Badut dalam Opera Perubahan – Sindo, 18 April 2013

Di atas panggung di sebuah gedung opera cerita rakyat di Beijing, seorang pria tampak sibuk bersolek. Rekan saya dari Universitas Renmin berbisik, “Dia itu badutnya, bukan guru yang menjadi inti cerita.” Namanya Habei. Wajahnya murung. Tetapi begitu kamera mengarah kepadanya, ia terlihat riang dan mulai melucu.  Rekan saya yang lain, profesor dari Universitas Dublin yang keturunan Irlandia berujar serius: Impresif! Tetapi anehnya ia sama sekali tidak tertawa.

Padahal batin Habei penuh luka, bisik rekan saya lagi. Menurut plot cerita, Habei datang ke kota dengan impian menjadi orang terpandang. Di sana, Ia diterima di sebuah sekolah guru. Meski bukan angan-angannya, Habei tak pula membanting setir. Tak  cukup nyalinya untuk bertarung mengejar ilmu yang lebih menantang. Karena terikat kontrak, begitu lulus,  Habei kena wajib mengajar. Namun ia tak senang dengan upah rendah sebagai abdi negara.

Setelah itu ia diterima mengajar di sebuah sekolah internasional. Tapi karena tak sepenuh hati, Habei diberhentikan. Kinerja mengajarnya buruk. Maka jadilah Habei pemain opera. Ia diterima menjadi badut karena itulah satu-satunya pilihan yang tersedia. Lagi pula kata-katanya sinis, sulit dijadikan manajer. Tetapi siang hari ia bisa menyambi menjadi makelar atau konsultan paruh waktu untuk lembaga-lembaga donor.

Kata rekan saya, Habei ini hanya berani melucu kalau wajah aslinya ditutupi bedak.  Di dunia riil nya, Habei adalah pendiam dan penakut.

Setiap malam ia kebagian peran pembuka selama lima menit.  Bersolek menghias muka dengan pupur dan bedak aneka warna. Berceloteh sejenak tentang pendidikan, lalu menghilang. Lalu munculah cerita yang ditunggu-tunggu tentang guru, mirip Laskar Pelangi. Namun karena ceritanya menarik, nama Habei ikut terangkat. Ia juga suka memberi komentar di media jejaring sosial China: http://www.weibo.com/. Bahasanya khas: sinis, negatif, dan terkesan ada luka besar dalam jiwa yang berasal dari kisah hidupnya yang tak sesuai dengan impiannya. Dalam literatur pendidikan, diketahui orang-orang yang sinis memiliki otak bagian depan yang mengerucut yang sebenarnya mencerminkan ketidakcerdasannya menafsirkan konteks.

 

Jaringan atau Kemitraan

Habei tidak hadir seperti badut dalam opera “I Pagliacci”  yang pernah populer di Italia di awal abad 20. Ia hanya hadir sesaat untuk memberi warna seadanya. Sedangkan dalam “I Pagliacci”  yang digemari di Barat, badut tampil dengan peran yang dominan yang justru menjadi inti opera. Perbandingan itu menjadi asyik karena menjadi bahan diskusi sejumlah guru besar yang datang atas undangan Renmin University yang dikenal sangat berpengaruh di China dan menjadi motor pembaru ekonomi China dalam 20 tahun belakangan ini.

Renmin sejak awal aktif bersama MMUI dan Yale School of Management mengembangkan jejaring perubahan untuk memperbarui kurikulum pendidikan calon pemimpin. Di dalam jaringan ini juga terdapat Seoul National University, NUS -Singapore, INSEAD, London School of Economics, Hitotsubashi University (Jepang),  IE Madrid, dan 15 kampus  lainnya.  Berbeda dengan metode Kemitraan yang sudah berlangsung bertahun-tahun, kami lebih percaya pada bentuk jaringan.  Maka, kelompok ini menamakan dirinya GNAM: Global Network for Advanced Management.

Karena berbentuk jaringan, maka aturannya dibuat bersama-sama, tidak ada aktor yang dominan meski negaranya lebih maju dan kampusnya memiliki reputasi dunia yang jauh lebih tinggi. Begitu diterima di MMUI misalnya, setahun kemudian mahasiswa kami berhak kuliah bareng para eksekutif global di Yale yang kalau ikut proses seleksi sendiri bukan main sulit dan mahalnya.

Melalui jejaring itu pula mahasiswa Yale berduyun-duyun datang ke Jakarta mendengarkan kuliah di MMUI.  Kami mengembangkan immersion week yang kuliahnya bergilir di beberapa negara.  Metode belajar memang telah jauh berubah yang menuntut anak-anak Indonesia lebih bersikap terbuka, lebih elaboratif dan assertive, bahkan lebih percaya diri.

Sejak awal kami sepakat bahwa model jaringan lebih baik daripada kemitraan asalkan semua pemimpin yang datang berpikir terbuka, aktif berpartisipasi dan berkontribusi, saling timbal balik, segala urusan dibuat simpel dan kurangi birokrasi.  Jaringan ini dengan cepat menjadi contoh dalam model pengembangan sarjana yang berwawasan global, meski ia hanya datang dari negeri yang tak diperhitungkan.

Namun semakin digali, ada rasa was-was melihat bagaimana pendidikan dasar berlangsung di sini. Pendidikan dasar itu adalah fondasi yang menentukan lahirnya lulusan-lulusan terbaik universitas. Mereka adalah calon pemimpin yang kelak menjadi harapan bangsa. Di seluruh dunia, bangsa-bangsa besar sudah tuntas memperbarui diri, sementara kita masih ribut tiada henti. Mereka semua berani bereksperimen, mengalami kegagalan, lalu meremajakan diri dengan cepat.

Sementara di sini, bisingnya minta ampun. Semua orang menginginkan kesempurnaan dalam sekejab, tetapi begitu ada yang berani melakukan hal yang baru, langsung dipertanyakan.

Para pembaru pendidikan itu telah  berupaya keras melahirkan sarjana-sarjana unggul yang siap ditempatkan dimana saja. Ketika sebuah ide muncul, mereka berebut menjadi role model dengan membuat contoh, sedangkan di sini semua orang berebut membuat organisasi untuk menyuarakan opini dan mencari proyek.  Perubahan sulit sekali digulirkan karena miskin role model dan lebih banyak “badut” yang berebut panggung ketimbang guru yang benar-benar menjalankan apa yang ia ucapkan.

Namun benarkah sebuah transformasi bisa berlangsung mulus tanpa ujian?  Semua sahabat saya yang berkumpul dalam Dean’s Conference mengenai jaringan ini di Beijing hari Senin-Rabu kemarin membantahnya. “Banyak kegagalan yang kami buat di tahap awal bahkan menjadi olok-olok di panggung Opera,” kata seorang dekan.  Yang lain mengatakan, “kegagalan itu bisa menjadi pelajaran, tetapi yang mengambil pelajaran keliru karena tak mau melewati fase itu.”

Mereka semua sepakat, masa-masa sulit harus rela dilewati, bukan hanya dijadikan wacana atau ancaman.  “Bahkan sebagus apapun sebuah model, Ia berpotensi gagal.  Bukan karena modelnya jelek,” ujar dekan lainnya.  Seorang eksekutif senior yang terlibat dalam proses pembaruan menambahkan, “sebagus apapun sebuah pembaruan, kalau semua orang hanya mampu melihat dunia baru dengan kacamata lama, yang muncul hanyalah keluhan dan kutukan.”

 

Badut dan Punakawan

Di TVRI, hari Selasa Kemarin. Dalang Sujiwo Tejo mengutarakan kegusarannya melihat ruwetnya masyarakat berpolemik.  Ia mengambil seperangkat wayang yang terdiri dari para Punakawan dan memainkan karakter keempatnya.  Ya seperti itulah masyarakat kita. Ada yang “membagongkan” diri (artinya ‘gemar membantah, asal ingin memberontak’ ), “berpetruk”  (‘yang meninggalkan’,  easy going) atau sedang “bergareng” (‘yang ingin berbeda’, mempertanyakan).  Ada yang asal omong, asal usul, bahkan asal jepret.

“Yang hilang itu sosok Semar. Semar itu berasal dari kata Samara, yang artinya ‘ghaib’.  Dialah sang moderator dari para Panakawan itu,” ujarnya.  Mendiang Gus Dur,  yang sesulit apapun selalu berani menghadapi ketiga karakter tadi, menurut Sujiwo adalah sosok Semar yang kini hilang.  Maka jangan heran, ada banyak perubahan mendasar yang terjadi di eranya meski gonjang-ganjingnya banyak, ujungnya pembaruan.

Lucunya, rekan-rekan saya dari universitas di Barat juga percaya bahwa dalam perubahan selalu saja ada sosok punakawan, atau bahkan badut yang berpura-pura menjadi pembaru. Di Barat, pembaruan diyakini hanya akan terjadi kalau hadir pemimpin dengan determinasi yang kuat. Bahkan sekuat Margareth Tatcher pun tak ada masalah.  Tetapi di Timur, banyak orang yang sulit menerima karakter yang keras.

Tetapi sekuat apapun kepemimpinan seorang pembuat perubahan, selalu ada yang memerankan badut dalam perubahan. Ia bisa menghibur, tapi juga bisa asal tampil.  Bisa lucu atau beranggapan dirinya lucu.  Yang jelas ia bukan pemeran utama.  Badut yang pintar punya fondasi ilmu yang kuat, sedangkan badut yang bodoh hanya menjadi alat bagi dalang untuk menghibur. Ia hanya tampil kalau dalangnya mengirim tanda.  Kalau dalangnya Semar ia bisa  ngawur-ngawuran tapi bermain cantik, lucu, dan muaranya adalah pembaruan. Artinya, nilai tambah bagi sebuah tontonan perubahan.

Tapi kalau dalangnya  Bagong atau Gareng, dan seseorang berperan “badut”, itu namanya supply ketemu demand. Persis seperti Habei yang membutuhkan pekerjaan sambil menyuarakan sinisme kehidupan yang dialami melalui kegelisahan yang ia anggap lucu. Ia hanya merasa dirinya lucu.  Ia merasa telah menjadi guru yang diperankan orang lain dan “hanya merasa” sebagai pembaru. Padahal ia hanya “badut” betulan saja, yang “terluka” dan masih perlu membuka pikirannya, memperbarui dirinya sebelum menolong bangsanya.

Semua orang punya pilihan: menjadi badut atau pembaru. Mendiang Margareth Tatcher yang hari ini dimakamkan mungkin tak akan dikenang sebagai pemimpin besar, kalau penulis naskah pidatonya lupa menyelipkan quotes dari Abraham Lincoln berikut ini dalam sambutan perdananya di tahun 1975: “You cannot strengthen the weak by weakening the strong”.  Sejak membaca quotes itu Thatcher berujar, “It goes wherever I go.”

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Marketing Asap – JawaPos, 15 April 2013

“Ibarat menjual sate, dagingnya tidak saya ambil, biarkan itu jadi pekerjaan utama Anda. Saya hanya minta asapnya saja,” begitu ucap seorang teman. “Asap Anda ini masih ada nilai jualnya,” lanjutnya. Kalimat itu lama tak saya pikirkan sampai munculnya banyak kasus yang melibatkan orang-orang tak dikenal, yang menjual nama-nama pejabat atau tokoh terkenal. Yang setelah ditelusuri seringkali tak ada hubungannya sama sekali antara “asap” dengan dagingnya.

Suami seorang diva yang menjadi pengusaha di negeri tetangga belum lama ini bertanya apakah saya mengenal nama yang ia sebutkan. Orang itu mengaku kenal baik, padahal tidak “kling” sama sekali dalam benak saya. Ia pun  menunjukkan sebuah foto,  pria berkacamata hitam tengah berdiri di samping saya yang diambil dari sebuah seminar.  Tetapi bagi orang yang tak tahu bisa saja dikesankan sebagai dua sahabat.  Dari raut muka pengusaha itu saya menangkap kesan, orang itu telah menjual “asap” saya untuk mengeruk suatu keuntungan.

Modal Penipuan

Dalam marketing, sebuah brand memang mempunyai kekuatan sihir yang luar biasa. Brand yang bagus bisa diperluas pada produk lain yang tak berhubungan, namun bisa berbahaya kalau asapnya lebih kuat dari dagingnya. Dan dalam “jurus cepat kaya” yang banyak digulirkan para penipu yang belakangan banyak menjadi motivator para penjual asap ini terbukti benar-benar kaya, namun tak banyak diberitakan mereka kini banyak diburu debt collector.

Ilmu “menjual asap” memang bukan barang baru.  Dulu, dengan jam terbang masih terbatas, saya pernah didatangi seorang anak muda yang menyampaikan, kerabatnya,  seorang pengusaha “butuh bantuan” karena usahanya tengah mengalami penurunan.  Karena saya menaruh hormat padanya, saya pun mengirim salam dan berniat membantu.  Kami pun bertemu dan sepakat membangun sebuah usaha baru, dan tentu saja orang yang mempertemukan itu mendapat saham kosong. Tetapi belakangan kami mengetahui, anak muda itu hanya ‘”menjual asap”. Kami berdua tak mengenal orang itu dan tidak sedang dalam kesulitan seperti yang ia sampaikan pada kedua belah pihak. Ia hanya mempertemukan dan mengambil manfaat dari keengganan kami melakukan konfirmasi.

Belajar dari kasus itu tidak sulit bagi saya menafsirkan kasus yang menimpa  sejumlah pimpinan.  Di Lapas Kelas Satu Tangerang saya bertemu Antasari Azhar yang bercerita bahwa di lapas itu ia bertemu sejumlah tahanan yang “mengaku” telah mengirim  uang kepadanya melalui seseorang agar perkaranya dibebaskan. Belakangan saya bisa mengerti mengapa ia begitu curious menyelidiki apa yang tengah terjadi di lembaga yang pernah dipimpinnya sehingga membuat koleganya tidak nyaman. Dimana ada penegakkan hukum yang melibatkan kaum berduit, selalu ada pedagang asap yang mengambil manfaat.  Dan meski banyak tokoh yang terlibat korupsi, kita sering terkecoh seakan-akan itu selalu permintaan tokoh yang namanya sering  digunjingkan masyarakat yang tertipu.

Majalah Tempo belum lama inj memberitakan keterlibatan sebuah partai politik di balik pencairan kredit bermasalah yang diberikan Bank BJB.  Kalau diurut-urut, partai politik itu adalah partai tempat bernaung Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heriawan.  Dan orang yang menghubungkan dengan salah seorang direktur “mengaku” berasal dari partai itu.  Belakangan nama penghubung itu kita baca di koran memang benar adalah asisten pribadi pimpinan partai yang telah ditahan.  Tetapi benarkah orang ini mempunyai hubungan langsung dengan Gubernur Jawa Barat? Bisa saja, gunjingan itu terjadi karena seseorang telah terlibat dalam “perdagangan asap” di sini.

Perdagangan asap itu bisa terjadi tanpa akses sama sekali pada “daging” yang tengah dipanggang. Yang jelas terjadi pertemuan antara “dua pihak yang saling membutuhkan”. Seseorang ingin mengambil rente (rent-seeking), dan seseorang yang menginginkan jabatan.  Bila itu bertemu, asap pun ada harganya, seperti yang ditulis editor harian The New York Times dalam buku ” The Price of Everything”.  Harga selalu ada di balik setiap proses pengambilan keputusan, dan alat bayar utamanya adalah sebuah kesempatan.  Jodoh, sampah, nama baik, kemacetan, kesulitan, demikian pula jabatan dan kredit.  Semua ada harganya dan bentuknya tak selalu berupa uang.

Pembakaran Tak Sempurna

“Tak ada asap tanpa api,” mungkin itu yang Anda ingat.  Tetapi harap dipahami, tak semua api ada asapnya, dan tak semua asap besar berasal dari sebuah bakaran yang apinya besar.  Bisa saja bakarannya kecil, tapi yang dibakar banyak “lemak” dan cairannya, sehingga asapnya terasa pedas di mata. Namun dalam masyarakat yang galau, asap yang berasal dari pembakaran tak sempurna bisa dibuat, dikomersialkan, bahkan dipergunjingkan, atau dapat menjadi alat pemerasan.

Kalau Anda mempunyai kerabat yang tengah menduduki jabatan terhormat, atau menjadi figur yang terkenal, selalu waspadalah, sebab “asap” mereka ada peminatnya.  Namun pada akhinya orang akan selalu bertanya, “where is the beef?” Semua yang diberikan harus dapat dipertanggungjawabkan. Uang milik orang lain harus bisa dikembalikan dengan imbalan yang baik.  Kalau itu sebuah usaha, harus jelas prospeknya.  Kalau itu sebuah kerjasama harus jelas kontribusinya.

Ketika banyak orang menginginkan kekayaan dan jabatan, sayapun perlu mengingatkan, tak ada respek yang didapat  dari jabatan yang ditukar dengan asap.  Menukar jabatan dengan asap hanyalah sebuah kebodohan.  Media, temukanlah sumber api dan dagingnya,  jangan kipas asapnya sehingga terbakar seluruh isi rumah.  Bukan cuma asap,   setiap perbuatan kriminal  juga ada harganya.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Memudarnya Sekolah-Sekolah Tua – Sindo, 11 April 2013

Tak dapat dipungkiri sekolah-sekolah kita menghadapi banyak masalah. Dan bangsa yang besar sudah pasti perlu meresponnya. Tapi bagaimana caranya?

Mendiknas Moh Nuh dan Wamennya, Musliar Kasim melihat suasana belajar yang dihadapi anak-anak kita sudah tidak kondusif. Beban mata pelajaran sudah berlebihan, anak-anak semakin hari semakin stress. Memperbaharui gedung saja tak cukup untuk mengusir hantu-hantu yang membuat anak-anak sering kesurupan menjelang ujian nasional.  Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina yang aktif dalam perubahan sosial membantu secara sukarela dengan program Indonesia Mengajar yang luar biasa. Tetapi sebagian besar guru-guru besar memilih berpolemik di koran.

Anies bukan tak menghadapi kendala. Puluhan anak-anak UI yang ikut mengabdi dalam program Indonesia Mengajar melihat fenomena yang sama: masih banyak sekolah yang metodenya sudah tidak fun. Banyak mahasiswa saya yang sudah siap dengan gitar dan suling hanya bisa bermain sendiri dalam kesepian. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena guru-guru sekolah di daerah terpencil lebih ingin “guru-guru baru” itu membantu agar anak-anak siap menghadapi UN. Jadi ketimbang mengajak mereka bermain atau menumbuhkan “kecerdasan-kecerdasan relasionalnya” lebih baik ajarkan matematika, bahasa Indonesia, fisika, dan bahasa Inggris.

Jadi Apa yang Mau Diubah?

Yang mau diubah jelas suasananya. Lalu bagaimana caranya? Dibuka-buka ternyata sumbernya ada banyak. Tetapi salah satunya adalah jumlah mata pelajaran itu, dan beban guru yang berlebihan. Apa solusinya? Yang satu bilang dengan mudah: Hapus saja mata pelajaran yang tidak penting-penting. Tetapi begitu hal itu ditawarkan, reaksipun bermunculan. Seperti membagi warisan, mengubah kurikulum itu sama saja rumitnya. Tak ada orang yang mau mata ajaran yang diasuhnya dihapus. Kita hanya punya kecerdasan menambah, bukan mengurangi.

Lalu yang lain membuka UU Sisdiknas (UU No. 20 2003) dan menemukan constrain lain. Di undang-undang itu, ada kalimat yang dapat ditafsirkan bahwa kurikulum pendidikan nasional harus mencakup apa saja. Jadi kalau ada mata ajaran yang disebut dalam UU itu  “tidak dicantumkan” saja dalam draft kurikulum, maka bisa jadi masalah besar kelak. Singkatnya, kurikulum baru bisa kandas di MK. Semua mata pelajaran gado-gado yang jadi beban siswa itu sepertinya dibiarkan sakral di sana.

Niat itu pun tampaknya diurungkan.

Orang yang lain mengatakan, “kalau tidak bisa dikurangi, metodenya saja kita ubah.” Ide ini terkesan brillian, maka mereka tampaknya menuju ke arah itu. Dari metode mengajar elementer, yang parsial dibuat terpisah-pisah, lalu digabung menjadi pendekatan integratif. Seorang ilmuwan senior sepengetahuan saya  berucap sangat dalam: “Jika perlu, mata pelajaran di SD digabung saja menjadi satu”.

Lho kok hanya satu? “Ya”, katanya. “kita beri saja judul: Manusia dan Alam Sekitarnya.” Bukankah ini pendidikan dasar?

Kemarin, saya mengajak guru-guru di yayasan yang saya asuh untuk merundingkan itu. Tetapi bukannya saya didengar, guru-guru yang rata-rata orang kampung yang sederhana itu malah menertawakan saya. Mereka bilang begini: “lha Bapak, itu kan yang sudah kami lakukan dari dulu”.

Apakah buat anak-anak cukup jelas? “Iya pak, itu justru yang membuat anak-anak kita lebih cerdas, lebih assertive, lebih respek pada alam dan sesamanya. Lebih artikulatif,” lanjut mereka.

Saya pun tertegun. Pagi ini sebelum menulis, saya pun melakukan observasi di kelas PAUD-TK kutilang yang diasuh istri saya. Mata saya bersinar-sinar.  Saya  tertegun bagaimana anak seorang tukang siomay keliling bisa menjelaskan biji-bijian dengan detail. Seorang anak tukang ojek langganan anak saya bisa membangun gedung tinggi dari balok-balok yang tersedia dengan menjelaskan cara berpikir yang indah. Logika keaksaraan yang menjadi modal bagi ilmu matematika mereka kuasai dengan baik.  Kata istri saya anak-anak diajak “recalling”, bernegosiasi dengan kelompoknya, menahan amarah, membaca realita, dan menggungkapkan bahasa-bahasa positif.

Apakah ini namanya semua? “Ini metode. Isinya sama, tetapi metodenya berbeda.”

Apakah diperlukan guru-guru yang S2 atau S3? “Tidak pak, kami juga bisa, ini malah lebih simple,” ujar guru-guru itu. Istri saya tersenyum.  Di belakang mereka, dialah mentor bagi guru-guru itu.

Sekolah-Sekolah Tua Bermasalah

Hari-hari ini saya hanya mendengar keluhan demi keluhan tentang kurikulum baru. Tetapi harus kita akui, niat baik mendiknas itu memang belum menghasilkan karya seperti yang diinginkan. Orang-orang yang terlibat dalam diskusi internal bersama kementrian banyak bercerita di sosial media betapa amburadulnya kesimpulan-kesimpulan yang ditarik. Dan itu sudah cukup bagi sebagian orang untuk menilai layak atau tidaknya sebuah kurikulum.

Entah apa yang terjadi di sana, sepertinya banyak gagasan-gagasan hebat yang terputus atau sulit diterjemahkan. Berbagai pihak yang menguliti kurikulum itu menceritakan segala masalah dan kejanggalan-kejanggalan.  Ya, seperti itulah masalah bangsa kita ini. Kita semua dibentuk dalam sistem pendidikan yang tidak artikulatif, tidak mampu menterjemahkan isi pikiran kita kedalam tulisan-tulisan yang menyatukan gagasan-gagasan hebat. Apa yang tertulis, menurut hemat saya lebih mencerminkan rata-rata kemampuan kita berekspresi. Jadinya serba kacau dan lebih mudah dikritik dari pada dipasarkan.

Kalau Anda pernah membuat kajian untuk mengikuti akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional, pasti Anda juga pernah mengalami hal serupa.  Kajian dan laporan yang dibuat anak buah yang berpendidikan tinggi sekalipun ternyata tidak mampu diartikulasikan dengan baik.  Akibatnya Anda bisa mendapatkan akreditasi buruk.  Padahal saat presentasi lisan Anda bisa menjelaskannya dengan baik.  Ini fenomena Indonesia yang merata di mana-mana.  Dan tanpa bermaksud membela kurikulum baru, saya justru menemukan gap itu:  tuduhan-tuduhan pada pengkritik yang saya cross kepada kemdiknas ternyata banyak yang tak sesuai.  Sebaliknya, apa yang dipikirkan Mendiknas dan team perumus ternyata tidak sama dengan yang diterima sejumlah elit.

Dan benar saja. Apa yang diungkapkan itu pun menjadi umpatan dan kritik tajam di media massa. Para pakar-pakar berbicara, semuanya bersuara sama: Tunda saja, atau Batalkan!

Kita jadi terperangkap dalam semangat melawan. Sedikit sekali orang yang bisa diajak kembali pada tujuan awal, yaitu: Persekolahan kita harus diperbaiki. Belajar harus dibuat lebih menyenangkan.

Para pengkritik menuding Mendiknas keras kepala. Mendiknas pun meregangkan ketegangan: Cukup 10% saja dulu SD yang ikut kurikulum baru. Tetapi para pengkritik yang tidak mau, tidak ingin masuk dalam kategori yang 90%. Mereka tetap bilang: Harus ditunda! (Tetapi kalau masuk yang 90%, sesungguhnya sudah ditunda, bukan?)

Kata ditunda secara implisit bermakna bukan ditunda, melainkan “dibatalkan”. Alhasil, ada kesan sebagian besar masih terperangkap antara “I” dengan “You”. Padahal mana ada pembaruan yang langsung hebat, langsung jadi sekaligus bagus? Maaf tidak ada. Tetapi kalau itu dikatakan pada mereka, dengan tangkas akan segera dijawab: pendidikan bukan kelinci percobaan!  Padahal jelas sekali ribuan sekolah lama yang jadi kebanggan kita dulu kini tengah menuju menjadi museum yang tua, angker, namun kelihatan berwibawa.  Namun satu persatu alumnusnya urung mengirim anak-anaknya kesana. Mereka punya pilihan baru yang lbih baik.  Dilema bukan?  Yang baru belum bagus, yang lama sudah ditolak.  Syukur kalau ini dipahami, tetapi ternyata tidak.  Semua itu hanya disangkal.  Persis seperti kisah yang dihadapi para rasul dalam kitab suci.

Sekali lagi tidak ada pembaruan yang instant.  Pembaruan itu prosesnya dari penghancuran dahulu, lalu kekacauan, baru pertobatan, dan perbaikan-perbaikan.  Jadi biarkan saja yang mau ikut, yang mau biar jalan dulu. Pioner ya jalan dulu, mereka bisa dapat keahlian lebih awal.  Lalu mari kita ramai-ramai perbaiki. Ayo perbaiki. Jangan mengolok-olok.  Seperti kata pepatah: “In the end everything will be okay”. Lantas bagaimana kalau saat ini “tidak okay”. Ah, itu artinya “it’s not the end yet”.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Ekonomi Kereta Api – JawaPos, 8 April 2013

Beberapa hari ini Bloomberg memberitakan, sebuah operator MRT di Thailand berhasil melakukan IPO terbesar di dunia, Rp 19 Trilyun. Padahal perusahaan itu baru berdiri pasca krismon: 1999. Bandingkan dengan kereta api Indonesia yang pembangunan relnya sudah ada sejak tahun 1864. PT KAI sendiri sudah ada sejak tahun kemerdekaan, dan tahun ini berusia 68 tahun.

Berita-berita mengenai kereta api selalu menarik perhatian, meski kereta bukan lagi menjadi pilihan utama transportasi publik. Tetapi perhatikanlah, sebuah titik balik tengah terjadi. Kelak masyarakat akan beralih dari mobil, bahkan pesawat terbang kepada kereta api. Tetapi ada syaratnya: hentikan kebisingan dan biarkan PT KAI meremajakan diri.

Jakarta – Surabaya  

Untuk berpergian ke Surabaya mengunakan kereta api Gaya Baru Malam saja, saat ini masih membutuhkan 14 jam lebih. Bandingkan dengan pesawat terbang yang paling lama 1 jam 15 menit. Tetapi sebelum beberapa jalur ganda dibangun, jarak tempuhnya lebih lama lagi: 17,5 jam! itu sebabnya, saat low cost carrier merebak di Indonesia penumpang beralih ke pesawat terbang.

Demikian juga jalur Jakarta-Bandung, yang dulu terkenal dengan kerata api Parahyangan (Sekarang Argo Parahyangan) ditempuh 2,5 – 3 jam. Saat jalan tol Jakarta – Cipularang – Bandung dibuka, masyarakat bisa menempuh jarak dalam tempo 2 jam dengan mobil. Tetapi itu dulu.  Sekarang jarak tempuhnya sudah “kembali normal” seperti jalan biasa lewat puncak: 4 jam. Apalagi bila hari jumat atau tanggal muda dan hari hujan. Di dalam kota macet, menuju perbatasan macet dan masuk Bandung  juga macet.

Kereta api yang “bebas hambatan” sebenarnya bisa menjadi solusi. Wamen Perhubungan Bambang Susantono menyebutkan Indonesia akan punya kereta api cepat Jakarta-Surabaya yang bisa ditempuh hanya dalam 3 jam. Kalau ini terjadi, saya tentu akan lebih senang naik kereta api dari pada pesawat. Bayangkan, dari kantor menuju bandara Cengkareng butuh sekitar 2 jam, check in 1 jam sebelum keberangkatan, dan pesawat sering terlambat take off sekitar 30 menit – 1 jam. Total saya perlu sekitar 4-5 jam untuk sampai ke Surabaya dengan biaya berkali-kali lipat tarif kereta api.

Saya jadi teringat perjalanan sahabat saya di Taiwan yang setiap 3 hari sekali harus berobat ke sebuah rumah sakit. Ia tinggal di Taipeh dan rumah sakit terletak sekitar 800 km dari Taipeh. Persis seperti Jakarta – Surabaya. Ia bisa menempuh jarak hanya 1,5 – 2 jam saja. Keretanya nyaman, tak ada goncangan, aman,  bersih dan indah. Tak ada pedagangan asongan atau preman.

Lantas mengapa kereta api kita dibiarkan merana? Tentu saja ada banyak masalah yang selama bertahun – tahun kita abaikan. Untuk memiliki kereta api cepat Indonesia perlu mengubah cara pandangnya. Ya, kita perlu investasi-investasi besar yang baru, persis seperti saat Soeharto menanam investasi-investasi besar di Sumatra. Kita tidak bisa hidup dalam cara-cara lama dangan tarif super murah yang tidak nyaman. Dengan kondisi yang lama, kemenhub mengumumkan ada 5200 perlintasan kereta api, dengan 618 diantaranya perlintasan liar. Tetapi survey PT KAI sendiri menemukan ada lebih dari 10.000 perlintasan liar. Ini tentu sangat menghambat.

Sebagian besar lintasan liar itu bukan sekedar menjebol pagar, melainkan sengaja diurug sisi tengah relnya dengan tanah, pasir dan krikil. Tentu saja ada yang memungut uang sewanya. Akibatnya, gerakan kereta menjadi lamban dan kereta harus membunyikan klaksonnya. Karena jaraknya dengan pemukiman liar dan penduduk sangat rapat, suara klakson itu dianggap mengganggu, sehingga disambut dengan batu oleh pemukim.  Bukan hal yang aneh kala kaca-kaca kereta api sering retak dan pecah. Harap maklum, setiap hari PT KAI harus mengganti sekitar 5 buah kaca yang harganya berkisar Rp. 300 ribu hingga satu setengah juta rupiah. Semua sangat mengganggu kecepatan kereta api dan kenyamanan penumpang.

Tampaknya kita memang masih jauh dari Thailand yang sudah lebih dulu membangun MRT.  Bahkan sangat jauh dengan kereta-kereta super cepat.  Kalau dulu Shinkansen saja sudah kita anggap tercepat dengan 440 km per jam, kini China Railway sudah mengantarkan penumpang dengan kecepatan 480 km per jam.  Kita masih bergerak seperdelapan dari batas kecematan maksimum yang sudah bisa dicapai kereta api tercepat.  Artinya, kalau masyarakatnya seperti ini kita masih perlu 40 tahun dari sekarang dan akan tertinggal terus.

Bukan hanya itu, sekarang gangguan juga datang dari sejumlah pengamat dan orang-orang pandai yang mencari perhatian di media massa.  Saat pelayanan diperbaiki, otomatis habit harus diubah, tetapi ini tidak mudah.  Artinya, kalau menuntut perubahan, mbok ya kita juga berubah beramai-ramai, jangan cuma omong saja mau berubah. Mana ada sih perubahan tanpa ada yang mau berkorban?

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Inequality, Insecurity – Sindo, 4 April 2013

Pertanyaan mendasar diajukan Jerry Muller,  dalam Jurnal Foreign Affairs bulan ini: Mampukah kapitalisme mengatasi rasa ketidaknyamanan manusia?

Kapitalisme tanpa disadari telah menimbulkan efek yang amat beragam: kemakmuran, inovasi dan pertumbuhan, tetapi juga sekaligus penghacuran-penghacuran dan rasa ketidaknyamanan. Munculnya  kapitalis-kapitalis baru di sepanjang jalan dari bandara Ngurah Rai menuju lingkaran Simpang Siur di Bali misalnya, bisa saja menjadi mesin penghancur bagi pasar seni Sukowati (kabupaten Gianyar).

Turis-turis yang biasa mampir ke pasar tradisional yang berjarak 2 jam dari bandara, kini memilih belanja di toko oleh-oleh yang lebih modern dan dapat dijangkau dalam waktu yang lebih cepat dari bandara.

Saat mendorong tumbuh kembangnya kewirausahaan, hendaknya kita perlu memikirkan bagaimana mengajak keluar para pemula dari perangkap kapitalisme yang  membahayakan. Sebab kapitalisme bukanlah semata-mata sebuah sistem ekonomi, melainkan juga sebuah sistem hubungan-hubungan sosial yang membuat syahwat manusia untuk “cepat kaya” dan “makin kaya” tak terbendungkan. Tengoklah judul-judul buku dan iklan-iklan seminar di berbagai kota. Anda mungkin sudah tak terkejut lagi, semakin hari semakin banyak orang yang menawarkan jurus-jurus kilat untuk cepat kaya.

Gini Coefesien

Baru-baru ini  ekonom mempersoalkan koefesien Gini Indonesia yang terkesan memburuk. Ketimpangan semakin melebar.  Memang ada juga orang mengutip data internasional yang mudah diakses internet, yaitu CIA: The Fact Book yang dirilis tahun ini. Disitu tertulis koefesien Gini Indonesia adalah 36,8 sehingga seakan-akan bagus. Tetapi saat mengutip, orang lupa menyebut tahunnya yang tertulis kecil di belakang skornya dan ternyata berbeda-beda untuk setiap negara yang ada didalam list itu. Amerika Serikat skornya jauh lebih buruk (45) tetapi itu kondisi tahun 2007. Indonesia bagus (36,8), tetapi itu tahun 2009. Bagaimana sekarang? Data tahun 2012, koefesien Gini Indonesia memburuk 4,2 poin menjadi 41.

Padahal peningkatan skor ini adalah benih dari insecurity. Di Amerika sendiri,  kapitalisme yang sudah berakar selama berabad-abad, keresahan senada juga dirasakan. John Stewart (The Daily Show) menulis, ”Menurut ukuran apapun, Amerika Serikat bukanlah negara Dunia Ketiga, kecuali dari segi ketidakmerataan ekonominya.” Dalam indeks inequality, Amerika Serikat bertengger lebih buruk dari Cameroon, dan hanya beda sedikit dari negara-negara dunia Uruguay, Jamaika dan Uganda.

Lisa Margonelli yang menulis di Pacific Standard menambahkan “Bila pada tahun 1979, 1% penduduk berpenghasilan tertinggi di Amerika mengeruk 10% pendapatan nasional, kini mereka membawa pulang dua kali lipat: 20%.” Harap dicatat, koefesien Gini Amerika Serikat meningkat 6 point dari skor 39 menjadi 45 (2007).

Tetapi angka itu segera diberi catatan. “Harap maklum, indeks yang dikembangkan oleh Corrado Gini (1912) itu adalah alat berteriak kaum fasis.” Corrado Gini adalah kepanjangan tangan Mussolini yang menulis buku The Scientific Basis of Fascism.” Di ruang kerjanya, Gini menaruh sebuah ruang kaca yang dilengkapi mikrofon dan loudspeaker   untuk menyampaikan perintah. Mereka hanya berbicara kalau ditanya. Akibatnya, di luar ruangan mereka menjadi bising. Dan 100 tahun kemudian, di hari-hari ini, Gini Coefesien telah benar-benar membuat para pelaku pasar bising. Politisi bising, ekonom ikut pusing, dan “pasar” bisa bereaksi negative karena mengesankan sistem ekonomi tidak bekerja dengan baik.

Apa yang membedakan era itu dengan sekarang adalah, Gini mengembangkan alat ukurnya di era yang serba simpel, saat perekonomian Italy hanya didominasi industri kulit, tekstil, dan sepatu. Sektor keuangan dengan segala instrumennya (termasuk derivasi dan asuransi) belum bekembang.  Demikian juga perdagangan global, teknologi infomasi dan budaya pop. Banyak hal baru yang telah merubah dunia.

Milyuner pun Gelisah

Melebarnya ketidakmerataan adalah gejala yang biasa terjadi di negara-negara yang mengalami satu atau lebih dari hal-hal ini: (1) Sistem sosial tidak bekerja dengan baik, (2) Subsidi salah sasaran; (3) Ekonomi terlalu liberal; (4) Korupsi terus dibiarkan melebar dari pemerintahan ke politik dan dunia usaha swasta; atau (5) terjadinya krisis ekonomi.

Tetapi Muller memberi catatan, dunia saat ini tengah mengalami kesulitan keluar dari cengkraman kapitalisme. Dan kapitalisme yang menguat bisa membuat jurang kaya-miskin semakin lebar karena akar persoalannya ada pada prinsip-prinsip inovasi itu sendiri. Kapitalisme mempunyai efek penghancuran karena unit-unit usaha lama terbelenggu dalam tradisi lama.

Di samping itu, keluarga mempunyai peran penting. Sebab keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik adalah keluarga yang melakukan investasi sangat serius terhadap kemampuan kognitif dan motorik anak-anaknya.

Maka itu, tanpa kepemimpinan kuat, sulit bagi Indonesia untuk keluar dari cengkraman ini.  Apalagi sistem politiknya “sangat bermain.” Politisi membiarkan subsidi BBM lebih banyak diminati dinikmati kaum kaya di daerah perkotaan, walaupun mereka bicaranya nelayan, guru, buruh, dan petani. Tak banyak yang mengerti bahwa organisasi-organisasi yang mengatasnamakan guru, petani, buruh, dan nelayan sudah tidak banyak dikelola oleh guru, tani, buruh atau nelayan itu sendiri. Sebagian pengurus organisasi-organisasi itu adalah para mantan, konsultan, pemilik-pemilik kelembagaan tertentu, politisi.

Berbeda dengan apa yang dirasakan di sini, ketimpangan justru menjadi perhatian yang sangat serius di mancanegara. Januari lalu, Bloomberg melakukan interview terhadap 70 milyuner yang hadir dalam konferensi yang dilakukan di Davos dan mereka mengatakan ketimpangan pendapatan merupakan ancaman bagi global economic growth, dan menciptakan social and political instability, bahkan terbukti memicu gelombang perubahan Arab Spring belum lama ini. Dalam polling lainnya, separuh dari 1.209 investor percaya ketimpangan pendapatan ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi.

Perkuat “The Bottom of Pyramid”

Ketidakmerataan menyangkut dua persoalan pertama, yaitu memperkuat mereka yang lemah, atau menahan laju yang diatas. Tak dapat dipungkiri kelompok yang kedua (yang diatas) dewasa ini telah begitu kencang berlari.  Menahan laju pertumbuhan usaha mereka dengan sistem pajak, diyakini banyak ahli bukanlah solusi yang efektif.  Persaingan antara bangsa dalam memperebutkan kedatangan investor telah membuat dunia usaha begitu mudah berpindah lokasi.  Mereka sangat rindu insentif, bukan ingin dipajaki.

Di lain pihak, bangsa-bangsa besar biasanya memilih solusi lain, yaitu memfokuskan diri pada kelompok yang pertama,The Bottom Line Of The Pyramid. Disparitas diatasi dengan memperkuat modal dasar, yaitu modal insani kaum miskin agar mereka memiliki kemampuan yang sama dengan generasi baru yang lahir dari kelas menengah.

Saya berpikir negeri ini perlu strategi yang jelas untuk membuat anak-anak yang tinggal dalam keluarga miskin keluar dari kantong-kantong kemiskinan. Saat kabupaten-kabupaten dan kecamatan-kecamatan baru banyak dimekarkan, kita lebih banyak membangun rumah sakit-rumah sakit baru untuk kaum miskin di tengah-tengah kota. Padahal kantong-kantong kemiskinan ada jauh di belakangnya. Saat kita membentuk jabatan eselon 1 di Kemendikbud yang mengurus PAUD (Pendidikan Akan Usia Dini), kita lebih banyak menimbulkan subsidi untuk sekolah-sekolah lanjutan dan universitas. Berapa subsidi untuk PAUD dan TK? Anak-anak di daerah pinggiran tak bisa mengecap bangku universitas, kalau fondasinya saja tak dibangun dengan kuat.

Di Indonesia PAUD itu identik dengan sekolah yang kumuh, jadi satu dengan rumah ibadah atau rumah gedek dengan guru-guru yang hidup seadanya, dan alat- alat bermain tanpa arah yang jelas. Mereka juga kesulitan mendapatkan dana-dana CSR yang diamanatkan pemegang saham karena perusahaan-perusahaan besar itu meminta proposal yang bagus atau ditenderkan. Kalau anak-anak miskin tak mendapatkan pendidikan yang baik di usia emas mereka, jangan harap mereka bisa mengejar kelas menengah.

Kita butuh kolaborasi besar untuk melakukan perubahan besar. Kemiskinan dan ketimpangan tak bisa diatasi dengan diskusi dan pengajaran belaka, melainkan harus diperangi oleh tindakan riil dari kelas menengah itu sendiri.  Itu sebabnya sebuah organisasi besar yang mengorkestrasi kolaborasi ini perlu segera dikembangkan.

Rhenald Kasali

Founder