalnya ia membuat kaos seperti ini : “I Love Paris”. Tetapi di bawahnya tertulis “Not Hotman” sehingga bisa saja ia disomasi pengacara yang biasa berhasil mempailitkan lawan-lawan kliennya itu.   Tapi syukurlah itu tak terjadi.

Puncak kreativitasnya mentok saat ia menjual baju-baju yang ia desain untuk pasangan Cagub Jokowi-Ahok yang ternyata laku keras. Saat ia menjelaskan langkah itu, entah mengapa, tangan saya reflex memukul dahi saya sendiri. “Oh My Ghost!”  CEO Mal itu pendukung Foke. Foke, dan juga mantan gubernur DKI sangat dekat dan  biasa bersama para manor mall Jakarta.  Saat bersama-sama memasarkan “Jakarta Great Sale” beberapa tahun terakhir ini,  Saya yang pernah jadi model iklannya melihat keakraban itu.  Pengusaha mal mana yang bisa menjauh dari walikota?

Anda tahu apa yang terjadi?
Sejak Saat itu kiosnya digeser ke belakang. Barang-barang dagangannya dikuasai pemilik mal, dan kiosnya yang laku itu diberikan pada orang lain.  Ia dipindahkan ke belakang, meskipun sanggup membayar dan kiosnya digemari anak-anak muda.

“Padahal saya ini jualan Jokowi karena pasar, bukan ideologis”, ujarnya. Ia pun sekarang luntang-lantung mencari perlindungan.

Seorang pengacara yang aktif di komisi tiga DPR, teman separtai Jokowi didatangi dan diminta bantuan. Tentu saja anggota dewan yang pro rakyat ini marah mendengar cerita itu. Ia siap membantu, tetapi ada syaratnya. Ia minta saham.

Saham? Bukankah bapak itu anak muda, seorang tokoh partai yang membawa harapan Indonesia ke depan?

Apa tidak salah? “Tidak pak, ia bersungguh-sungguh” ujar anak muda yang tengah dirundung malang itu.

Sampai di sini saya ingin menutup kolom ini dengan sebuah pesan moral : Sistem politik seperti ini hanya akan menghasilkan pengusaha-pengusaha kecil, usaha gerobak kaki lima yang sulit untuk maju.  Insinyur kita hanya akan jadi pengusaha keripik, getuk dan camilan saja.  Sementata yang membuat boiler, otomotif, permesinan, apalagi robot yang mampu menjelajahi asteroid, pasti bukan anak-anak kita.

Di bagian atas, usaha-usaha besar yang sarat perizinan dan tanah seperti pertambangan dan infrastruktur dikuasai mereka yang berkong-kalikong dengan politisi. Sementara yang di bagian bawah tak ada yang melindungi entrepreneur untuk naik kelas.  Tak ada akses pada modal besar dengan bunga rendah seperti di negara-negara lain, atau seperti yang dinikmati para konglomerat di era orde baru.  Dan tak ada jaminan hukum terhadap inovasi. Bagaimana mau menghasilkan industri-industri besar? Tentu semua ini harus  diubah.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Mereka yang Merombak Usaha Warisan – Sindo 24 April 2012

Donald Trump termenung saat ditanya Steve Forbes tentang apa yang ia persiapkan untuk suksesi bisnisnya. Ia hanya bisa berharap anak-anaknya bahagia dengan pilihan orang tuanya.

”Erick senang dengan klub bisnis dan itu cocok dengan personalitas saya. Adapun Don senang dengan bangunan-bangunan, dia fokus di gedung,”ujarnya. Trump punya tiga anak, dua pria dan satu perempuan. Ia belum mempersiapkan apa-apa untuk anak gadisnya yang katanya masih terlalu dini. Jadi cerita difokuskan pada dua pangeran penerusnya. Seperti Trump, kebanyakan orang tua yang usahanya berhasil di sini juga memandang usaha lebih dari sekadar ”kereta hidup”.

Itulah hidupnya sendiri, personalitas dan identitas diri. Usaha dan bangunannya dilihat sama seperti seorang bikers memandang Harley-nya atau dokter yang memandang ikan koi hobinya. Lain Trump, lain Peter Gontha yang dikenal dengan Java Jazz-nya. Bersama putrinya, Dewi Gontha, hari Selasa lalu keduanya berbagi cerita di depan kelompok Wanita Wirausaha di Jakarta. Gontha justru bangga dengan anak perempuannya yang sudah 8 tahun membesarkan Java Jazz dan kini mulai menjadi usaha hiburan yang terpandang.

Meneruskan atau Merombak?  
Dalam old school business, orang-orang tua selalu beranggapan anaknya bahagia menjalani pilihan orang tua. Anaknya merupakan ”penerus” bukan ”pembaharu”. Rumah milik orang tua kelak menjadi rumah anak dan usaha yang dibangun orang tua akan diteruskan anak-anak dan keturunannya. Demikianlah kita melihat Charles Saerang, Irwan Hidayat, dan Jaya Suprana ”meneruskan” usaha yang diwariskan satu-dua generasi di atas mereka. Neneknya buka usaha jamu,cucunya ikut.

Tapi bisakah hal itu dilakukan hari ini? Lihatlah fakta-fakta berikut ini. Saat diangkat sebagai CEO pada 1986, tak terlihat tanda-tanda apa pun anak ini akan menjual perusahaan yang didirikan kakeknya pada 1913. Ia begitu tekun membina warisan dari ayahnya dan mulai merekrut tenaga profesional asing untuk mempercepat proses pertumbuhan usaha. Tapi pada Maret 2005 publik dikejutkan, perusahaan berpendapatan bersih (saat itu) Rp15 triliun tersebut dijual kepada pihak asing.

Perusahaan ini sangat besar, posisinya berada di urutan ketiga dalam industri dan merupakan salah satu legenda di sini. Perusahaan yang memproduksi 41,2 miliar batang rokok itu dijual Putera Sampoerna kepada Philip Morris dan ia beralih ke bisnis-bisnis baru, yakni perkebunan sawit, telekomunikasi, infrastruktur, dan microfinance. Tak dapat saya bayangkan hal ini bisa terjadi bila Aga Sampoerna (yang meninggal dunia 1994) masih ada. Ceritanya mungkin akan berubah.

Tapi zaman berlalu, generasi baru pun berubah pikiran. Lebih dari setahun yang lalu saya didatangi seorang anak muda yang tergopoh-gopoh mencari saya. Setelah bertemu ia hanya minta waktu untuk menjelaskan visi usahanya. Namun ada satu hal yang ia wanti-wanti. ”Bapak, tolong jangan ceritakan ini kepada ayah saya sebelum menjadi kenyataan” Fernando, nama anak muda itu, adalah putra Jimmy Iskandar yang dulu dikenal sebagai fotografer istana dan merintis usaha foto cetak kanvas.

Jimmy Iskandar merintis Tarzan Photo sejak tahun 1948 sehingga wajar bila ia merasa bisnis ini sebagai bagian dari personalitasnya dan berharap anak-anaknya dapat meneruskan kejayaannya. Apakah yang diimpikan Fernando? ”Saya sudah membantu papa. Semuanya saya lakukan dengan sungguh-sungguh sampai hari ini.Tapi saya sudah menabung sejak lama, sekarang saya sedang menegosiasi tempatnya. Nanti pada saat peletakan batu pertama, papa dan mama baru boleh melihatnya,”kata dia.

Dan pada hari yang dijanjikan itu saya melihat orang tua Fernando sungguh terkejut. Sebuah maket besar yang akan segera dibangun muncul di hadapannya. Penerus itu berencana membangun usaha baru yang mirip Disneyland, tetapi digabung dengan pengembangan talenta anak. Usaha orang tua jalan terus, tetapi anak sudah punya mainan baru. Bagaimana ke depan? Apakah pembaharuan itu tidak baik?

