Perubahan Selalu Bising – Sindo, 28 Februari 2013

Change will not come if we wait for some other person, or if we wait for some other time. We are the ones we’ve been waiting for. We are the change that we seek.” Barrack Obama.

Tak dapat disangkal bahwa saat ini banyak orang menyenangi kata perubahan. Tetapi apakah mengerti konsekuensi-konsekuensi dari perubahan? Rasanya belum tentu. Masih banyak orang yang berpikir “Change” atau Perubahan adalah “ganti orang”, atau ganti pimpinan. Maka tak heran kata perubahan bukan cuma laku dalam dunia usaha, melainkan juga dalam pilkada atau pemilu.

Dan kalau dibawa ke ranah itu, hampir pasti perubahan dibaca dari sisi politik. Atau bisa jadi kaum profesional yang sedang melakukan transformasi berpotensi menjadi korban politisasi. Lagi asyik melakukan transformasi yang bukan main banyak musuhnya, malahan dapat “musuh baru”, yaitu kandidat pejabat publik yang butuh suara. Mengapa begitu?

 

Selalu Ada Resistensi

Saya kira publik sudah semakin cerdas dan mengerti bahwa perubahan selalu berhubungan dengan adanya “kelompok yang melawan”. Kaum resisten ini jumlahnya tidak banyak, tetapi mereka sangat vokal dan berjuang agar tidak kehilangan. Di bumi yang perasa, orang yang pernah menduduki posisi terhormat bila kehilangan jabatan karena tidak lolos fit and proper test bisa berarti kehilangan muka.

Dan “kehilangan muka” bisa berarti “tsunami” bagi pelaku-pelaku transformasi. Padahal transformasi tidak bisa jalan bila tidak mendapatkan energy yang kuat. Transformasi butuh suasana persatuan dan kepercayaan.

Banyak orang yang tak menyadari bahwa setiap langkah transformasi sangat beresiko bagi jabatan seseorang. Kalau hanya kehilangan kursi saja itu belumlah seberapa. Dalam banyak kasus, kelompok yang resisten tidak hanya mengungkit kursi, melainkan mencari cara untuk menemukan kesalahan-kesalahan kecil yang bisa diperbesar. Padahal dalam era VUCA, manusia bekerja dalam iklim yang complex dan mudah mengambil langkah yang salah, lupa atau ada saja kekurangannya.

 

The Burning Platform

Dalam buku ChaNgE! yang saya tulis tahun 2005, Robby Djohan memberikan kata pengantarnya. Ini mungkin kata pengantar terpendek yang pernah saya terima, tapi isinya sungguh mengena pada sasaran. Saya kutipkan saja sebagian: “Perubahan adalah bagian yang penting dari manajemen dan setiap pemimpin diukur keberhasilannya dari kemampuannya memprediksi perubahan dan menjadikan perubahan tersebut suatu potensi.”

Lalu, pada alinea kedua Robby menulis catatan yang menurut saya sangat penting bukan saja karena pengakuannya yang jujur, tapi memang sering kita alami: “Sering kali seorang CEO, termasuk saya sendiri, berhadapan dengan perubahan setelah dia sudah berada di ambang pintu. Situasi seperti ini mungkin dapat diatasi, tetapi hasilnya pasti bukan sebagai suatu potensi ataupun kegunaan.”

Robby memang selalu bicara to the point.

Perubahan, bagi sebagian kita, adalah sesuatu yang menakutkan. Namun, manakala kita berhasil mengendalikan rasa ketakutan itu, perubahan menjadi energi yang luar biasa untuk membuat kita bangkit kembali.  Namun manakala kita kalah, maka betapa bisingnya suara di luar.  Apalagi bila anda melakukan perubahan pada lembaga yang ada hubungannya dengan negara, milik negara atau milik pemerintah daerah.  Anda akan menyaksikan banyak “peluru nyasar” yang tidak jelas hendak ditembak kemana.  Perhatikan saja betapa “bisingnya” keributan di seputar Bank BJB yang muncul justru pada saat pemungutan suara.  Itupun bisa jadi ajang perpecahan sesama aktivis yang mulanya sama-sama mau memberantas korupsi.  Ada peluru yang ditujukan pada salah satu kandidat, meski informasi awalnya mungkin berasal dari orang dalam yang ditujukan pada salah satu calon direksi yang jabatannya diinginkan orang lain. Lalu ada lagi peluru yang disasarkan kepada CEO.  Penembak yang lihay ternyata juga tak bisa menembakkan peluru ke sasaran yang tepat karena  begitu masuk ke ranah politik, masing-masing pihak punya kepentingan yang berbeda dan sulit dikendalikan. Akhirnya tsunami terjadi betulan, bukan hanya change maker yang terlibat, melainkan juga lembaganya akan sulit dibangun kembali.

Belajar dari berbagai perubahan yang dilakukan di sejumlah lembaga publik maupun BUMN besar yang rumit,  kemudian mengingatkan saya pada sosok panglima perang yang terkenal dalam sejarah Islam, Thariq bin Ziyad.  Kisahnya kurang lebih begini.

Thariq  yang lahir  sekitar tahun 670 Masehi dibesarkan kabilah Nafazah di Afrika Utara.  Perawakannya tinggi, keningnya lebar dan kulitnya putih kemerahan. Thariq adalah murid seorang komandan perang di Afrika Utara yang dikagumi karena kegagahannya, kebijaksanaannya dan terutama keberaniannya.

Suatu ketika seorang pangeran Spanyol, Julian, meminta bantuan pembimbingnya untuk menaklukkan Raja Roderick yang berkuasa di Spanyol. Lalu, Thariq diutus  untuk mengintai kekuatan bangsa Visigoth dan menjajaki kemungkinan pengiriman pasukan dalam jumlah besar.

Akhirnya, waktunya pun tiba. Ketika Raja Rodercik sedang sibuk menghadapi pemberontakan di kawasan utara kerajaannya, Thariq datang dengan  7.000-an prajuritnya untuk menyerbu Spanyol. Pengiriman pasukan dilakukan melalui laut. Pasukan ini mendarat di dekat gunung batu besar yang kelak dinamai Jabal (gunung) Thariq. Orang-orang Eropa menyebutnya Gilbraltar.

Ketika sampai di Spanyol, Thariq mengambil keputusan yang sangat mengejutkan seluruh prajuritnya dan dikenang sebagai langkah fenomenal hingga saat ini. Ia membakar semua perahu yang digunakan untuk mengangkut para prajuritnya. Para prajuritnya tentu saja terperangah. Kaget, dan sebagian bahkan marah.

Setelah membakar semua perahu, Thariq berdiri di hadapan prajuritnya dan berkata, “Di mana jalan pulang? Laut ada di belakang kalian. Musuh ada di depan kalian. Mereka sudah siaga. Sementara, kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, tidak ada makanan kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian.”

Dalam ilmu manajemen, apa yang dilakukan Thariq dikenal dengan istilah the burning platform. Dan, itu pulalah yang dilakukan para change maker yang piawai kala  dipercaya memimpin Transformasi.  Kebanyakan pemimpin mau tak mau harus menciptakan kondisi yang membuat semua orang tidak punya pilihan lain, tidak bisa mundur lagi, sama seperti yang Thariq lakukan. Kalau mau bertahan hidup, Thariq dan para prajuritnya hanya punya satu pilihan, yakni maju terus.

Begitu pula yang terjadi dengan kebanyakan perusahaan milik negara yang sarat politisasi. Kalau para karyawannya ingin bertahan hidup, maka mereka harus maju membenahi bersama. Hanya itu pilihannya.  Masalahnya, apakah para aktivis  kebijakan publik mengerti bahwa mereka bisa dipakai kaum resisten untuk menaburkan peluru amarah  mereka yang sedang  kehilangan muka?  Pilihannya hanya dua: bersekutu dengan the losers yang resisten, atau memperkuat the winners agar menghasilkan transformasi yang berujung kebaikan.  Atau mungkin mereka berpikir ada opsi ketiga yang kita tak pernah tahu apa itu. Kala keributan menjadi mahal, maka semua ada ongkosnya, dan tentu saja ada tukang catutnya.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Bahasa Kamera Cinta Laura – JawaPos, 25 Februari 2013

Tanpa kamera, selebritas akan berpakaian sama seperti Anda: tanpa make up, rambut palsu,  pakaian ciri “khas”, dan tentu tanpa gaya bicara mereka yang biasa Anda lihat di layar kaca.

Saat Barack Obama berkunjung ke Indonesia, sejumlah orang membandingkan bahasa Indonesia yang ia ucapkan dengan bahasa Indonesia selebritas remaja Cinta Laura. Di situs berita inilah.com (10 November 2010) saya menemukan komentar yang dikutip dari pengguna twiter:

“Mendengar Obama bisa bahasa Indonesia membuat saya makin benci sama Cinta Laura,” tulis akun Twitter Syzdasyz. Yang lainnya membuat lelucon jika Cinta Laura menjadi Obama. Mungkin Cinta Laura akan bilang ‘Bhineyka Cunggal Ikya’,  tulis Nurri . “Bahasa Indonesia Obama tidak berlebihan tetapi kok Cinta Laura berlebihan sekali ya?” tanya Eliazer.

Namun benarkah Cinta Laura tidak mampu mengucapkan kata-kata dalam lafal bahasa Indonesia yang baik? Cara bicaranya yang unik ini bahkan menjadi pembahasan di salah satu blog, yaitu: http://jerryhadiprojo.wordpress.com/2008/02/21/analisis-perilaku-dan-perkataan-cinta-laura/.

Dalam film layar lebar ternyata Cinta Laura bisa berbicara dalam bahasa Indonesia yang normal.  Coba buka potongan film pada link di situs YouTube.com berikut ini (Cinderella Rp 156, Part 4/6),   September 30, 2007:

http://www.youtube.com/watchv=8S7RRYRbDac&feature=youtube_gdata_playerSeorang kameramen televisi  melaporkan, dalam percakapan biasa Cinta Laura ternyata juga berbicara dalam lafal bahasa biasa, normal-normal saja. Ia baru berubah saat kamera infotainment menyalakan lampu-lampu sorot dan bertanya kepadanya.

Saat mendiskusikan topik Camera Branding, seorang follower saya (@Rhenald_Kasali) di Twitter,  menulis begini:

“Prof @Rhenald_Kasali saya pernah mkn, meja samping saya CinLau w/ her fam. Bicaranya biasa kok, wlo sskli ngmg Jerman ke bpknya & English”

 

Hidden Camera

Demikianlah akting manusia dalam peradapan kamera.  Saya yakin akting bukan hanya ada di kalangan artis.  Tanpa kehadiran kamera di ruang parlemen, saya kira anggota-anggota perlemen yang terhormat tidak akan ber-“akting” seperti layaknya pemain sinetron. Mereka tidak akan saling menunjuk jari, mengepalkan tangan, menggebrak-gebrak meja, atau menuding-nuding tidak santun. Buktinya, selesai sidang mereka bisa dengan mudah berangkulan dan menyatakan, “Kami tak ada masalah kok!” Dan saat tertangkap tangan oleh KPK, publik terkejut: mereka yang berseteru di layar kaca saat sidang berlangsung ternyata bersahabat dalam menggarap proyek-proyek tertentu.

Demikian pula saya yakin Hotman Paris dan Ruhut Sitompul tak akan berbicara seperti tengah berkelahi.  Sama seperti Anda, ketika berfoto Anda yang jarang tersenyum bisa menjadi sumringah dan anak-anak Alay menjadi tampak gembira bergaya, sementara direksi yang tengah difoto untuk company profile menegakkan dagunya agar tampak berwibawa.

Inilah dunia yang serba salah. Tak ada kamera orang bisa memeras tanpa alat bukti, uang negara dikuras koruptor dan kejahatan sulit diungkap. Tapi bila ada kamera manusia langsung berakting. Maka tak heran kalau manusia umumnya lebih percaya pada hidden kamera. 

Sosiolog  Erving Goffman mencatat kehidupan ini tak ubahnya  “a never-ending play” yang menjadikan semua orang pemain sandiwara dengan berbagai peran.  Ia membedakan panggung depan  dengan panggung belakang.  Namun manusia modern senang menghabiskan waktu sehari-hari di panggung depan, menampilkan kemampuan dan peran secara terbuka: Perayaan perkawinan, memberi penjelasan, memimpin, mengajar, mengemudi, melayani dan seterusnya. Tetapi siapa yang tidak letih terus menerus berada di panggung depan?  Goffman menyarankan agar pemain panggung sedia keluar secara berkala, kembali ke belakang panggung  menjalani kehidupan normal.

“In these private areas, we don’t have to act. We can be our real selves. We can also practice and prepare for our return to the front stage” – Erving Goffman.

Bila ini diteruskan, manusia yang ber-acting terus menerus, dapat menjadi aktor yang manipulatif, memanipulasi orang lain untuk kepentingan pibadi.  Inilah yang disebutnya sebagai Impression Management.

Coba buka video rekaman video Wakil Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat memimpin  rapat resmi dengan kepala dinas PU-Pemprov DKI.  Di situ ia terkesan marah-marah saat  menuntut agar biaya pembangunan infrastruktur dipangkas 30%.

Namun di lain kesempatan, juga di Youtube.com kita membaca  bahwa dirinya tidak benar-benar marah ketika itu. Menganalisis kedua video yang berbeda kesan ini mungkin Anda akan bingung.  Tetapi Inilah peradapan kamera dan peradapan advanced dramaturgy.  Semua pemimpin hanyalah ber-acting saat berada di panggung depan. Dalam studi tentang camera branding yang saya lakukan, kami banyak menemukan bahwa kamera telah banyak digunakan untuk membentuk personal dan corporate brand.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Susi Air – JawaPos, 18 Februari 2013

Jeffri Van Novis bukan orang Belanda, melainkan asli Minang. Di Pasar Aur Bukittinggi, Jeffri berjualan celana dalam perempuan, mereknya Bonita, tetapi jangan salah, manusia tak bisa dinilai dari apa yang dikerjakan hari ini, melainkan apa yang dipikirkannya. Uang bokek, dagangan kecil, lokasi terpencil bukan ukuran kebesaran. Apa yang dipikirkan Jeffri adalah mendirikan perusahaan aviasi: Bonita Air.

Sudah jadi? Belumlah. Jeffri baru hijrah ke Jakarta 2 tahun ini, membuka outlet tiket pesawat  terbang di pasar Tanah Abang. Tetapi saat saya Tanya, ia selalu menjawab: masih menjadi passion saya.  Jeffri sedang mengumpulkan daya, tenaga dan modal untuk mewujudkan impiannya.  Ia masih jungkir balik, berbeda dengan rekan-rekannya yang langsung kaya dengan usaha kuliner yang mudah dibangun.

Hari Jumat kemarin saya mengunjungi kantor Susi Air di Pangandaran, menikmati terbang bersama pesawat-pesawat carter milik ibu Susi Pudjiastuti. Dari bandara Halim ke Pangandaran, lalu terbang memakai pesawat Caravan mendarat di lapangan rumput, beach strip, persis di tepi pantai. Apa bedanya Susi dengan Jeffri? Yang jelas usianya. Yang satu duakali dari yang lain. Persamaannya? Keduanya sama-sama memulai dari pasar. Susi dulu adalah bakul ikan yang membeli ikan-ikan basah dari nelayan di pasar Cilacap.  Dengan menyewa truk ia berhenti di Cirebon, lalu membawa ikan basah ke Jakarta. Hidupnya keras, tetapi cerdas.

Bersusah-susah Dulu

Di Banyuwangi juga ada seorang ibu, namanya Liza Lundin, asli Banyuwangi. Juga pengusaha, hanya saja bidangnya kapal-kapal laut tempur berteknologi tinggi berbahan komposit. Susi dan Liza sama-sama hebat. Susi menikah dengan seorang Captain, ex. Pilot PTDI, berkebangsaan Swiss, sedangkan Liza menikah dengan pria Swedia.

Semua yang besar berawal dari yang kecil-kecil, dari tepi-tepi pasar atau medan “berkeringat” dengan spirit kewirausahaan yang tebal dan berani menjadi besar. Ya, besar itu berkaitan dengan teknologi, manajemen, team ahli, pengetahuan, dan tentu saja modal. Bedanya dengan para pengeluh, mereka tak pernah marah-marah saat kekurangan modal atau ditolak bank. Mereka selalu memperbaiki “kepercayaan” dengan kerja keras.  Yang besar adalah tekad dan pikiran mereka, bukan uang.

Susi Air memulai dari ikan basah. Dari situ ia punya mental menerobos yang tak kalah dengan kaum lelaki. Ia menjadi pandai mengolah ikan, bahkan membuka restoran yang bersih dan enak di Pangandaran. Ia mengerti betul, ikan bernilai tambah tinggi bukanlah ikan asin atau ikan mati, melainkan ikan hidup. Ikan hidup hanya bisa diperdagangkan kalau ada pesawat dari kantong-kantong nelayan ke pasar tujuan. Itulah awalnya ia menaruh perhatian pada pesawat.  Bukan pesawat penumpang, tetapi yang bisa angkut ikan hidup.

Pepatah mengatakan “Kecerdasan dari pengetahuan baru berupa potensi belaka. Ia baru menjadi kekuatan bila keduanya bertemu dengan pintunya”. Susi membuka pintu restoran karena senang memasak. Di situ ia bertemu orang yang kelak menjadi mitra usahanya. Ia mendatangi Bank, mengetuk pintu  mereka selama 4 tahun. Namun begitu kredit cair, niatnya mengangkut ikan dari Aceh berubah saat Aceh dilanda gelombang Tsunami. Bersama suaminya mereka menggunakan pesawat yang baru didapat kredit perbankannya itu untuk kegiatan humanitarian di Aceh.

Di luar dugaan, saat misinya selesai di Aceh, LSM-LSM Internasional justru meminta agar pesawatnya bisa dicarter. Sebuah pintu dibuka, pintu-pintu lainnya pun terbuka. Dari humanitarian effort dan dari angkutan ikan menjadi armada carter yang bagasinya bisa diisi lobster hidup. Dari 1 pesawat, menjadi 2, kini menjadi 45, justru di saat Adam Air bangkrut, Batavia Air dipailitkan, atau bahkan saat SQ menghentikan direct flight (nonstop services) Singapore-New York yang merugi (Oktober 2012). Belajar dari Susi, Liza dan Jeffri saya hanya ingin mengatakan, usaha itu ada tahapannya, dan setiap pertemuan selalu memberikan input untuk digeluti. Anda tak akan pernah tahu ke mana muara ini akan berakhir, tetapi tahu semua  langkah pasti ada muaranya.

Entrepreneur muda harus bisa lebih gigih membanting diri di bawah, jangan cepat-cepat membeli kemewahan padahal usaha masih sekedar gerobak di kaki lima yang di franchise kan. Lebih beranilah untuk ber-evolusi menjadi besar, berani memulai usaha yang banyak menyita pikiran dan pengetahuan, dan berani membuka pintu. Itu yang saya pelajari dari Jeffri, Susi dan Liza. Siapa takut?

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Generasi VUCA – Sindo, 14 Februari 2013

Pernahkah anda memperhatikan gaya berfoto antar generasi? Kemarin (13/2 2012) di PT Indocement, dalam forum Generation Gap, direktur SDM dan pengembangan usaha Wijaya Karya, Tony Warsono menunjukkan 2 buah foto. Foto pertama adalah generasi “telepon pintar” yang lahir pasca 1980-an dan direkrut perusahaan setelah 2006. Foto kedua adalah kumpulan para senior yang direkrut jauh sebelum krisisi moneter 1997. Sebut saja generasi telepon.  Ya, teleponnya telepon rumah, just a telephone.  Atau kadang juga disebut generasi komputer, atau Gen X.  Lahir setelah tahun 1960-an.

Generasi telepon pintar saat diminta bergaya bebas terlihat sangat ekspresif, lepas, riang dan benar benar bergaya bebas dengan gerakan tangan, mulut, dan badan yang “merdeka”. Sebaliknya, saat diminta bergaya bebas, generasi telepon ternyata benar benar jadul. Kaku, tidak ekspresif, dengan gerakan tangan yang terbatas.  Paling-paling cuma sekedar angkat jempol.  Entah karena umur, agak jaim, atau memang sejak sekolah dibelenggu oleh banyak aturan yang menyebabkan menjadi generasi pasif yang menunggu, tak banyak pilihan dan menghadapi banyak resiko.  Beda benar dengan generasi telepon pintar yang dibesarkan dalam iklim demokrasi yang lepas, banyak pilihan, penuh keberanian dan kebebasan.

Lantas apa hubungannya antara gaya berfoto dengan produktifitas kerja? Benarkah beda generasi telah menjadi sebuah masalah bagi bangsa ini?

 

Empat Generasi

Di harian Kompas, Minggu lalu saya menjelaskan adanya 4 generasi yang menjelaskan mengapa kurikulum baru disambut dengan berbagai pandangan. Adalah keyakinan saya, jurang antar generasi tak dipahami oleh para pemikir pendidikan. Keempat generasi itu adalah generasi kertas-pensil (lahir sebelum 1960), generasi telepon/komputer (lahir 1960-1970), generasi internet (lahir 1970-1980), dan generasi ponsel pintar (lahir setelah 1980). Tentu saja selain masalah beda generasi, kita juga membedakan mana pandangan orang yang mengerti masalah, yang senang melihat masalah, dan mana yang ingin mengatasi masalah.

Sebuah gap yang dulu terjadi tanpa perbedaan yang jelas, sekarang justru menjadi masalah besar. Anda mungkin masih ingat, ketika apa yang dimainkan di rumah sama dengan yang dimainkan di sekolah. Misalnya saja mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali, juga menjadi mainan di sekolah.  Anak- anak perempuan bermain boneka dengan dakocan yang kulitnya hitam gelap atau boneka barbie di rumah, juga di sekolah.

Masa emas itu kini telah berlalu. Apa yang mereka mainkan di rumah (video dan electronic games) kini tak boleh lagi dibawa ke sekolah. Oleh generasi kertas-pensil dan generasi telepon, video game dianggap kurang mendidik. Jangankan video games, kalkulator saja adalah pembodohan, sedangkan sekolah internasional yang berbahasa Inggris, dinilai melanggar Sumpah Pemuda.

Begitulah generasi tua mendidik anak-anaknya. Selalu melihat dari kaca mata generasinya. Bagi generasi tua, “Indonesia itu gemah ripah loh jinawi,” negri kaya raya, tetapi “feelingnya” adalah sebuah tragedi kemiskinan. Bagi mereka, penduduk Indonesia masih miskin sehingga wajar dikasihani, diberi listrik yang murah, bensin subsidi, sekolah gratis. Sedangkan bagi generasi muda, Indonesia adalah sebaliknya. Alamnya sudah habis dikuras dan dikorupsi. Hutannya sudah gundul. Tanahnya sudah dikorek habis.  Bagi generasi ponsel pintar, Indonesia adalah negri dengan jumlah orang kaya yang fantastis. Alamnya miskin, tetapi orangnya kaya-kaya.  Jadilah generasi yang bingung: diberi subsidi oleh negara tetapi malah dipakai buat foya-foya,  sedangkan yang dari swasta, kalau semakin mahal, semakin diburu.  Tak bisa sekolah internasional di sini, ya pindah ke luar negri.  Guru bilang A, murid melakukan B.  Sekolah mengutamakan angka nilai dan otak kiri, tetapi mereka mengembangkan ketrampilan lapangan dan otak kanan.

                  Gap ini bukan lah ilusi. Tetapi terjadi sungguhan. Seperti anda ketika ditanya orang tua “apa cita-cita mu kelak ke depan nak?” Maka jawabannya adalah nama-nama fakultas seperti dokter, ekonomi, psikologi, lawyer, sastrawan atau seniman. Semuanya ada fakultasnya. Tetapi bila hal serupa anda tanyakan pada anak-anak sekarang maka anda akan terbengong-bengong sebab mayoritas keinginan mereka tidak atau belum ada nama fakultasnya disini. Ada yang mau jadi sutradara film, fashion desainer, pelukis, fotografer, perancang pesawat perbang, pembuat robot ruang angkasa, atau bahkan juru masak, social entrepreneur, atau artpreneur.

 

Kegelisahan Ahok

Ahok, wakil gubernur DKI, bukanlah generasi kertas, ia dilahirkan pada tahun 1966, jadi ketika ia dewasa ia merasakan nikmatnya komputer, lalu memakai internet belakangan. Tetapi Ahok gamang saat melihat pegawai-pegawai nya yang masih muda (mungkin generasi ponsel pintar) justru membuat notulensi dengan pensil (bolpoin) dan kertas, bukan langsung menulis di laptop. Ahok pantas berang, sebab setiap tahun pegawai-pegawai itu mengajukan permintaan anggaran untuk membeli laptop.

Laptop di depan meja, tetapi tulisnya tetap saja di kertas. Ini benar-benar pemborosan. Tetapi para eksekutif yang menjadi mentor untuk menjembatani  generation gap mengajukan usul lebih jauh dari Ahok. “Jangan suruh orang lain menjadi notulis. Kita saja, pemimpin, harus bisa langsung menulis report di depan mata, di komputer, yang langsung bisa di share melalui internal media,” Inilah yang disampaikan oleh sejumlah eksekutif. Memang ini merepotkan. Bagi saya saja repot, apalagi bagi kita yang sudah biasa dilayani.

Kegelisahan Ahok harusnya tidak boleh sekedar menjadi tontonan di Youtube atau TV saja, melainkan juga signal bagi kita semua.  Apa yang dialami Ahok adalah realita generation gap yang diakibatkan oleh pembekuan yang dilakukan hampir semua lembaga dan badan pemerintah di era krisis moneter.  Bukan main, 7-8 tahun freezing merekrut pegawai antara  1997-2006, bahkan beberapa lembaga birokrasi melakukan zero growth berkali- kali.  Di banyak perusahaan, bahkan bukan Cuma freezing, melainkan juga PHK.  Maklum SDM ada dalam komponen biaya.  Apa akibatnya?  Kumpulan orang tua menguasai lembaga. Kalau saya lihat, pegawai yang dimarahi Ahok itu rasanya dari wajahnya berkisar masuk pada Generasi Telepon Pintar.  Tetapi mengapa ia tak memakai laptop langsung?  Pengalaman saya menemukan, dalam konteks generation gap, kaum muda yang dinamis akan menjadi sama dengan seniornya, terbelenggu dan tak ada bimbingan untuk menegakkan aura generasinya yang memberikan kekuatan kreativitas dan teknologi yang besar.

 

Jadi generasi muda di banyak lembaga dan dunia usaha kita porsinya sudah tinggal sedikit, sedangkan generasi tua begitu banyak.  Sudah banyak, mereka menguasai pangkat teratas.  Itulah yang disebut band Slank sebagai feodalisme.  Salah satu baik lirik lagu itu berbunyi begini:

“Salah ngga salah, sama atasan selalu diturutin.

Maunya seumur hidup minta-minta dihormatin…..

……

Benar-ngga benar yang lebih tua

Sudah pasti benar

Suruh menyuruh, larang melarang

Dia-dia yang paling benar….”

Jadi, sekarang jelas mengapa reformasi birokrasi susah,  biaya perjalanan dinas terus membengkak kendati peningkatan kesejahteraan PNS tidak terjadi, atau kendati rapat pakai BB Group, Skype, Kakao atau pakai Line saja sudah cukup.  Juga mengapa protokoler dimana-mana dominan. Kalau sudah begitu, bagaimana kita mau memperbaiki pelayanan dan kecepatan?  Bagaimana perusahaan lokal mau mendapatkan kualitas SDM kaum muda yang lebih bagus? Tahun ini ribuan perusahaan asing berdatangan ke sini bersiap-siap menyambut pasar bersama Asean 2 tahun lagi.  Rebutan tallent sudah pasti.  Sedangkan para manager dari negara yang tak terbelenggu feodalisme, selain atasan berani turun langsung ke bawah, bahkan melakukan wawancara di bursa-bursa tenaga kerja, memutuskan dengan cepat sendiri ke bawah. Kala feodalisme merajalela, atasanlah sasaran pelayanan, mereka sulit turun ke bawah. Dan pantaslah produktivitas terganggu.

Potensi besar generasi baru itu perlu didampingi oleh mentor-mentor hebat, karena mereka punya kekuatan menembus batas yang mengalahkan kekuatan generasi di atasnya.  Mereka kini disebut juga sebagai generasi VUCA, yang dibesarkan dalam lingkungan yang Volatile, Uncertain, Complex dan Ambiguous. Artinya, mereka generasi tahan banting dan adaptif ditempa dalam pergulatan yang cair dan tidak pasti tapi punya kemembalan, daya penetrasi yang kuat dan lincah bergerak.

Jadi bagaimana sistem pendidikan yang dikomentari kaum tua yang kolot yang masih berpikir hanya dirinya yang benar? Bagaimana reformasi birokrasi?  Bagaimana meremajakan partai-partai politik dan sekaligus meluruskan makna subsidi dan sosial?  Semua hanya bisa dilakukan kalau jembatan antara generasi segera dibangun.  Yang tua sadar untuk memberi ruang bagi kaum muda untuk maju, yang muda tetap respek, tapi yang jelas negri ini butuh manusia yang kaya perspektif. Bukan orang yang merasa paling benar, padahal ada kacamata kuda di wajahnya.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Cameragenic dan Auragenic – Jawa Pos, 11 Februari 2013

Tak dapat dipungkiri bahwa televisi telah menjadi aktor penting yang mengubah peradaban manusia Indonesia 20 tahun terakhir ini. Harus diakui bahwa bangsa ini belajar demokrasi versi tv, ketimbang versi akademis.  Melalui televisi pula, manusia Indonesia melompat ke peradapan modern, mulai dari kartu kredit, ATM, sepeda motor sampai pulsa telefon. Dan, harus diakui sejarah pembentukan brand tidak pernah luput dari televisi. Seseorang yang belum tampil dan menjadi perhatian publik di televisi, belum menjadi “brand“. Demikian pula dengan hasil-hasil karya kewirausahaan, belum menjadi “brand“-kendati sudah mempunyai logo. Namun tampil ditivi, tanpa aura positif dan content yang kuat, hanya akan menjadi gunjingan.

Dalam buku Camera Branding, saya menyinggung pula kehadiran brand kuat yang tak bisa lepas dari person tertentu.  Siapa misalnya yang bisa memisahkan Microsoft dari Bill Gates, atau Apple dari Steve Jobs.  Atau siapa yang bisa memisahkan Maspion dari Alim Markus, Mustika Ratu dari Moryati Soedibyo, Garuda Indonesia dari Emirsyah Satar, dan seterusnya.  Peradapan social tv tidak hanya menyuarakan product atau corporate branding, melainkan juga personal branding.

Indonesia memiliki banyak ekonom, tetapi mengapa yang branded hanya dua-tiga nama.  Demikian pula fisikawan,  sejarawan, sosiolog, psikolog, lawyer, bahkan ustaz, ulama, ahli tafsir dan seterusnya.  Jutaan anak muda di seluruh dunia saat ini bukan lagi sekedar bekerja atau berwirausaha, melainkan membangun brand.  Mereka tak mau lagi diperbudak oleh perangkap “komoditi” seperti yang dihadapi Negara-negara berkembang yang produk buatannya hanya dihargai $1-$10, sementara barang yang sama yang dibangun brand-nya bisa dihargai 4 hingga 50 kali lipat.  Dalam Camera Branding, ada dua kekuatan yang harus dibangun yaitu cameragenic dan auragenic.

Cameragenic

Karena gambar ditangkap dengan mata oleh pemirsa televisi di rumah, maka setiap objek yang tampil di televisi harus atraktif. Atractiveness akan menentukan apakah pemirsa ingin terus melihat atau cepat merasa bosan. Pemilihan warna, penampilan yang tidak membosankan, setting panggung yang menarik dan cara berpakaian yang tidak berlebihan, serasi harus menjadi perhatian.  Bila cameragenic mengesankan atraktif secara fisik dengan tingkat familiritas yang memadai (berkali-kali ditampilkan dengan beberapa penyegaran), maka satu hal yang sering dilupakan generasi muda saat ini adalah auragenic.

Auragenic

Auragenic adalah ‘apa yang dirasakan” pemirsa. Auragenic tidak bisa didapat dari objek yang diam. Karena televisi mendeteksi gerakan, maka ia menciptakan interaksi. Dalam interaksi itu dibentuk rasa, apakah orang lain merasa nyaman atau tidak dengan kehadiran diri atau produk anda. Aura adalah sesuatu yang keluar dari interaksi itu.

Apa saja sumbernya?

Aura bersumber dari sifat yang dibawa oleh seseorang. Bila seseorang berpandangan dan berperilaku negative, maka ia dapat menimbulkan aura negative. Demikian pula sebaliknya. Jadi pertama-tama adalah aura yang berasal dari pikiran seseorang, yang dikendalikan atau tidak. Orang-orang yang memiliki auragenic biasanya menekan sikap-sikap negatif yang ada pada dirinya: merasa diperlakukan tidak adil, menyimpan dendam, tidak terpilih, rasa dikalahkan, iri hati, arogansi, menuntut perhatian berlebihan, dan seterusnya.

Dari sikap seseorang pulalah sebuah naskah iklan dihasilkan. Orang-orang beraura negatif akan menghasilkan iklan-iklan yang provokatif, yang menganggap dirinya atau produknya lebih baik, namun menimbulkan antipati publik. Dan produk yang demikian hanya akan diterima oleh orang-orang dengan aura yang sama.

     Auragenic juga terwujud dari reaksi seseorang terhadap ucapan-ucapan orang yang ada disekitarnya. Apakah dari host, nara sumber lainnya, atau telepon yang masuk. Ini akan tampak dalam bagaimana seseorang merespons pertanyaan, komentar melalui ucapan, intonasi, getaran tangan, atau bahasa tubuh lainnya. Seseorang yang secara atraktif belum tentu memiliki auragenic yang kuat, demikian pula sebaliknya.

Melatih aura harus dimulai dari pikiran yang jernih, objektif yang jelas dan bersih, self awareness yang kuat serta self confidence yang memadai.

Baik cameragenic maupun auragenic bisa dipelajari dengan memperhatikan bagaimana para aktor menguasai seni peran. Belajarlah dari tokoh-tokoh yang disukai dan jauhkanlah televisi atau layar tweeter anda dari pesan-pesan orang yang memiliki luka batin, sebab aura negatif mereka akan ikut membentuk anda.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan