Sekolah 5 Senti – Jawapos 30 Januari 2012

Setiap kali berkunjung ke Yerusalem, saya sering tertegun melihat orang-orang Yahudi orthodox yang penampilannya sama semua. Agak mirip dengan China di era Mao yang masyarakatnya dibangun oleh dogma pada rezim otoriter dengan pakaian ala Mao. Di China, orang-orang tua di era Mao jarang senyum, sama seperti orang Yahudi yang baru terlihat happy  saat upacara tertentu di depan Tembok Ratapan. Itupun tak semuanya. Sebagian terlihat murung dan menangis persis di depan tembok yang banyak celahnya dan di isi kertas-kertas bertuliskan harapan dan doa.

Perhatian saya tertuju pada jas hitam, baju putih, janggut panjang dan topi kulit berwarna hitam yang menjulang tinggi di atas kepala mereka. Menurut Dr. Stephen Carr Leon yang pernah tinggal di Yerusalem, saat istri mereka mengandung, para suami akan lebih sering berada di rumah mengajari istri rumus-rumus matematika atau bermain musik. Mereka ingin anak-anak mereka secerdas Albert Einstein, atau sehebat Violis terkenal Itzhak Perlman.

Saya kira bukan hanya orang Yahudi yang ingin anak-anaknya menjadi orang pintar. Di Amerika Serikat, saya juga melihat orang-orang India yang membanting tulang habis-habisan agar bisa menyekolahkan anaknya. Di Bekasi, saya pernah bertemu dengan orang Batak yang membuka usaha tambal ban di pinggir jalan. Dan begitu saya intip rumahnya, di dalam biliknya yang terbuat dari bambu dan gedek saya melihat seorang anak usia SD sedang belajar sambil minum susu di depan lampu templok yang terterpa angin.Tapi tahukah anda, orang-orang yang sukses itu sekolahnya bukan hanya 5 senti?

Dari Atas atau Bawah ? Sekolah 5 senti dimulai dari kepala di bagian atas. Supaya fokus, maka saat bersekolah, tangan harus dilipat, duduk tenang dan mendengarkan. Setelah itu, apa yang di pelajari di bangku sekolah diulang dirumah, di tata satu persatu seperti melakukan filing, supaya tersimpan teratur di otak. Orang-orang yang sekolahnya 5 senti mengutamakan raport dan transkrip nilai. Itu mencerminkan seberapa penuh isi kepalanya. Kalau diukur dari kepala bagian atas, ya paling jauh menyerap hingga 5 sentimeter ke bawah.

Tetapi ada juga yang mulainya bukan dari atas, melainkan dari alas kaki. Pintarnya, minimal harus 50 senti, hingga ke lutut. Kata Bob Sadino, ini cara goblok. Enggak usah mikir, jalan aja, coba, rasain, lama-lama otomatis naik ke atas. Cuma, mulai dari atas atau dari bawah, ternyata sama saja. Sama-sama bisa sukses dan bisa gagal. Tergantung berhentinya sampai dimana.

Ada orang yang mulainya dari atas dan berhenti di 5 senti itu, ia hanya menjadi akademisi yang steril dan frustasi. Hanya bisa mikir tak bisa ngomong, menulis, apalagi memberi contoh. Sedangkan yang mulainya dari bawah juga ada yang berhenti sampai dengkul saja, seperti menjadi pengayuh becak. Keduanya sama-sama berat menjalani hidup, kendati yang pertama dulu bersekolah di ITB atau ITS dengan IPK 4.0. Supaya bisa menjadi manusia unggul, para imigran Arab, Yahudi, China, dan India di Amerika Serikat menciptakan kondisi agar anak-anak mereka tidak sekolah hanya 5 senti tetapi sekolah 2 meter. Dari atas kepala hingga telapak kaki. Pintar itu bukan hanya untuk berpikir saja, melainkan juga menjalankan apa yang dipikirkan, melakukan hubungan ke kiri dan kanan, mengambil dan memberi, menulis dan berbicara. Otak, tangan, kaki dan mulut sama-sama di sekolahkan, dan sama-sama harus bekerja. Sekarang saya jadi mengerti mengapa orang-orang Yahudi Mengirim anak-anaknya ke sekolah musik, atau mengapa anak-anak orang Tionghoa di tugaskan menjaga toko, melayani pembeli selepas sekolah.

Sekarang ini Indonesia sedang banyak masalah karena guru-guru dan dosen-dosen nya – maaf- sebagian besar hanya pintar 5 senti dan mereka mau murid-murid nya sama seperti mereka. Guru Besar Ilmu Teknik (sipil) yang pintarnya hanya 5 senti hanya asyik membaca berita saat mendengar Jembatan Kutai Kartanegara ambruk atau terjadi gempa di Padang. Guru besar yang pintarnya 2 meter segera berkemas dan berangkat meninjau lokasi, memeriksa dan mencari penyebabnya. Mereka menulis karangan ilmiah dan memberikan simposium kepada generasi baru tentang apa yang ditemukan di lapangan.Yang sekolahnya 5 senti hanya bisa berkomentar atas komentar-komentar orang lain. Sedangkan yang pandainya 2 meter cepat kaki dan ringan tangan.Sebaliknya yang pandainya dari bawah dan berhenti sampai di dengkul hanya bisa marah-marah dan membodoh-bodohi orang-orang pintar, padahal usahanya banyak masalah.

Saya pernah bertemu dengan orang yang memulainya dari bawah, dari dengkul nya, lalu bekerja di perusahaan tambang sebagai tenaga fisik lepas pantai. Walau sekolahnya susah, ia terus menabung sampai akhirnya tiba di Amerika Serikat. Disana ia hanya tahu Berkeley University dari koran yang menyebut asal sekolah para ekonom terkenal.Tetapi karena bahasa inggris nya buruk, dan pengetahuannya kurang, ia beberap kali tertipu dan masuk di kampus Berkeley yang sekolahnya abal-abal. Bukan Berkeley yang menjadi sekolah para ekonom terkenal. Itupun baru setahun kemudian ia sadari, yaitu saat duitnya habis. Sekolah tidak jelas, uang pun tak ada, ia harus kembali ke Jakarta dan bekerja lagi di rig lepas pantai.

Dua tahun kemudian orang ini kembali ke Berkeley, dan semua orang terkejut kini ia bersekolah di Business School yang paling bergengsi di Berkeley. Apa kiatnya? “Saya datangi dekannya, dan saya minta diberi kesempatan . Saya katakan, saya akan buktikan saya bisa menyelesaikannya. Tetapi kalau tidak diberi kesempatan bagaimana saya membuktikannya?”Teman-teman nya bercerita, sewaktu ia kembali ke Berkeley semua orang Indonesia bertepuk tangan karena terharu. Anda mau tahu dimana ia berada sekarang?Setelah meraih gelar MBA dari Berkeley dan meniti karir nya sebagai eksekutif, kini orang hebat ini menjadi pengusaha dalam bidang energy yang ramah lingkungan, besar dan inovatif.Saya juga bisa bercerita banyak tentang dosen-dosen tertentu yang pintarnya sama seperti Anda, tetapi mereka tidak hanya pintar bicara melainkan juga berbuat, menjalankan apa yang dipikirkan dan sebaliknya.

Maka jangan percaya kalau ada yang bilang sukses itu bisa dicapai melalui sekolah atau sebaliknya. Sukses itu bisa dimulai dari mana saja, dari atas oke, dari bawah juga tidak masalah. Yang penting jangan berhenti hanya 5 senti, atau 50 senti. Seperti otak orang tua yang harus di latih, fisik anak-anak muda juga harus di  sekolahkan. Dan sekolahnya bukan di atas bangku, tetapi ada di alam semesta, berteman debu dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.

Rhenald Kasali

Guru Besar Universitas Indonesia

Problematika Ibu Muslimah di era modern dan globalisasi

Di era modern dan globalisasi ini, wanita (ibu) muslim dituntut tampil sebagai “Manusia Super” yang mampu menempatkan dirinya untuk tampil tetap cantik dan menarik, cerdas, energik, modern (up to date), namun tetap dalam kodratnya sebagai seorang ibu muslimah.

Ibu adalah sosok yang mulia.  Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan kemuliaan tersebut, yaitu “Surga berada ditelapak kaki ibu”. Jika ungkapan tersebut disimak, kita sebagai perempuan akan merasa sangat bangga karena perempuan mampu menjadi seorang ibu. Tapi, apakah kenyataan semudah dan seindah ucapan? Apalagi di era modern dan globalisasi ini, dimana perempuan dituntut untuk tampil modern, berpendidikan, mandiri, memesona, namun tidak meninggalkan kodratnya sebagai seorang ibu yang memiliki tugas untuk mengandung, melahirkan, merawat, dan mendidik anak-anaknya. Di samping itu, ada tugas lain yang harus diemban seorang perempuan, yaitu sebagai seorang istri dari suaminya, sebagai seorang anak dari keluarga besarnya, dan sebagai bagian dari masyarakat di lingkungannya.

Allah SWT dan Rasul-Nya menempatkan seorang ibu pada kedudukan tinggi dan mulia. Hukuman yang diberikan untuk seorang anak yang durhaka pada kedua orangtuanya adalah sama dengan hukuman bagi orang yang menyekutukan Allah SWT. Mereka yang berbuat demikian tidak akan diampuni dosanya oleh Allah SWT. Rasulullah Saw bersabda, “Rido Allah tergantung dari rido kedua orang tua dan murka Allah tergantung dari murka orang tua.” Namun pada sabda lainnya, “Penghuni neraka kebanyakan terdiri dari kaum perempuan”. Dua sisi (kedudukan/tempat) tersebut adalah dua sisi yang bertolak belakang. Sebuah dilema yang harus dihadapi kaum perempuan sebagai ibu, dari dahulu hingga era modern dan globalisasi saat ini.

Baca lebih lanjut

Zona Nyaman

Tanpa terasa sudah hampir 7 tahun aku melakukan hal yang sama. Menjalani pagi dengan melewati jalan yang sama untuk pergi ke sekolah, dari Senin hingga Jumat. Demikian pula saat pulang. Sampai kapan ya, ini akan berlangsung?

Terkadang aku berpikir bahwa suasana nyaman, damai, dan tenang tidak selalu mempunyai efek baik terhadap kinerja kita. Karena dalam keadaan nyaman, otak kita tidak ditempa untuk berpikir. Dan biasanya kita akan terlena dengan suasana yang terus-menerus seperti ini. Lama kelamaan keadaan seperti ini akan menumbuhkan kemalasan untuk melakukan aktifitas yang menantang kemampuan otak dalam berkreasi dan berinovasi.

Baca lebih lanjut

CSR untuk Pengemudi – Sindo 26 Januari 2012

Minggu lalu, sebelum Afriyani Susanti menabrak 13 pejalan kaki dan menewaskan 9 orang di antaranya, bersama dengan PT Jasa Marga, Rumah Perubahan yang saya kelola baru saja memberi pelatihan untuk para sopir.

Dirut Jasa Marga Frans Sunito menggunakan dana CSR perusahaan yang dipimpinnya untuk mengedukasi para pengemudi agar turut mencegah kecelakaan lalu lintas. Frans tergugah karena angka kecelakaan semakin hari semakin tinggi dan setiap beberapa menit satu nyawa yang melayang di negeri ini terjadi di jalan raya. Saat itu tak ada yang menduga kecelakaan besar akan terjadi esoknya.

Dengan produksi kendaraan roda empat sebanyak 880.000 unit dan sepeda motor mendekati 8 juta unit pada 2011, sementara kondisi jalan tidak bisa mengikutinya dan jumlah polantas terbatas, bisa dibayangkan apa jadinya kota-kota besar Indonesia. Kondisi ini diperparah oleh budaya memikirkan diri sendiri yang menonjol belakangan ini.

Pengelola mal hanya memikirkan traffic masuk ke malnya berlimpah. Pengemudi kendaraan hanya berpikir bisa cepat tiba di tujuan. Pedagang kaki lima hanya berpikir mendapatkan penghasilan. Sementara oknum komandan lalu lintas yang korup hanya memikirkan bagaimana kantongnya semakin tebal dari amanah yang diembannya.

Driving Under Influence 

Satu orang yang fly saja (seperti Afriyani) ternyata bisa menghilangkan sembilan nyawa. Ini tentu luar biasa. Di luar negeri, setahu saya ada undang-undang yang dikenal luas masyarakat,yaitu tentang DUI atau driving under influence. Meski menenggak minuman keras (di Amerika Serikat misalnya) tidak dilarang bagi orang dewasa, orang yang mabuk dilarang mengemudikan kendaraan.

Di Jepang, selepas pukul 12 malam juga banyak ditemui orang dewasa yang mabuk. Polisi juga tidak banyak di jalan. Tapi orang yang mabuk sudah paham, mereka dilarang mengemudikan mobilnya sendiri kendati jalanan di Tokyo di atas pukul 12 sudah sangat lengang. Orang yang mabuk itu dibopong kawan-kawannya ke atas taksi yang lalu mengantarkan ke rumah mereka masing-masing.

Di Amerika Serikat, polisi sangat tegas terhadap kepatuhan berlalu lintas. Di hampir setiap sudut jalan selalu ada mobil polisi yang memantau kecepatan dan gerakan kendaraan. Speed limit dibuat untuk memantau perilaku. Selama studi di Amerika Seikat saja (1992–1998) saya sudah pernah dua kali ditegur polisi karena melebihi batas kecepatan maksimum. Mereka memakai radar yang mampu memonitor gerak dan kecepatan dan tahu-tahu polisi sudah di belakang kita.

Dendanya pun tak sedikit, USD100–200. Bukannya apa-apa, kesadaran memang harus dibangunkan. Orang mengantuk, melamun, terlena, emosi, atau bahkan lupa diri adalah biasa dan harus dibangunkan. Dan begitu pengemudi dicurigai dalam pengaruh alkohol, mobil segera digeledah dan pengemudi diberi ujian. Mulai dari tes tiup sampai berjalan lurus di tepi jalan dan wawancara.

Polisi yang menjaga tidak banyak, tetapi bila bantuan diperlukan, beberapa polisi segera merapat dan pengemudi yang mabuk langsung dibawa ke ruang tahanan kepolisian. Mengapa polisi harus menangkap mereka meski belum mencelakakan orang lain? Jawabnya adalah karena sudah terlalu banyak orang tak berdosa yang menjadi korban di jalan akibat ulah para pemabuk.

Kasus Afriyani harus menjadi bel besar bagi semua pihak, bukan hanya polisi, melainkan juga produsen automotif dan pemungut penghasilan di jalan, mulai dari pemilik usaha taksi, logistik, trucking, pengelola jalan tol, marketing agencies khususnya yang memasang billboard, telekomunikasi (operator dan produsen ponsel), developer hingga pengelola mal untuk berbuat sesuatu. Bel besar untuk mencegah bahaya yang lebih rutin dan lebih menakutkan.

Di negara-negara lain, sudah terjadi musibah yang memilukan mulai dari lumpuh otak sampai hilang anggota tubuh. Pemabuk harus dicegah sebelum kecelakaan terjadi, sepanjang hari. Bukan hanya di malam hari atau saat hari-hari libur saja. Sayangnya di sini polisi belum terbiasa menangani orang mabuk dan pengusaha belum bersatu. Polisi juga masih hanya memeriksa pengemudi yang mabuk di malam hari sampai matahari terbit.

Padahal, sejak 10 tahun terakhir, di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, orang-orang teler baru pulang setelah matahari terbit. Mabuk dan menghisap narkotika pun dilakukan bergantian tempat sepanjang tiga hari berturut-turut, dari Jumat tengah malam sampai menjelang dini hari sebelum masuk bekerja pada hari Senin. Sepanjang tiga hari itu mereka berpindah-pindah dari satu klub ke klub lainnya, persis seperti yang dilakukan Afriyani sebagaimana dilaporkan media massa.

CSR untuk Pemakai Jalan 

Sejak konsep CSR dikenal di sini, harus diakui sudah banyak perusahaan kita yang mengucurkan dana untuk mengurai masalah-masalah sosial. Hanya saja harus diakui masih banyak pengelola dana CSR pada perusahaan yang hatinya, maaf, belum benar-benar bersih. Banyak pengelola dana CSR yang merasa dana itu masih menjadi miliknya, bukan dana amanah yang harus diserahkan kepada masyarakat.

Memang dana CSR yang dialokasikan semakin hari semakin besar. Namun karena dananya besar itulah timbul arogansi dan keengganan untuk disampaikan pada program yang tepat sasaran. Ada semacam non-tariff barrier yang membelenggu perusahaan dengan mencampurkan kegiatan sosial pada motif dan cara bisnis. Banyak manajer yang terperilaku bisnis sehingga ingin cepat-cepat mendapatkan hasil dan mengukur dampak CSR seperti yang dipelajari dalam performance management.

Jadi ada KPI-nya dan semacam ROI (return on investment) atau ROA-nya (return on asset). Manajer yang belum matang menginginkan dampak yang cepat, padahal social impact butuh waktu panjang. Bahkan tidak jarang dana yang sudah dialokasikan ditarik kembali sehingga justru dapat merusak hubungan yang dibangun dengan komunitas. Metode penyalurannya pun diperlakukan seperti tender. Apa akibatnya? Dana CSR ternyata banyak yang tak tersalurkan dan mengendap dalam pekerjaan tak jelas.

PT Jasa Marga adalah leader yang dapat dijadikan semacam hub oleh para pemilik dana CSR yang peduli untuk mencegah kecelakaan lalu lintas. Kita perlu berkarya bersama untuk mencegah perilaku-perilaku buruk yang semakin hari semakin menyesakkan dada.Tengoklah, betapa nilai-nilai baik yang dulu pernah kita miliki kini mulai pudar. Orang semakin tak mau membagi jalan, saling mengunci di perempatan jalan bila lampu lalin mati, pengemudi truk dan kendaraan besar atau mobil berkecepatan rendah mengambil jalan di jalur paling kanan, dan saling menonton saat terjadi kecelakaan lalu lintas.

Pengemudi sepeda motor juga semakin mudah terbakar amarah, bila posisi terjepit lebih menggunakan klakson daripada rem. Setahu saya Yamaha dan Honda juga memiliki unit edukasi yang aktif mengampanyekan pemakai sepeda motor agar tahu cara mengemudi yang baik. Bahkan Yamaha pernah melakukannya di Rumah Perubahan untuk mengedukasi para guru agar mengajari murid-murid sekolah berkendaraan yang benar.

Unilever juga pernah mengundang saya dalam suatu pertemuan dengan para distributornya agar menjaga keselamatan para pengemudi armada dan penagih keuangannya. Bagi mereka, keselamatan adalah modal penting untuk berusaha.Sekali petugas yang menagih uang atau mengirim barang terlibat kecelakaan, kerugian usaha bisa berlangsung lama karena tak ada yang menanganinya.

Di forum para pengemudi yang kami lakukan minggu lalu di Rumah Perubahan, Frans Sunito menegaskan, perilaku mengemudi yang baik adalah yang tidak mengganggu orang lain. Ia mengingatkan, sejak kecil kita hanya diajari fokus pada diri sendiri. Nasihat orang-orang tua adalah agar hati-hati di jalan.Tak seorang pun yang mengatakan, “Jangan ganggu orang lain.” Akibatnya kita memang hanya fokus pada diri kita saja.

Kampanye yang dilakukan PT Jasa Marga tentu bukan sekadar edukasi biasa, melainkan kampanye perubahan, yaitu bagaimana mengubah sikap dan perilaku. Kepada para sopir, saya memutarkan film-film tentang perilaku yang berpusat pada diri sendiri. Coba bayangkan kalau semua orang hanya memikirkan dirinya sendiri, bukankah kasus yang dialami bocah kecil di China akan terjadi di sini? Bocah itu, Yue Yue, ditabrak sebuah mobil, lalu diabaikan oleh 13 orang yang lewat di depannya.

Satu kendaraan malah ikut menggilas kakinya. Perilaku I-centric ini bukan mustahil mulai terbentuk di sini. Hal itu hanya bisa diatasi kalau kita memiliki kepedulian dan menggandengkan tangan bersama. Mudah-mudahan kasus Afriyani dan kecelakaan di Tugu Tani bukan petunjuk yang buruk bagi kecelakaan di Tahun Naga Air ini, melainkan sebuah bel dengan dentuman keras untuk membangkitkan kita dari tidur.

RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia
Artikel di Sindo

Resolusi Domain .id dan Nasionalisme Qwerty

Kolom Telematika, Selasa, 03/01/2012 09:46 WIB

Jakarta – Situs Alexa secara berkala mendaftar top site dari seluruh dunia. Pembaruan dilakukan setiap hari, mungkin sebagai garansi keabsahan hasil pendataan.

Terkini posisi sepuluh besar dipuncaki Google, Facebook, YouTube, Yahoo!, Baidu, Wikipedia, Blogspot, Windows Live, Twitter dan Amazon. Sembilan di antara mereka berdomain [dot] com. Wikipedia satu-satunya yang berdomain [dot] org. Dari sepuluh pemuncak itu, hanya Baidu milik China, situs yang bercitarasa lokal Asia. Sembilan sisanya berbasis di Amerika.

Tiga halaman berikutnya, urutan masih didominasi web luar negeri. Di halaman 3 inilah, pada nomor urut ke 72, nama Indonesia baru muncul dengan identitas domain [dot] id. Sayangnya, pemilik domain ini bukan netizen nusantara, tapi lagi-lagi, google.co.id, pebisnis industri maya mancanegara. Bergeser ke domainworldwide.com, malah saya dapati nama Indonesia merambat di angka 184 dengan status rangking ‘still polling’.

Jujur, saya cemburu dengan capaian Baidu yang bisa meraih 5 besar Alexa. Gemas campur iri melihat Google mendominasi — sampai peringkat co.id di urutan 72 pun yang mestinya domain kita, diregistrasi atas nama mereka. Kian terusik rasa ke-Indonesiaan saya ketika domain worldwide menempatkan .id Indonesia di bawah Ethiopia dan Ghana.

Terlecut itu semua, rasanya masih relevan jika semangat nasionalisme kembali dikumandangkan. Di antara ikhtiar kecilnya, mari meniatkan resolusi 2012 ini sebagai pemasyarakatan domain [dot] id.

Mengelola potensi netizen pertiwi agar belajar bernalar mengindonesiakan Indonesia secara benar. Melalui [dot] id, nasionalisme digerakkan oleh ketukan jari di tetikus mini, papan ketik dan layar belasan inci. Ini aksi nasionalisme qwerty, sedikit ikhtiar pintar mengenalkan peradaban cyber Indonesia kepada dunia.

‘Belajarlah hingga ke Negeri China,’ begitu kata pesan bijaksana. Baidu berhasil menggeser dominasi Google sebagai piranti mesin pencari dengan memanfaatkan human wave yang tersedia. Potensi itu diperkuat kebijakan proteksi pemerintah untuk memperkuat industri domestik, stabilitas ekonomi sekaligus mempersempit dominasi kompetitor luar negeri.

Setidaknya dari rangking top site Alexa, Baidu telah membuka mata kita betapa efektifnya strategi mobilisasi netizen Negeri Tirai Bambu ini. Melalui Baidu, China secara jitu memproyeksikan limpahan penduduk sebagai aset vital pengembangan ekonomi lokal sekaligus propaganda nasionalisme kebangsaannya. Sayangnya di Alexa, Baidu kurang berasa China dengan luput menyematkan [dot] cn sebagai domainnya.

 

Memulai dengan yang Sederhana

Terilhami Baidu, saya optimistis satu hari nanti harus ada situs berdomain .id milik Indonesia yang bertahta di teras top site Alexa. Indonesia punya netizen + human wave yang militansinya serupa China. Ditambah lagi, optimisme resolusi .id ini merujuk statistik yang dirilis APJII per 1 Juli 2010. Ternyata sudah 47,861 situs yang teregistrasi domain [dot] id.

Hingga akhir 2011 ini, registrasi yang dicatat PANDI sudah mencapai 58 ribu lebih. Tentu ini fakta pertumbuhan yang lumayan mensyukurkan. Kalau saja jumlah 58 ribu itu teregistrasi di domainworldwide.com, maka posisi .id sudah masuk urutan 38, di atas .co.il milik Israel.

Kini, seiring pertumbuhan pengguna internet Indonesia yang trend-nya terus naik, registrasi .id masih mungkin bertambah lagi. Hitungannya sederhana, saya dan setiap guru TIK di Indonesia mengedukasi siswa bikin hasta karya blog berdomain my.id atau web.id.

Lalu bekerjasama dengan guru bahasa, mengajak dan melatih siswa menulis pengalaman belajarnya di blog mereka. Biaya pembelian domain + sewa hosting senilai Rp 100-200 ribuan per tahun relatif terjangkau oleh sisihan uang jajan dan atau recehan jatah pulsa mereka saja. Mungkin dengan registrasi berombongan, harga bisa ditekan lewat paket bundelan.

Dari situ, sudah dapat dikira berapa pertambahan .id nantinya. Lewat blog, output materi TIK bisa ditampilkan hasilnya dan dibaca dunia. Literasi sastra siswa bisa diperkaya dan identitas nasional domain Indonesia kian mondial keberadaannya.

Tentu proyeksi .id ke depan bukan sekadar gagah-gagahan memuncaki top site Alexa atau domain worldwide saja. Ada sisi lain manfaat yang akan kita dapat. Pertama segi ekonomi, karena domain .id dikelola bangsa sendiri maka perputaran rantai ekonomi akibat biaya penggunaan domain tentu juga akan berlangsung di dalam negeri seperti pajak sampai lapangan kerja baru yang dapat memberikan kesejahteraan.

 

Ketika .Id Meraksasa

Menurut M. Salahuddien (#FF @patakaid), seorang pegiat TIK Indonesia, semakin banyak nama domain berbasis .id digunakan maka tentu daya tarik dan nilai ekonominya semakin tinggi. Nantinya orang asing akan tertarik turut menggunakannya.

Ini keuntungan lain dari segi brand value misalnya google.co.id atau yahoo.co.id. Dua raksasa industri maya ini menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap domain Indonesia khususnya atau internet kita pada umumnya.

Kedua, manfaat perkembangan konten lokal dan peradaban cyber. Banyaknya penggunaan domain .id juga bisa menjadi salah satu indikator semakin banyak konten lokal tumbuh dan seberapa besar kontribusi kandungan informasi Indonesia di ranah cyber.

Tentunya ini juga menjadi tolak ukur bagi keunggulan Indonesia dalam hal dominasi informasi. Pendeknya, kita menjadi produsen bukan cuma pemakai/konsumen. Semakin banyak kompilasi konten berarti makin besar sumbangan kepada d`unia pengetahuan dan akhirnya terwujud peradaban agung berciri adiluhung Bhinneka Tunggal Indonesia.

Ketiga, menumbuhkan militansi kecintaan terhadap kreasi bangsa sendiri. Pararel dengan kampanye ‘Cintai Produk Indonesia’, penggunaan .id akan membuktikan kerukunan dan nasionalisme kita di dunia maya.

Meminjam kalimat Sigit Widodo, Ketua PANDI, “Seharusnya sebagai bangsa Indonesia harus bangga memakai akhiran domain .id dibandingkan domain lain. Ini seperti kita harus membela tim nasional sepakbola kita dibandingkan tim sepakbola dari luar negeri. Meskipun tim nasional kita sering kalah”.

Ya, menjadi ironis ketika korporasi luar negeri cerdik melihat potensi ekonomi Indonesia dengan berlomba-lomba registrasi .id sebagai strategi penetrasi pasar di sini, sementara kita sendiri (karena ketidaktahuan?) malah bangga tidak memakainya. Lagi-lagi saya ingat relevansi petuah Ketua PANDI (#FF @sigitwid), “Memang kalau dilihat langsung, lebih enak memakai domain .com. Tapi kalau ingin lebih nasionalisme, seharusnya memakai domain .id,” jelasnya.

Konon, Kominfo RI mengonfirmasi bahwa pada tahun 2012 sambungan koneksi internet akan menjangkau semua desa di Indonesia. Jika kabar ini benar, tentu potensi yang harus ditindaklanjuti. Kepada pebisnis dan relawan internet Indonesia, saya berharap nantinya edukasi pengenalan internet bukan melulu seputar surel (surat elektronik), jejaring sosial, chat, mesin pencari, atau cuma cuci mata berselancar wisata web saja. Tapi sekaligus dimunculkan muatan informasi pariwara .id.

 

Komisi8@yahoo.com

Beberapa kali saya temui, mereka yang tidak memakai domain .id akibat ketidaktahuan dan mungkin kurangnya penjelajahan. Contohnya, ada alamat laman situs aparat keamanan di sebuah kabupaten memakai .com. Saya percaya niat bagus mereka ingin membuka diri terhadap akses informasi. Tapi alih-alih berkhayal profesional atau go international, kekeliruan penggunaan .com itu justru bermakna unyu: go commercial.

Jarangnya sosialisasi — mungkin juga — membuat .id kurang dikenali. Saya sering mendapati di bak samping dan belakang truk, tulisan http://www.blablabla@yahoo.com. Entah maksudnya apakah mereka mau nulis alamat surel atau situs. Tapi saya kira, itu akibat kurang pengetahuan dan wawasan mereka saja. Mungkin di batas literasi pemilik truk ini, kata internet itu sekadar berawalan ‘www’, berimbuhan ‘@’ dan berakhiran ‘.com’.

Kita tentu masih ingat insiden lucu ‘komisi8@yahoo.com’ Mei 2011 lalu. Saat Komisi VIII DPR berdialog dengan sehimpun PPIA Melbourne, senator kita ngawur saja menyebutkan surelnya. Terbukti kemudian, itu alamat palsu. Saya pikir, kalau saja mereka melek .id lalu pura-pura memberi alamat komisi8asli@yahoo.co.id, mungkin sedikit terampuni parodi politisi ini. Secara, masih ada sedikit embel-embel nasionalisme .id-nya di benak mereka.

Supaya tak terulang cerita lucu itu, kembali, kinerja PANDI perlu ditunggu. Apakah pergantian kru yang baru bisa menggaransi target pertumbuhan 250.000 [dot] id pada 2015 nanti?

Mari berharap migrasi IPv6 dan kebijakan pengalihan registrasi domain ke pihak ketiga bisa lebih memikat pengguna. Keluhan birokrasi dan tuntutan kemudahan registrasi yang kerap jadi sugesti, semoga teratasi. Hasil idealnya, domain .id kian dikenali, diminati dan proyeksinya sebagai identitas situs Indonesia kian mendekati nyata.

Selain PANDI, sektor bisnis kudu mendukung, terutama penyedia jasa internet seperti APJII, Awari, Awali, dan lainnya. Bentuk dukungan paling sederhananya, bikin media iklan poster/banner berisi materi pengenalan .id kepada masyarakat. Jasa hosting bisa mengedukasi klien untuk lebih memilih .id daripada domain luar negeri disertai paket harga kompetitif. Syukur bila pemerintah mau saweran sesuai tupoksi yang dimiliki.

Lebih massif dan efektif jika komunitas blogger bersama relawan TIK sebagai pelopor netizen Indonesia mau menyepakati resolusi .id ini. Selain jadi pengguna, mereka aktif mengedukasi masyarakat yang didampingi. Sedulur Hacktivist memberikan bantuan stabilitas keamanan agar pengguna domain .id terjaga dari ancaman teror backdoor.

Seterusnya gotong royong menguati eksistensi .id ini akan lebih menampilkan Indonesia secara elegan, selain sebagai alternatif keisengan balapan meretas laman web Negeri Jiran. Penggunaan .id juga membuktikan nasionalisme yang nyata, lebih dari sekadar lengking demo ‘anti asing’ di media dan jalan raya.

Akhirnya, saya ucapkan selamat bekerja keras, bergas dan bernas melintasi 2012. Awali masehi dengan semangat advokasi penggunaan .id. Mari buktikan keunggulan peradaban maya dan identitas nasionalisme kita kepada dunia melalui ketikan jari di papan qwerty.

Afdolnya, sukses wordpress bisa mengilhami lahirnya blog .id. Strategi jitu Baidu kita tiru melalui inovasi mesin pencari buatan anak negeri dengan domain .id. Segera pada saatnya, situs domain worldwide dan Alexa akan mencatat .id kita berada di atas mereka. Sejarah akan menoreh nama baik kita sebagai anak saleh pecinta ibu pertiwi Indonesia.

Mudah-mudahan ikhtiar kecil ini bisa mengembalikan semangat kebangsaan yang kian ditelantarkan. Peradaban satu santun rukun Indonesia di ranah maya semoga menularkan kebersamaan dan kesetiakawanan kepada kita semua, anak-anak nusantara. Bismillaahirrahmaanirrahiim. Bersatulah .id-.id Indonesia, Merdeka!

 

*) Penulis, Gus Adhim merupakan seorang santri peminat fotografi, pegiat F/OSS dan teknologi informasi. Saat ini, penulis tinggal dan bekerja di Pondok Pesantren Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA) Lamongan.

Artikel di detikinet