Benarkah meneruskan yang sama persis dengan yang dilakukan pendahulu akan lebih menguntungkan? Saya masih memiliki sejumlah kasus lain yang kalau saya ceritakan di sini tentu tak akan cukup mengisi seluruh halaman surat kabar ini yang menceritakan kisah tentang anak-anak yang mengubah arah usaha orang tuanya. Sayang bila orang tua tidak memahami perubahan-perubahan yang terjadi dan talenta yang dimiliki anak-anaknya. Saya ingin mengajak orang tua membaca kembali goresan pena Kahlil Gibran di bawah ini.

Anak kalian bukanlah anak kalian. Mereka putra putri kehidupan yang merindu pada dirinya sendiri. Berikan kepada mereka cinta kalian, tetapi jangan gagasan kalian, karena mereka memiliki gagasan sendiri. Kalian boleh membuatkan rumah untuk raga mereka, tetapi tidak untuk jiwa mereka, karena jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tidak bisa kalian kunjungi, sekalipun dalam mimpi.

Renungan itu saya tunjukkan ke hadapan banyak orang tua yang tak puas dengan apa yang dilakukan anak-anaknya yang mengambil jalan yang berbeda dengan kehendak orang tua. Usaha sudah besar, tetapi anak tak tertarik sama sekali.

Talenta Pembaharuan 
Dalam old school business, anak-anak mampu menjadi penerus karena mereka dicetak melalui sistem persekolahan pabrikan. Metode pabrik yang mencetak murid secara massal dan terstandar adalah metode kuno yang hanya dipaksakan oleh pemerintah yang tidak paham terhadap pendidikan. Biasanya persekolahan seperti itu menerapkan sistem kecakapan ujian (exam merit) sehingga kecakapan murid diukur dari nilai-nilai ulangan dan ujiannya.

Dan supaya efisien, sekolah juga tidak mau repot-repot memahami gejolak lentera jiwa siswa, mereka cuma dibanding-bandingkan dengan angka sehingga didapat peringkat. Angka itu adalah angka kertas, bukan merupakan kesimpulan dari berbagai kecenderungan anak. Suatu ketika misalnya saya pernah mempertanyakan seorang mahasiswa yang diberi nilai A oleh dosen marketingnya.

Tapi setiap kali mengajaknya bicara, saya menemukan fakta lain. Wajahnya, bahasa tubuh, gestur, dan caranya berbicara sama sekali tidak marketable. Bagaimana mungkin anak ini bisa diberi nilai A? Anda tak usah bingung, ia dapat nilai A karena ukuran kecakapan di negeri ini adalah kecakapan ujian. Dosen yang bukan pendidik hanya fokus pada kertas ujian, jadi kecakapannya sulit diandalkan.

Kalau cara mendidiknya demikian, talenta-talenta yang tersembunyi tetap tersembunyi dan sulit berkembang. Sistem ini sudah lama dibongkar di mana-mana,tetapi tampaknya masih berlaku di sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah-sekolah berbasis agama di sini. Sekolah seperti ini cenderung mendidik dan menutup telinga dan mata hatinya pada talenta-talenta ciptaan Tuhan.

Kendati demikian, benihbenih kesadaran yang berlawanan justru tumbuh di sejumlah guru dan sekolah-sekolah tertentu yang diam-diam mereformasi dini dari merit exam ke talent exam. Mereka masih terseok-seok hanya karena satu hal, yaitu ujian nasional yang diberlakukan negara. Tapi baiklah kita kembali kepada anak-anak yang mengembangkan talentanya. Biasanya hal itu justru terjadi pada anak-anak yang dibawa orang tuanya bersekolah di luar negeri.

Putra Sampoerna sempat bersekolah di Hongkong dan Australia, Dewi Gontha di Amerika Serikat, dan banyak lagi para pembaharu justru mendapatkan talenta-talenta asli mereka yang bisa jadi berbeda dengan kehendak orang tuanya. Jadi menurut saya mereka yang menemukan talenta-talenta khusus itu berpotensi memperbaharui usaha orang tua dalam arti yang lebih revolusioner, bisa sekarang, bisa juga setelah Anda tidak ada. Lantas untuk apa mencemaskan mereka?

Bukankah justru yang harus dicemaskan mereka yang sekedar ”numpang hidup” pada bisnis keluarga? Mereka ini mempunyai ciri-ciri persis seperti penumpang bus. Mereka boleh ngantuk, bahkan bisa tertidur, dan tak tahu arah jalan. Bisnis keluarga justru bisa berakhir di tangan mereka. Jadi, berikanlah kesempatan kepada anak-anak untuk mengenal talenta mereka sendiri. Anak-anak ini mungkin akan membongkar usaha yang Anda rintis.

Tapi mereka tak akan membuatnya menjadi museum catatan sejarah yang gelap dan tak bertenaga. Mereka hanya memperbaharui dan merombak arah agar panjang usia. Jangan penjarakan jiwa mereka, sebab mereka mempunyai pikiran seluas cakrawala kosmos ini.

RHENALD KASALI
Founder Rumah Perubahan
Artikel di SINDO

Inklusivitas – Jawapos 21 Mei 2012

Mungkinkah orang-orang Indonesia menjadi Asteroidpreneur seperti yang saya ulas minggu lalu?

Ketika ekonomi China berjaya, bukan hanya orang-orang Amerika dan Eropa yang “terperangkap” oleh sinarnya. Pengusaha-pengusaha asal Jepang, Korea, bahkan “lawan” psikologisnya, Taiwan juga ingin berinvestasi di sana. Dengan metode Guang Xi, jaringan kedaerahan dan kesukuan, bahkan pengusaha keturunan asal Indonesia juga berinvestasi dan memindahkan sekolah anak-anaknya ke China.

China adalah magnet, sekaligus masa depan. Banyak orang percaya China akan menggantikan peran Amerika Serikat sebagai penguasa dunia. Sama seperti ucapan banyak orang terhadap Jepang sekitar 25 tahun yang silam. Dan saya menduga, pandangan ini kemungkinan akan bernasib sama seperti Jepang ketika Kaname Akatmatsu mengulas paradigma angsa terbang (the flying geese paradigm) dengan Jepang sebagai pemimpinnya di Asia.

Angsa-angsa yang berada di depan selalu diikuti angsa-angsa lain kemanapun ia pergi. Ia menjadi navigator. Tetapi dalam perjalanannya ternyata tak banyak angsa yang bisa terus berada di depan. Ia bisa goyah dan gundah sehingga kedudukannya diganti yang lain.
Begitu halnya dengan Jepang dan China yang kini sedang bergulat menghadapi “kembalinya” kepemimpinan Amerika Serikat dengan energy murah (khususnya shale gas, yang di fraktur dari batu-batu di perut bumi , dan biayanya hanya seperempat dari gas-gas alam asal Qatar atau Indonesia).

Untuk menjadi pemimpin angsa terbang diperlukan Asteroidpreneur, bukan sekedar UKM-Preneur, apalagi kalau hanya coba-coba dan hanya bergelut di bidang usaha yang mudah-mudah saja dengan prinsip ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Kapan menjadi industrinya?

UKM dan Motivator

Salah satu ciri negara yang angsa-angsanya cuma ikut-ikutan terbang adalah pengusahanya kesulitan melompat. Usaha-usaha mikronya terbelengguseperti burung dara yang sayap-sayapnya di jahit. Supaya bisa terbang tinggi, tentu saja belenggu-belenggu itu harus di lepas.

Sejak krisis moneter menghantam Indonesia 15 tahun yang lalu, kita menaruh harapan pada UMKM. Jumlahnya terus meningkat, dari 51,5 juta (2010) menjadi 54,5 juta tahun ini. Tetapi di lain pihak gairah berindustri turun drastis. Tak ada lagi orang-orang seperti Sukanto Tanoto yang di awal tahun 1980-an berani membangun industri pulp and paper. Semua anak-anak muda cuma asyik membuat roti, kue, burger, lele, ikan bakar dan warung gerobak yang di grobak-chise kan.

Bisa diduga kemana muaranya para wirausahawan seperti ini. Ketika jenuh, mereka beralih menjadi motivator atau pembicara UKM. Modalnya apalagi kalau bukan spirit Robert Kyosaki yang mengajarkan “bagaimana menjadi orang kaya”. Tak sedikit pula yang menanamkan cara-cara pemasaran bombastis atau cara-cara spiritual. Kata seorang industrialis, perlu dibedakan benar-benar mana yang merupakan hasil dari suatu percobaan dengan coba-coba. Kelihatannya, lebih banyak yang iseng dengan coba-coba, bukan kesungguhan yang didasarkan bukti-bukti empiris yang dapat digeneralisasikan. Dan tentu saja, bisnis seperti ini lebih banyak hit and run. Tapi tak apa, sepanjang order sebagai motivator masih bisa jalan terus, bukan?

Kita memerlukan UKM untuk menyelamatkan pengangguran, namun untuk memajukan bangsa, negeri ini juga bentuk industri-industri besar yang dibangun berbasiskan pengetahuan, sophisticated management dan profesionalisme. Indonesia butuh banyak pesawat-pesawat kecil yang bisa menembus daerah-daerah pedalaman seperti yang dilakukan Ibu Susi Pujiastuti (Susi Air) atau kapal-kapal penjelajah berbobot ringan yang dibuat dari teknologi material komposit yang dibuat Lisa Lundin di Banyuwangi.
Kita memerlukan UMKM untuk membuat desain-desain baju dan keperluan konsumsi ringan, tetapi untuk membuat energy dan otomotif diperlukan usaha-usaha besar. Usaha-usaha besar adalah lokomotif untuk menarik usaha-usaha kecil.

Inklusivitas
Apa yang membuat anak-anak Amerika bisa menambang di Asteroid sementara kita sibuk melobi Bupati untuk menambang perut bumi? Ekonom MIT, Daron Acemoglu, bersama James A Robinson (Harvard) mencari jawabannya. Dalam buku barunya (Why Nations Failed)  yang saya jadikan bacaan wajib di program doktoral di UI, diungkapkan pentingnya spirit inklusivitas. Dugaan saya, bangkit kembalinya Amerika bukan karena tangible assets atau kekayaan alamnya. Ketika Inggris masuk ke Benua Amerika pada abad ke 16 (yang kelak menjadi Amerika Serikat) bukanlah karena negeri ini kaya hasil bumi seperti yang dikuasai Spanyol atau Portugis. Melainkan karena hanya itulah yang tertinggal.

Amerika menjadi bangsa besar justru karena prinsip inklusivitas. Abraham Lincoln menghapuskan perbudakan, Luther King menghancurkan segregasi warna kulit. Selera-selera picik terhadap superioritas ras, agama, atau kelompok-kelompok disingkirkan demi penghargaan pada kesamaan hak. Jangankan diskriminasi terhadap ras, terhadap gender saja bisa menjadi masalah besar.

Dengan prinsip-prinsip itulah orang-orang pintar dari mancanegara pindah ke Amerika Serikat. Mereka bisa kuliah dengan tenang dan menjadi ilmuwan-ilmuwan terpandang. Ada kemerdekaan hakiki yang dirasakan, tatapi begitu seseorang mengeluarkan ancaman pada orang lain, hukum selalu ditegakan.

Karena itulah banyak anak-anak pintar Indonesia yang tidak pulang mengabdi disini. Seperti ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang saya temui di Silicon Valley yang hidup tenang bersama dengan anak-anaknya yang sudah mulai berkuliah di kampus-kampus terkenal. Mereka diperlakukan sama dengan orang-orang cerdas lainnya yang datang dari India, Pakistan, Iran, China, Korea, Rusia, Canada dan sebagainya. Cara ini sepertinya tengah di terapkan pemerintah Singapura yang dulu diduga mempunyai selera ”etnik” terhadap para pelajar berprestasi kaum keturunan Tionghoa di Asia Tenggara. Singapura kini mulai membidik anak-anak pandai dari berbagai etnik, termasuk dari Indonesia. Tak mengherankan tak lama lagi mereka akan menjadi negeri yang tak kalah hebat dari China dan Amerika.

Lantas apa yang akan dilakukan oleh para UKMpreneur Indonesia?  Menurut hemat saya, inilah saatnya anak-anak muda beralih dari UKM menjadi industri.  Dan untuk itu prinsip inkluivitas perlu dibangun.  Ayo melompatlah! Jadilah Asteroidpreneur, jangan berpuas diri!

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Perjalanan Dinas – Sindo 17 Mei 2012

Seorang pembaca menulis, kalau dari 4,7 juta PNS menghabiskan biaya perjalanan dinas sebesar Rp 23,9 Triliun (2012), maka rata-rata perorang PNS hanya menghabiskan biaya sebesar Rp 5,1 juta rupiah. Namun yang membuat hatinya tersayat-sayat adalah fakta ketika ia membaca perjalanan dinas 560 orang anggota DPR yang tahun ini dianggarkan sebesar Rp 140 milliar. Kalau dibagi rata, maka setiap orang wakil rakyat yang kaya-kaya dan senang belanja itu menghabiskan sekitar Rp 250 juta.

“Wajar” Katanya, “Bila mereka diprotes mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri.”

Perjalanan dinas yang besar telah menjadi ciri birokrasi dan kekuasaan pasca reformasi. Di berbagai media kita membaca, anggaran perjalanan dinas terus dicuri orang-orang tak bertanggung jawab dengan tiket-tiket bodong. Namun anehnya, bukan dikurangi, budget ini justru terus diperbesar. Dari rencana semula Rp 2,9 Triliun (2009) menjadi Rp 15,2 Triliun. Lalu hanya selisih dua tahun, angkanya sudah berlipat dua tahun ini menjadi Rp 23 triliun.

Bagaimana bangsa ini mengatasi masalah ini?

Rampingkan Semuanya
Organisasi pemerintahan yang gemuk adalah ciri pemerintahan World 1.0 yang saya bahas minggu lalu, sedangkan di era early globalization yang ditandai dengan desentralisasi dan deregulasi, pemerintahan yang sehat dan pro rakyat tidak memerlukan PNS dalam jumlah besar. Kalau pemerintahan mau sehat dan rakyatnya memiliki daya juang yang tinggi, berikan ruang yang besar pada masyarakat untuk berpartisipasi. Inilah ideologi pemerintahan di World 2.0.

Tetapi alih-alih menjadi ramping, di era desentralisasi ini, jumlah pejabat ditingkat pusat justru berlipat ganda. Jumlah pejabat eselon satu dalam beberapa tahun terakhir ini telah berlipat dua. Kalau yang diatasnya berlipat dua, otomatis yang dibawahnya ikut berlipat-  sudah begitu jumlah badan dan komisi-komisi terus bertambah, dan maing-masing menuntut tambahan sekretars jenderal dan deputy yang kedudukannya setara dengan eselon 1. Dan sekarang pun ada eselon 1 dan ada eselon 1A.

Sementara jumlahnya terus bertambah, kualitas layanan tidak membaik. Fungsi pemerintah pusat berkurang tetapi orangnya terus bertambah. Di berbagai daerah, masalahnya juga sama saja. Daerah-daerah terus menuntut pemekaran, dan semua pegawai tidak tetap menuntut di PNS-kan.

Di beberapa propinsi saya menemukan kepemimpinan-kepemimpinan buruk yang mengakibatkan PNS adalah satu-satunya pilihan bagi kaum muda untuk bekerja. Industri tidak digerakkan dan pertanian dibiarkan mati suri.

Padahal sejak tahun 1990-an negara-negara yang perekonomiannya sehat telah mengajarkan kita bahwa pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang ramping. Ramping jumlah orangnya, dan ramping strukturnya. Negara harus bertobat untuk mengurus semua hal kalau tidak bisa mengaturnya. Lebih baik bekerja dengan struktur yang simpel dengan orang-orang terpilih yang diberi gaji besar daripada menjadi semacam lembaga sosial yang menampung pengangguran dengan gaji kecil-kecil sehingga banyak orang mempunyai alasan untuk mengambil penghasilan di luar dari pendapatan resmi.

Pegawai yang besar jumlahnya dengan gaji yang kecil telah mengakibatkan tak ada kontrol dan tak ada pembinaan. Orang-orang yang semula bagus, entah mengapa, setelah lima sepuluh tahun bekerja di birokrasi banyak yang terkontaminasi, menjadi kurang produktif dan tidak disiplin.

Birokrasi telah berubah menjadi organisasi yang sangat gugup dan begitu kuat untuk melayani dirinya sendiri.   Boleh dikata apapun yang dibutuhkan para pegawai ada di tempat setiap kantor kementerian atau badan-badan milik pemerintah, meski tidak merata dan tergantung pada power yang mereka miliki.

Banyak kantor kementerian yang setiap level direktorat jenderalnya memiliki balai diklat sendiri-sendiri lengkap dengan prasarana yang hebat, namun sayang kualitas trainernya maaf, masih perlu  di upgrade kembali. Mereka masing-masing memiliki fasilitas ruang rapat yang bagus, termasuk vila yang besar di puncak, tetapi lebih senang menyewa kamar di hotel. Sebagian kementerian  punya lapangan sepakbola, kolam renang dengan kualitas sedikit di bawah stadion nasional dan tentu saja segudang fasilitas lainnya.

Kalau mau bepergian, urus kenaikan pangkat sampai urus kematian ada seksi pembaca doa.  Semuanya lengkap ada didalam. Pendeknya, Birokrasi memiliki kemampuan melayani atasan sendiri yang prima. Par Excellence.

Namun keterampilan melayani keatas yang berlebihan ini  tidak diikuti dengan kemampuan melayani masyarakat dengan baik. Perijinan dan infrastruktur justru mendapat keluhan terbesar. Belum lagi pelayanan-pelayanan rutin. Prosesnya berbelit-belit, lama dan terkesan kurang orang, kurang dukungan prasarana. Padahal birokrasi kita gemuk dan sudah terlalu banyak orang. Bukankah ini sudah saatnya berbenah?

Evaluasi-Eliminasi
Merampingkan birokrasi memang tak semudah membalikkan tangan. Apalagi ditengah-tengah sistem politik seperti ini akan semakin besar tantangannya. Namun apapun bentuk sistem politiknya saya kira sudah saatnya dilakukan 3E, yaitu Evaluasi, Estimasi, dan Eliminasi.

Inilah saatnya melakukan evaluasi apakah kita ingin terus hidup seperti ini atau berubah. Birokrasi tak bisa diperkuat hanya melalui kepemimpinan perseorangan. Ia harus dibongkar, bahkan dirancang ulang. Evaluasi ini hanya meliputi 3R, yaitu Requirement,return, dan reward. Tetapi dengan sistem dan budaya yang seperti ini, umumnya evaluasi hanya dilakukan untuk mengejar kenaikan imbal jasa (reward), sedangkan kinerjanya (return) dan kualifikasi (requirement) diabaikan.

Para pemimpin hendaknya menyadari bahwa dalam setiap lembaga terjadi tiga hal berikut ini dalam pengelolaan SDM, yaitu abuse, diuse dan misuse. Intinya, hanya ada sedikit orang yang melakukan pekerjaan segudang (abuse) dan ada banyak orang yang kerjanya hampir tidak ada atau terlalu sedikit (disuse). Sementara itu, bagian terbesar pegawai di birokrasi justru mengalami misuse:  Terlalu banyak orang melakukan hal yang salah.

Pengalaman saya di birokrasi menemukan ketiga hal diatas menjadi sangat biasa dalam pekerjaan sehari-hari. Menteri-menteri lebih sibuk mengurusi panggilan parlemen dan melakukan perjalanan dinas atau hal-hal teknis. Tak ada yang memikirkan kelembagaan dan masa depan kementerian. Ketika merasa frustasi, menteri-menteri lalu memilih bekerja dengan staf-staf khusus dan pejabat-pejabat tertentu saja, sedangkan sisanya urus diri masing-masing.

Biaya perjalanan dinas yang membengkak bagi saya adalah sebuah alarm peringatan bahaya, bahkan birokrasi kita telah semakin tambun dan sibuk urus dirinya sendiri. Inilah saatnya untuk meremajakan, melakukan transformasi mendasar untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan